Ikhlas menurut pandangan sufi: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada”
Beberapa tokoh sufi mencoba memisahkan makna ibadah antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf). Menurut mereka ibadah
haruslah mengedepankan cinta (mahabbah) saja kepada Allah. Memiliki
harapan akan surga dan takut karena neraka dinilai oleh para tokoh sufi
tersebut mengotori dari keikhlasan dalam beribadah. Bahkan sering
kita mendengar, bila surga dan neraka tak pernah ada, apakah kita masih
melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Apakah
kita berdosa bila menghendaki surga dan takut akan neraka? Apakah
ibadah akan memiliki kecacatan bila kita mengharapkan pahala dari ibadah
kita? Ujung-ujungnya adalah apakah kita masih dapat disebut ikhlas bila kita masih mengharapkan surga dan takut akan neraka ?
Jawabannya adalah dengan mencontoh junjungan kita Rasulullah SAW dalam berdoa
“Ya
Allah, Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari siksaan kubur, siksa
neraka Jahanam, fitnah kehidupan dan setelah mati, serta dari kejahatan
fitnah Almasih Dajjal.” (HR. Al-Bukhari 2/102 dan Muslim 1/412. Lafazh
hadits ini dalam riwayat Muslim.)
“Ya Allah! Aku mohon
kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tiada Tuhan (yang hak
disembah) kecuali Engkau Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Mu, Maha
Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Wahai
Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Pemurah, wahai Tuhan Yang Hidup, wahai
Tuhan yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu
agar dimasukkan ke Surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa
neraka.” (HR. Seluruh penyusun As-Sunan. Lihat Shahih Ibnu Majah 2/329.)
Jelaslah bahwa Rasulullah mengajarkan kepada kita dalam beribadah selain mengedepankan cinta (mahabbah) namun tetap mengharapkan (raja’) surga, dan takut (khauf) agar dijauhkan dari siksa api neraka. Ketiganya (cinta, harapan, dan takut) tidak bisa dipisahkan dan dipilah-pilah dalam ibadah.
Seseorang yang memiliki rasa cinta yang tinggi kepada Allah akan melakukan seluruh syariat dengan hati yang ringan disertai luapan kalbu sebagai bukti akan kecintaannya kepada Allah. Seorang pecinta akan berhias dan berwangi dalam shalatnya melebihi pertemuan dengan orang yang paling ia cintai. Ia selalu menanti-nanti waktu shalat selanjutnya. Ia tetap memiliki pengharapan akan surga, karena hanya di surga kelak dia akan dapat memandang wajah Kekasihnya. Ia takut berada di neraka karena tak mungkin ia dapat hidup selama sedetikpun di sana. Neraka adalah tempat bagi umat yang banyak melanggar larangan-Nya, dan bukan tempat bagi umat yang mencintai Rabbnya dan selalu setia menjalankan syariat-Nya.
Tokoh sufi perempuan yang sangat dihormati seperti Rabiatul Adawiyah yang
mengembangkan konsep cinta kepada Rabb, sering menangis karena Allah.
Saat orang-orang bertanya kepadanya mengapa ia menangis, Rabiatul
Adawiyah menjawab, “Aku takut Allah akan berkata kepadaku disaat
menghembus nafas terakhir : jauhkan dia dariKu karena dia tak layak
berada di majlis-Ku”.
Lantas dimanakah tempat yang layak agar kelak kita dapat memandang Dzat-Nya yang indah kalau bukan di Surga-Nya? Dimanakah tempat yang tidak layak bagi Allah untuk menampakkan Dzat-Nya selain di Neraka ?
Memisah-misahkan antara cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf), terkadang kita perlukan untuk meningkatkan kesadaran rasa cinta kita kepada Allah jalla wa a’la. Terkadang kita membutuhkan syair-syair indah untuk meningkatkan kecintaan kepada Allah. Seperti kalimat: “Bila Surga dan Neraka tak pernah ada, apakah kita masih melakukan apa yang menjadi perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya?”
Kalimat-kalimat indah tersebut berfungsi semacam shock terapi cinta kita kepada Tuhan yang wajib kita cintai melebihi apapun. Kalimat tersebut dapat mengingatkan kita bahwa konsep cinta (mahabah) pun penting dalam ibadah, bukan hanya harapan akan pahala dan rasa takut akan Neraka saja. Namun dalam beribadah yang lengkap dan sempurna, ketiga konsep, yaitu: cinta (mahabbah), harapan (raja’), dan takut (khauf) tidak dapat dipisahkan. Jadi janganlah merasa ragu apakah amal ibadah kita masih bisa dikatagorikan ikhlas bila masih memiliki harapan akan surga dan rasa takut akan azab-Nya. Lengkapilah ibadah dengan cinta, harapan, dan rasa takut.
Beribadah tanpa cinta akan membuat ibadah Anda seperti “ibadahnya pedagang”, hanya mencari untung dan menjauhi kerugian. Ciri “ibadah pedagang”adalah bila keinginannya tak terpenuhi ia segera kecewa dan menganggap Tuhan tidak adil.
Beribadah dengan rasa takut saja (khauf) akan membuat Anda menjadi khawarij, yang beberapa sifatnya adalah: buruk sangka, mencela kaum muslim dengan sebutan kafir, berlebihan dalam ibadah, dan sesat sebagaimana pelaku pengeboman bunuh diri di Indonesia.
Beribadah dengan harapan (raja’) saja, akan membuat Anda menjadi murji’ah, yang berpendapat bahwa iman cukup di hati saja bukan perbuatan (shalat, zakat, dan lainnya).
(http://mutiaradibalikmusibah.blogspot.com)
Ikhlas
apakah Anda sudah melakukan Ikhlas dengan benar?
Ikhlas berasal dari kata akhlasha yang merupakan bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil dari kata kerja intransitif khalasha (خَلصَ) dengan menambahkan satu huruf ‘alif (أ). Bentuk mudhâri‘ (saat ini) dari akhlasha (اَخْلَصَ) adalah yukhlishu (يُخْلِصُ) dan bentuk mashdarnya yaitu ikhlash (إِخْلاص). Kata tersebut berarti, murni, bersih, jernih, tanpa campuran. Ikhlas adalah melakukan amal perbuatan syariat yang ditujukan hanya kepada Allah secara murni atau tidak mengharapkan imbalan dari orang lain. Perbuatan ikhlas dibarengi pula dengan keyakinan atas perbuatannya dan tidak memiliki keinginan untuk menarik kembali apa yang telah ia lakukan. Amal perbuatan syariat pun terbagi menjadi 2, yaitu usaha lahiriah dan batiniah (doa). Hingga jelaslah perbedaan antara ikhlas dan ridho. Kalau ikhlas harus dimulai dengan amal perbuatan syariat seperti membantu, berusaha, berdoa, dan lainnya sedangkan ridho adalah rela menerima qodha-qodhar dan meyakini bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik menurut-Nya. Ikhlas bersifat Aktif dengan melakukan perbuatan ditujukan kepada Allah, secara lahiriah dan batiniah.
Sebuah perbuatan yang dilakukan secara ikhlas namun perbuatan tersebut tidak menepati kebenaran, maka amal perbuatan tersebut tidak diterima. Sebaliknya pula bila menepati kebenaran, namun dilakukan dengan tidak ikhlas maka amal tersebut pun memiliki kecacatan. Apa yang dimaksud dengan menepati kebenaran adalah dengan mengikuti Al Qur’an dan sunnah. Ikhlas sebaiknya dilakukan dengan berusaha secara lahiriah dan batiniah secara bersamaan. Usaha lahiriah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh secara ikhlas, sedangkan usaha batiniah adalah berdoa dengan sungguh-sunguh secara ikhlas pula. Bila hanya usaha lahiriah atau usaha batiniah saja yang dilaksanakan, maka terdapat ketimpangan.
Lawan dari ikhlas dalah riya’ yaitu melakukan amal perbuatan dengan tujuan agar dilihat orang dan mengharapkan pujian atau balasan dari orang lain. Riya’ berasal dari kata ro’a (رَأى) yang berarti melihat, atau mengatur sesuatu agar dilihat orang.
Usaha lahiriah: berusaha dengan sungguh-sungguh secara ikhlas
Setelah menempuh tahapan ridho dalam qodha dan qodar-Nya, kita juga harus dapat memperbaiki diri kita sebaik-baiknya dalam menghadapi cobaan. Bila cobaan tersebut berupa musibah kematian sanak saudara, maka kita wajib ridho akan ketetapan Allah, bertakziah kepada keluarga yang sedang dirindung duka dan membantu semampunya.
“Apabila meninggal anak seorang hamba, maka Allah SWT berkata kepada malaikat: Apakah kamu telah mencabut roh putra hambaKu. Jawabnya: Ya. Apakah kamu telah mengambil buah hatinya ? Jawabnya: Ya, benar. Maka Allah berkata: “Lalu apa yang diucapkan oleh hambaKu?. Malaikat berkata: “Dia memuji-Mu dan mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Maka Allah SWT berkata: “Bangunkan untuk hambaKu tersebut sebuah rumah di surga dan beri nama tempat itu Baitul Hamdi”. (H.R. Turmudzi, dia berkata: Hadis Hasan)
Bila cobaan tersebut adalah kemaksiatan yang berada di diri kita, maka harus berusaha untuk memperbaikinya menuju aturan syariat yang lurus. Bila cobaan tersebut adalah menurunnya hasil usaha kita, maka cobalah lebih pintar mencari penyebabnya kemudian mencoba mengatasi masalah tersebut. Bila cobaan tersebut berupa musibah kehilangan pekerjaan, maka kita harus tetap berusaha dengan jalan apapun asalkan halal. Bila telah mendaftar pekerjaan tapi tidak diterima, kita masih bisa berwiraswasta dengan atau berjualan. Bila tidak ada modal untuk memulai usaha, maka mulailah usaha dengan modal yang paling kecil. Sebenarnya hal yang merintangi kita dalam usaha bukanlah modal, tapi kemauan dan gengsi dari dalam diri kita sendiri. Hal itulah yang harus kita perangi. Sesungguhnya kemenangan bukan terletak pada hasil materi yang berhasil kita peroleh, namun kemenangan adalah bila kita dapat mengalahkan diri kita, memasung iblis di dalam hati, dan berjuang atau berusaha secara lahir dan batin.
Usaha batiniah: berdoa dengan sungguh-sungguh secara ikhlas
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya). (Q.S.27/ An Naml:62)
“Do'a adalah otaknya (sumsum/inti nya) ibadah.(HR. Tirmidzi)”
“Do'a adalah senjata seorang mukmin dan tiang (pilar) agama serta cahaya langit dan bumi. (HR. Abu Ya'la)”
Setelah berusaha sebaik-baiknya, maka hal tersebut akan sia-sia bila kita tidak berdoa dengan sungguh-sungguh. Janganlah kita takabur dengan mengatakan bahwa kita layak mendapatkan sesuatu atas jerih payah kita sendiri. Karena yang menentukan semuanya adalah Allah Azza wa Jalla.
“Rasulullah saw. berkata: Wahai Abdullah bin Qais! Maukah kamu aku tunjukkan kepada salah-satu kekayaan surga yang tersimpan? Aku menjawab: Tentu, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Yaitu ucapan: ‘laa haula wa laa quwata illa billah’ (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali berkat bantuan Allah). (Shahih Muslim No.4873)”
Bagaimanapun gigihnya usaha kita hingga akhirnya mencapai keberhasilan, semata-mata berkat Allah SWT. Dan Allah berhak menambah, menetapkan, bahkan mengurangi rezeki kita di dunia semata-mata untuk kebaikan diri kita sendiri. Ilmu Allah tak terbatas dibanding logika sempit manusia, yang mengatakan bahwa semakin “banyak rezeki akan semakin baik”, karena bisa saja dibalik rezeki yang berlimpah di dunia justru akan menghambat jalan kita di akhirat kita kelak.
Berdoa yang utama dilakukan adalah berdoa setelah shalat wajib maupun shalat sunnah. Kemudian doa pada waktu-waktu tertentu.
“Rasulullah SAW ditanya, "Pada waktu apa do'a (manusia) lebih didengar (oleh Allah)?" Lalu Rasulullah SAW menjawab, "Pada tengah malam dan pada akhir tiap shalat fardhu (sebelum salam)." (Mashabih Assunnah)”
apakah Anda sudah melakukan Ikhlas dengan benar?
Ikhlas berasal dari kata akhlasha yang merupakan bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil dari kata kerja intransitif khalasha (خَلصَ) dengan menambahkan satu huruf ‘alif (أ). Bentuk mudhâri‘ (saat ini) dari akhlasha (اَخْلَصَ) adalah yukhlishu (يُخْلِصُ) dan bentuk mashdarnya yaitu ikhlash (إِخْلاص). Kata tersebut berarti, murni, bersih, jernih, tanpa campuran. Ikhlas adalah melakukan amal perbuatan syariat yang ditujukan hanya kepada Allah secara murni atau tidak mengharapkan imbalan dari orang lain. Perbuatan ikhlas dibarengi pula dengan keyakinan atas perbuatannya dan tidak memiliki keinginan untuk menarik kembali apa yang telah ia lakukan. Amal perbuatan syariat pun terbagi menjadi 2, yaitu usaha lahiriah dan batiniah (doa). Hingga jelaslah perbedaan antara ikhlas dan ridho. Kalau ikhlas harus dimulai dengan amal perbuatan syariat seperti membantu, berusaha, berdoa, dan lainnya sedangkan ridho adalah rela menerima qodha-qodhar dan meyakini bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik menurut-Nya. Ikhlas bersifat Aktif dengan melakukan perbuatan ditujukan kepada Allah, secara lahiriah dan batiniah.
Sebuah perbuatan yang dilakukan secara ikhlas namun perbuatan tersebut tidak menepati kebenaran, maka amal perbuatan tersebut tidak diterima. Sebaliknya pula bila menepati kebenaran, namun dilakukan dengan tidak ikhlas maka amal tersebut pun memiliki kecacatan. Apa yang dimaksud dengan menepati kebenaran adalah dengan mengikuti Al Qur’an dan sunnah. Ikhlas sebaiknya dilakukan dengan berusaha secara lahiriah dan batiniah secara bersamaan. Usaha lahiriah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh secara ikhlas, sedangkan usaha batiniah adalah berdoa dengan sungguh-sunguh secara ikhlas pula. Bila hanya usaha lahiriah atau usaha batiniah saja yang dilaksanakan, maka terdapat ketimpangan.
Lawan dari ikhlas dalah riya’ yaitu melakukan amal perbuatan dengan tujuan agar dilihat orang dan mengharapkan pujian atau balasan dari orang lain. Riya’ berasal dari kata ro’a (رَأى) yang berarti melihat, atau mengatur sesuatu agar dilihat orang.
Usaha lahiriah: berusaha dengan sungguh-sungguh secara ikhlas
Setelah menempuh tahapan ridho dalam qodha dan qodar-Nya, kita juga harus dapat memperbaiki diri kita sebaik-baiknya dalam menghadapi cobaan. Bila cobaan tersebut berupa musibah kematian sanak saudara, maka kita wajib ridho akan ketetapan Allah, bertakziah kepada keluarga yang sedang dirindung duka dan membantu semampunya.
“Apabila meninggal anak seorang hamba, maka Allah SWT berkata kepada malaikat: Apakah kamu telah mencabut roh putra hambaKu. Jawabnya: Ya. Apakah kamu telah mengambil buah hatinya ? Jawabnya: Ya, benar. Maka Allah berkata: “Lalu apa yang diucapkan oleh hambaKu?. Malaikat berkata: “Dia memuji-Mu dan mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Maka Allah SWT berkata: “Bangunkan untuk hambaKu tersebut sebuah rumah di surga dan beri nama tempat itu Baitul Hamdi”. (H.R. Turmudzi, dia berkata: Hadis Hasan)
Bila cobaan tersebut adalah kemaksiatan yang berada di diri kita, maka harus berusaha untuk memperbaikinya menuju aturan syariat yang lurus. Bila cobaan tersebut adalah menurunnya hasil usaha kita, maka cobalah lebih pintar mencari penyebabnya kemudian mencoba mengatasi masalah tersebut. Bila cobaan tersebut berupa musibah kehilangan pekerjaan, maka kita harus tetap berusaha dengan jalan apapun asalkan halal. Bila telah mendaftar pekerjaan tapi tidak diterima, kita masih bisa berwiraswasta dengan atau berjualan. Bila tidak ada modal untuk memulai usaha, maka mulailah usaha dengan modal yang paling kecil. Sebenarnya hal yang merintangi kita dalam usaha bukanlah modal, tapi kemauan dan gengsi dari dalam diri kita sendiri. Hal itulah yang harus kita perangi. Sesungguhnya kemenangan bukan terletak pada hasil materi yang berhasil kita peroleh, namun kemenangan adalah bila kita dapat mengalahkan diri kita, memasung iblis di dalam hati, dan berjuang atau berusaha secara lahir dan batin.
Usaha batiniah: berdoa dengan sungguh-sungguh secara ikhlas
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya). (Q.S.27/ An Naml:62)
“Do'a adalah otaknya (sumsum/inti nya) ibadah.(HR. Tirmidzi)”
“Do'a adalah senjata seorang mukmin dan tiang (pilar) agama serta cahaya langit dan bumi. (HR. Abu Ya'la)”
Setelah berusaha sebaik-baiknya, maka hal tersebut akan sia-sia bila kita tidak berdoa dengan sungguh-sungguh. Janganlah kita takabur dengan mengatakan bahwa kita layak mendapatkan sesuatu atas jerih payah kita sendiri. Karena yang menentukan semuanya adalah Allah Azza wa Jalla.
“Rasulullah saw. berkata: Wahai Abdullah bin Qais! Maukah kamu aku tunjukkan kepada salah-satu kekayaan surga yang tersimpan? Aku menjawab: Tentu, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Yaitu ucapan: ‘laa haula wa laa quwata illa billah’ (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali berkat bantuan Allah). (Shahih Muslim No.4873)”
Bagaimanapun gigihnya usaha kita hingga akhirnya mencapai keberhasilan, semata-mata berkat Allah SWT. Dan Allah berhak menambah, menetapkan, bahkan mengurangi rezeki kita di dunia semata-mata untuk kebaikan diri kita sendiri. Ilmu Allah tak terbatas dibanding logika sempit manusia, yang mengatakan bahwa semakin “banyak rezeki akan semakin baik”, karena bisa saja dibalik rezeki yang berlimpah di dunia justru akan menghambat jalan kita di akhirat kita kelak.
Berdoa yang utama dilakukan adalah berdoa setelah shalat wajib maupun shalat sunnah. Kemudian doa pada waktu-waktu tertentu.
“Rasulullah SAW ditanya, "Pada waktu apa do'a (manusia) lebih didengar (oleh Allah)?" Lalu Rasulullah SAW menjawab, "Pada tengah malam dan pada akhir tiap shalat fardhu (sebelum salam)." (Mashabih Assunnah)”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan