Selasa, 4 September 2012

PELACURAN

Pekerja Seks Komersial (PSK) atau yang biasa dikenal dengan prostitusi(Pelacuran) bukanlah masalah baru akan tetapi merupakan masalah lama yangbaru diangkat. Di lihat dari perkembangan peradaban manusia, hampir semuaNegara memiliki permasalahan di bidang prostitusi. Belum ada sebuah Negarayang meniadakan praktek prostitusi selain hanya menertibkannya. Tidak jarangpraktek prostitusi ini ditentang oleh kaum agamawan termasuk masyarakatsendiri. Harus dilihat bahwa praktek prostitusi merupakan realitas sosial yangtidak dapat dipungkiri lagi. praktek prostitusi tersebut itu sendir bertentangandengan moral, susila dan agama yang setiap saat dapat merusak keutuhankeluarga.
Istilah pelacuran berasal dari bahasa latin pro-situere yang berartimembiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, pencabulan. Sedangkan prostitue dikenal pula dengan istilah wanita tuna susila (WTS). Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya dan sering dikatakan setua umur kehidupan itu sendiri. Pelacuran ini selalu ada pada semua negara berbudaya sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial, menjadiobjek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan berkembangnya teknologi,industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula praktek pelacurandalam berbagai bentuk dan tingkatannya.
Para pelacur atau WTS yang menjadikan pelacuran sebagai lapangan kerjatersebut dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu mereka yang melakukanprofesinya dengan sadar dan sukarela berdasarkan motivasi tertentu, atau merekayang melakukannya karena ditawan atau dijebak oleh germo.
Di tengah-tengan terjadinya reaksi terhadap praktek prostitusi ternyatatidak membuat kegiatan prostitusi berkurang tetapi justru cenderung bertambahkuantitasnya. Hal ini terjadi karena disamping factor akulturasi budaya ada jugafactor lain seperti ekonomi maupun karena kondisi tertentu seperti, pengaruhlingkungan dan lain sebagainya.
praktek prostitusi ini merupakan perbuatan yang merusak moraldan mental yang dapat menghancurkan pula keutuhan keluarga, namun dalamhukum positif sendiri tidak melarang pelaku praktek prostitusi tetapi hanyamelarang bagi siapa yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Hal ini diatur dalam pasal 296 KUHP yang bunyinya adalahsebagai berikut : “ Barang siapa dengan sengaja menyebabkan ataumemudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagaipencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satutahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Di lihat dari ketentuan tersebut di atas, maka perlu adanya sebuah peraturan yang mengatur secara menyeluruh baik terhadap mucikari (germo)maupun pelaku praktek prostitusi itu sendiri karena ada sebagian prostitusi yangtidak melalui mucikari tetapi melakukan praktek prostitusi.
Pemerintah harus berperan secara maksimal sehingga diharapkan praktek prostitusi dapat berkurang melalui kegiatan pembinaan atas kerja samainterdepartemental. Masyarakat pun harus mengambil peran yang maksimal untuk mendukung peran pemerintah khususnya dalam upaya mengurangi praktek prostitusi. Aparat penegak hukum juga harus bertindak secara tegas dalammenjalankan aturan tentang larangan praktek prostitusi.
Pelacuran merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnyasaja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum.
Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek pelacuran. Ketidak tegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal296, yang bunyinya adalah sebagai berikut : “ Barang siapa dengan sengajamenyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, danmenjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidanapenjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Dan pasal 506 yang berbunyi “barangsiapa menarik keuntungan dariperbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancamdengan pidana kurungan paling lama satu tahun” Kitab Undang-Undang HukumPidana (KUHP).
Yang dilarang dalam KUHP adalah mengeksploitir seksualitas orang lainbaik sebagai “pencaharian ataupun kebiasaan” (pasal 296 KUHP) atau ‘menarik keuntungan’ dari pelayanan seks (komersial) seorang perempuan dengan praktek germo (pasal 506 KUHP). Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarangmereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinyalarangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnyasendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya. Kegiatan seperti itupuntidak dikelompokkan sebagai tindakan kriminal.
Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-peraturan dalam industri seks di Indonesia. Karena larangan pemberikanpelayanan seksual khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalamhukum negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan padaperaturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik pada tingkatpropinsi, kabupaten dan kecamatan, dengan mempertimbangkan reaksi, aksi dantekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentangpelacuran tersebut.

Faktor-faktor penyebab timbul dan berkembangnya prostitusi(pelacuran).

HAL itu banyak disebabkan Perkembangan teknologi merupakan tuntutan zaman, tuntutan kehidupanmanusia dalam memnuhi kebutuhannya. Dengan perkembangan teknologi pulamenjadikan kota (terutama di negara-negara sedang berkembang) dibangunsedemikian, sehingga terjadi perbedaan yang sangat mencolok bila dibandingkandengan kondisi di perdesaan. Semua itu merupakan magnit urbanisasi yang sangat kuat.
Urbanisasi (secara demografi, dalam arti perpindahan penduduk dari desake kota) mereka lakukan dengan maksud untuk mempertahankan hidup danmempercepat proses pengembangan kehidupan. Melalui media televisi, terlihatgebyarnya perkotaan, betapa mudahnya orang mendapatkan kemewahan diperkotaan (terutama kota-kota besar). Semua itu menjadikan kecemburuan bagiwaga perdesaan. Terjadilah perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota besar,dengan satu tujuan yakni mencari pekerjaan demi uang.
Dari berbagai pengamatan dan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwasebagai akibat urbanisasi yang tanpa diikuti urbanisasi secara sosial (perubahanpola pikir dan peri laku urbanisan) antara lain adanya beberapa dampak negatif dalam aspek fisik lingkungan, aspek ekonomi, maupun aspek sosial dan hukum,yang salah satunya adalah timbulnya prostitusi (pelacuran).
Dengan modal pengetahuan dan keterampilan yang seadanya, tanpamengetahui perbedaan yang sangat kontras antara perdesaan di kota-kota kecildengan perkotaan merupakan kendala utama dalam memperoleh pekerjaan yangdiimpikan sebelumnya. Keadaan terpaksa oleh kegagalan demi kegagalan untuk mendapatkan pekerjaan legal, keengganan untuk kembali ke desa, ditunjangdengan tipuan dan rayuan para lelaki hidung belang merupakan langkah awalmenuju dunia prostitusi.
Dengan menerapkan teori Swab, maka faktor-faktor yang menyebabkantimbul dan berkembangnya prostitusi antara lain.
  • Kondisi kependudukan, yang antara lain: jumlah penduduk yang besar dengan komposisi penduduk wanita lebih banyak dari pada penduduk laki-laki.
  • Perkembangan teknologi, yang antara lain: teknologi industri kosmetik termasuk operasi plastik, alat-alat dan/atau obat pencegah kehamilan;teknologi dalam telekomunikasi dan transportasi. Dalam hal ini yangjelas adalah penyalahgunaan terhadap produk-produk perkembanganteknologi di bidang industri
  • Lemahnya penerapan, dan ringannya sanksi hukum positif yangditerapkan terhadap pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum tersebutdapat dilakukan oleh pelaku (subyek) prostitusi, mucikari, pengelolahotel/penginapan, dan lain-lain. Mahalnya biaya (resmi) pernikahan,sulitnuya prosedur perceraian juga merupakan faktor pengembanganpraktek prostitusi secara kuantitas
  • Kondisi lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungann alam(fisik) yang menunjang. Kurangnya kontrol di lingkungan permukimanoleh masyarakat sekitar, serta lingkungan alam seperti: jalur-jalur jalan,taman-taman kota, atau tempat-tempat lain yang sepi dan kekuranganfasilitas penerangan di malam hari, sangat menunjang untuk terjadinyapraktek prostitusi.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan