Mohon
 dijelaskan  apakah ini benar?. InsyaAllah besok malam Rabu adalah Rabu 
Wekasan  bulan Safar. Dalam kitab Mujarrobat Ad-Dairoby di jelaskan, 
sebagian orang arif billah menyebutkan  bahwa dalam setiap tahun akan 
turun 320.000 bala’ (musibah), demikian itu diturunkan pada hari  Rabu 
akhir d bulan Shofar. Karenanya hari itu adalah hari yang paling berat 
dalam setiap tahunnya. Maka barangsiapa pada hari itu sholat 4 rokaat, 
pada setiap rokaat  setelah al fatihah dia membaca surat al-kaustar 17x,
 al ikhlas 5x, dan muawwidzatain, kemudian salam dan berdoa dengan doa 
ini…….., maka Allah akan menjaganya  dengan kemuliaan-nya dari semua 
bala’ yang diturunkan  pada hari itu sampai sempurnanya satu tahun. 
Sedangkan doa itu adalah: silahkan buka kitab Ad-Dairoby hal 95/Kanzu 
An-Najach Wa As-Surur hal 28.
 
 Agusty-Malang
 
 Jawaban:
 
 Tidak boleh menjalankan apa yang diistilahkan dengan nama Shalat Rebo 
Wekasan dengan niat dan tata cara shalat tersebut termasuk 
mempropagandakan dan mengajak orang lain melakukannya. Semua kepercayaan
 yang terkait dengan shalat Rebo Wekasan adalah kepercayaan yang tidak 
berdasar yang tidak boleh dipercaya apalagi diyakini karena tidak 
bertumpu pada hujjah yang syar’i baik dari Al-Quran maupun As-Sunnah.
 
 Istilah shalat Rebo Wekasan adalah istilah terkait dengan shalat yang 
popular pada sebagian masyarakat Jawa. Istilah Rebo Wekasan itu sendiri 
memakai bahasa Jawa untuk menyusun frasenya. Rebo menunjuk makna “hari 
Rabu” sementara Wekasan menunjuk makna “terakhir” jadi makna Rebo 
Wekasan adalah “Hari Rabu yang paling akhir”. Shalat Rebo Wekasan 
bermakna “shalat yang dilakukan pada hari Rabu terakhir”. Rabu terakhir 
yang di maksud di sini adalah hari Rabu terakhir dibulan Shofar (atau 
Sapar dalam lidah Jawa). Jadi, secara ringkas shalat Rebo Wekasan adalah
 shalat yang dilakukan pada bulan Shofar pada hari Rabu yang terakhir 
dari bulan tersebut (hari Rabu pada minggu keempat).
 
 Waktu 
pelaksanaannya dilakukan pada pagi hari, tepatnya setelah shalat 
Isyraq/Dhuha. Tatacaranya sebagaimana yang disebutkan dalam pertanyaan 
yaitu, dilakukan sebanyak empat Rakaat. Setiap rakaat membaca surat al 
Fatihah dan  membaca Surat Al-Kautsar sebanyak 17 kali, Al-Ikhlas 5 
kali, Al-Falaq, dan An-Nas. Kemudian setelah salam membaca doa khusus 
yang dibaca sebanyak 3 kali. 
 
 Kepercayaan yang berkembang di 
sebagian maSyarakat yang mendasari dilakukannya Shalat tersebut adalah; 
Setiap tahun Allah menurunkan 320.000  Bala’/musibah. Bala’ tersebut 
diturunkan  pada hari Rabu terakhir bulan Shofar, sehingga hari Rabu ini
 adalah hari yang paling sulit dan rawan dalam tahun tersebut. Oleh 
karena itu, untuk menolak bala’ tersebut maka dilakukan shalat di hari 
itu. Shalat itulah yang kemudian dinamakan dan popular dengan istilah 
shalat Rebo Wekasan.  Oleh karena shalat ini dilakukan untuk menolak 
bala’ maka shalat ini popular juga dengan istilah Shalat Lidaf’il Bala’ 
(shalat untuk mencegah bala’/musibah).
 
 Asal-usul  kebiasaan ini
 adalah rekomendasi yang tertulis pada kitab “Mujarrobat Ad-Dairoby 
Al-Kabir” yang dikarang oleh Ahmad bin Umar Ad-Dairoby (Wafat tahun 1151
 H). Nama lengkap kitab tersebut adalah “Fathu Al-Malik Al-Majid 
Al-Mu-Allaf Li Naf’I Al-‘Abid Wa Qom’I Kulli Jabbar ‘Anid. Rekomendasi 
yang serupa juga terdapat pada kitab “Kanzu An-Najah Wa As-Surur Fi 
Al-Ad’iyah Allati Tasyrohu As-Shudur” karangan Abdul Hamid Quds, 
‘Al-Jawahir Al-Khoms” karangan Muhammad bi Khothiruddin Al-‘Atthar (wft 
th 970 H), Hasyiyah As-Sittin dan sebagainya .
 
 Hanya saja, 
tidak cukup menukil sumber kitab untuk menilai sebuah amalan terkategori
 amalan yang syar’i. Juga termasuk naif jika langsung menerima sebuah 
kitab hanya karena judulnya berbahasa Arab. Sebuah amalan agar bisa 
disebut syar’i harus didasarkan pada nash, baik dari Al-Qur’an, 
As-Sunnah atau dalil yang ditunjuk oleh Al-Quran dan As-Sunnah.  
Kepercayaan juga harus didasarkan pada dalil agar bisa disebut 
kepercayaan Islam.  Sebuah buku juga perlu diresensi untuk menentukan 
posisi buku tersebut dalam kajian hukum Syara.
 
 Kitab Mujarrobat
 Ad-Dairoby tidak boleh dijadikan tumpuan dalam melaksanakan 
amalan-amalan syariat, karena kitab ini dalam merekomendasikan amal 
umumnya tidak menggali dari nash Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi malah 
menisbatkan dasar amalan dan juga kepercayaan kepada ucapan tokoh  
misterius yang disebut dengan istilah “Ba’dhu Al-‘Arifin Min Ahli 
Al-Kasyfi Wa At-Tamkin” (Sebagian Ahli Makrifat yang punya ilmu 
Mukasyafah dan pangkat). Sebagian kaum muslimin malah mensifati kitab 
Mujarrobat Ad-Dairoby ini sebagai kitab sihir dan perdukunan karena 
banyaknya hal yang dianggap Khurafat dan tidak berdasarkan dalil. Hal 
yang sama berlaku pada kitab "Kanzu An-Najah Wa As-Surur Fi Al-Ad’iyah 
Allati Tasyrohu As-Shudur” karangan Abdul Hamid Quds, ‘Al-Jawahir 
Al-Khoms” karangan Muhammad bi Khothiruddin Al-‘Atthar (wft th 970 H), 
dan Hasyiyah As-Sittin meskipun kondisi kitab-kitab ini sebagiannya 
tidaklah “separah” kitab Mujarrobat Ad-Dairoby. Secara umum, kitab-kitab
 ini punya kesamaan dari sisi direkomendasikannya amalan tanpa dasar 
Nash dari Al-Quran dan As-Sunnah.
 
 Semua amalan ibadah apapun 
yang tidak ada perintah dari Allah dan Rasul-Nya tidak boleh dilakukan. 
Barangsiapa melakukannya maka amalan tersebut sia-sia dan tertolak. 
Rasulullah SAW bersabda;
 
 صحيح مسلم (9/ 119)
 عن عَائِشَة 
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ 
عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
 
 “Dari 
Aisyah; bahwasanya Rasulullah SAW  bersabda; barangsiapa melakuakn 
sebuah amalan yang tidak ada perintah dari kami maka amalan tersebut 
tertolak" (H.R. Muslim)
 
 Lagipula, ibadah adalah pengaturan 
hubungan Allah dengan hambanya. Cara mengetahui tatacara hubungan dengan
 Allah hanya mungkin ditunjukkan oleh para Nabi dan Rasul, karena 
tatacara itu diluar jangkauan akal manusia. Menerima tatacara ibadah 
yang bukan berasal dari NAbi dan Rasul bermakna menerima tatcara ibadah 
yang dirumuskan oleh  akal atau berasal dari was-was syetan.
 
 
Dalam hal kepercayaanpun setiap muslim wajib mengambil hanya dari 
Nash,tidak boleh dari desas-desus atau berita “konon katanya”. 
Kepercayaan bahwa pada hari Rabu terakhir bukan Shafar Allah menurunkan 
Bala’ adalah kepercayaan yang tidak didasarkan pada Nash, karena itu 
tidak boleh diyakini.
 
 Syaikh Hasyim Asya’ari sebagaimana 
dikutip oleh situs Ponpes Nurul Huda, Malang, dengan merujuk pada 
dokumen asli yang ada pada cabang NU Sidoarjo, berfatwa bahwa shalat 
Rebo Wekasan tidak boleh dilakukan dan dipropagandakan.
 
 أورا 
وناع فيتواه, اجاء-اجاء لن علاكونى صلاة ربو وكاسان لن صلاة هدية كاع 
كاسبوت اع سوال, كرنا صلاة لورو ايكو ماهو دودو صلاة مشروعة فى الشرع لن 
اور انا اصلى فى الشرع.
 
 “Ora wenang pituwah, ajak-ajak, lan 
nglakoni sholat Rebo Wekasan lan sholat hadiah kang  kasebut ing su-al 
kerono sholat loro iku mau dudu sholat masyru’ah fis Syar’i lan ora ono 
asale fis syar’i”. (“Tidak boleh memberi fatwa, mempromosikan, dan 
melakukan Shalat Rebo Wekasan dan shalat hadiah sebagaimana tersebut 
dalam pertanyaan, karena kedua shalat tersebut bukan shalat yang 
disyariatkan dalam syariat dan tidak ada asalnya dalam syariat”)
 
 Atas dasar ini, tidak boleh menjalankan shalat Rebo Wekasan.
 
 
Tiada ulasan:
Catat Ulasan