Dapatkah
  seorang Muhammad menjadi Syafi (Pengantara keselamatan) bagi para  
Muslim yang selalu mendoakannya (shalawat Nabi), sedangkan dia sendiri  tidak bisa menjadi Syafi bagi orang-tuanya sendiri, walau sudah  memohon-mohon kepada Allah? 

Kita
 semua tahu bahwa orangtua dan semua kerabat Muhammad adalah para 
penyembah berhala (politeis). Para sarjana Muslim menegaskan,”Politeisme
 adalah dosa terbesar dari semua dosa, karena dosa ini dianggap sebagai 
sebuah sikap menentang yang kuat, dan setelah itu, dosa berikut yang 
dianggap terbesar adalah melakukan pembunuhan tanpa alasan.”
Dalam
 Sura An Nisaa 4:52, dikatakan: “Mereka itulah orang yang dikutuki 
Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak 
akan memperoleh penolong baginya.
Di
 ayat 116 dikatakan,” Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa 
mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang 
selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang 
mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah 
tersesat sejauh-jauhnya.”
Para
 sarjana Muslim menegaskan bahwa politeisme adalah dosa terbesar yang 
tak akan mungkin bisa diampuni oleh Allah, meskipun dosa-dosa lainnya 
akan Ia ampuni (Abu Dharr dalam Albani; Mishkat, Tradition 26). 
Mempersekutukan ilah-ilah lain dengan Allah, adalah kesalahan terbesar, 
dan orang yang melakukannya layak dimasukkan ke api neraka. Orang tua 
Muhammad adalah para penyembah berhala, dan ketika ia memohon pada Allah
 untuk mengampuni mereka, permohonannya itu tidak dikabulkan. 
Hal ini dicatat dalam Sura At Taubah 9:114,115: 
“Dan
 permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk ayahnya tidak lain 
hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada ayahnya itu.
 Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah, 
maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah 
seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.
Dan
 Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah 
memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa
 yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala 
sesuatu.
Di
 sini, nabi dan orang-orang beriman tidak memohonkan pengampunan bagi 
para penyembah berhala, meskipun orang-orang itu adalah kerabat dekat 
mereka. Dan disamping itu, orang-orang beriman ini sangat yakin bahwa 
kerabat mereka itu akan menjadi penghuni neraka.
Abraham
 memohonkan pengampunan untuk ayahnya, karena ia telah berjanji pada 
mereka mengenai hal itu; dan ketika telah menjadi jelas baginya bahwa ia
 adalah seorang musuh Allah, ia menyatakan bahwa ia berhenti mendoakan 
ayahnya itu”. Para ekspositor mengklaim bahwa ayat ini adalah mengenai 
orang tua dan paman Muhammad, Abu Talib (ayah dari Ali), karena nabi 
ingin agar Allah mengampuni mereka setelah kematian mereka. Tetapi 
ternyata Allah melarangnya untuk meminta pengampunan atas dosa orang tua
 dan pamannya itu. (Suyuti’s Asbab al- Nuzzul of Sura Repentance 9:114,115).
Doa syafaat Muhammad terhadap ibunya
Abu
 Huraira dan Sarida berkata,”Ketika Muhammad tiba di Mekkah, ia pergi ke
 kuburan ibunya. Ia berdiri di situ hingga matahari menjadi panas, 
berharap bahwa ia akan mendapatkan ijin dari Allah untuk memohonkan 
pengampunan bagi ibunya. Kemudian sebuah ayat diwahyukan,”Bukanlah bagi 
nabi dan orang beriman untuk memohonkan pengampunan dosa bagi para 
penyembah berhala, meskipun mereka adalah kerabat dekat.”
Berdasarkan
 otoritas Sarida, baik al Tabari maupun Ibn al ‘Jawzi mencatat bahwa 
Muhammad saat tiba di kuburan ibunya, ia melaksanakan wudhu, melakukan 
sholat dua rakatan dan kemudian menangis. Orang-orang menangis saat 
mereka melihatnya menangis. Ketika ia bergabung dengan mereka mereka 
bertanya,”Mengapa engkau menangis?” Ia menjawab,”Aku tiba di kuburan 
ibuku dan berdoa dua rakatan. Kemudian
 aku memohon pada Allah untuk mengijinkanku berdoa bagi pengampunannya, 
tetapi aku tidak diijinkan untuk mendoakannya. Jadi aku menangis. 
Kemudian  aku kembali berdoa
 dua rakatan dan meminta Allah untuk mengijinkanku menaikkan doa bagi 
pengampunan ibuku, tetapi kembali aku dilarang keras melakukannya, dan 
inilah yang membuatku menangis. Kemudian Muhammad meminta supaya untanya
 dibawa kepadanya, lalu ia berangkat. Tetapi perjalanan kali ini terasa 
berat. Saat untanya berlutut, wahyu pun turun pada Muhammad yang 
berbunyi: “Bukan untuk nabi dan orang-orang beriman meminta pengampunan 
bagi para penyembah berhala (politeis), meskipun mereka adalah kerabat 
dekat” (Nisaburi’s Asbab al-Nuzul of sura Repentance 9:114,115).
 “Abu
 Huraira melaporkan: Rasul Allah (semoga damai ada atasnya) mengunjungi 
makam ibunya dan ia menagis, dan hal itu menyebabkan orang-orang yang 
ada di sekelilingnya juga menangis, dan ia berkata: Aku meminta ijin 
dari Tuhanku untuk memohonkan pengampunan baginya, tetapi ijin tidak 
diberikan, kemudian aku meminta ijin untuk mengunjungi makamnya, dan 
permohonanku dikabulkan. Jadi berkunjunglah ke makam, sebab hal itu akan
 membuatmu ingat akan kematian.” Sahih Muslim 4:2130
Doa syafaat Muhammad bagi ayahnya
Qatada
 melaporkan perkataan Muhammad berikut ini: “Aku akan memohonkan 
pengampunan untuk ayahku, sebagaimana Abraham memohonkan pengampunan 
untuk ayahnya.”
Berdasarkan otoritas Qatada, al-Tabari berkata:
Beberapa
 orang sahabat Muhammad telah berkata: “Oh Nabi Allah, beberapa orang 
dari nenek moyang kita adalah tetangga-tetangga yang baik, mereka itu 
ramah terhadap saudara-saudara mereka, melepaskan tawanan, dan membayar 
hutang-hutang mereka. Bukankah sebaiknya kita memohonkan pengampunan 
untuk mereka? Muhammad menjawab “Ya demi Allah, aku akan memohonkan 
pengampunan untuk ayahku, sebagaimana Abraham memohonkan pengampunan 
untuk ayahnya.” Maka turunlah ayat berikut: “Bukan bagi nabi dan 
orang-orang beriman untuk memohonkan pengampunan bagi para penyembah 
berhala. Allah mengijinkan Abraham untuk mendoakan ayahnya karena janji 
yang pernah ia katakan padanya.”
Teks-teks
 Quran dan tradisi otentik secara konklusif mengklaim bahwa orang tua 
dan paman Muhammad adalah para politeis, dan berdasarkan kesaksian 
Muhammad, tempat bagi para politeis adalah neraka. Ketika Muhammad 
mencoba berdoa bagi pengampunan mereka, ia diperintahkan oleh Allah 
untuk berhenti melakukannya, bahkan ditegur dengan keras, sehingga hal 
itu membuatnya menangis.
Juga
 Anas melaporkan: Sesungguhnya seorang berkata: Utusan Allah, dimanakah 
ayahku? Ia menjawab: (Ia) ada di Neraka. Ketika ia berpaling, ia (Nabi 
Suci) memanggilnya dan berkata: Sesungguhnya ayahku dan ayahmu ada di 
Neraka.” Sahih Muslim 1:398
Para
 sarjana Muslim setuju bahwa ayah Muhammad ada di neraka, karena mereka 
tidak dapat menyangkali teks Quran yang mengupas fakta ini. Mereka yang 
mengatakan bahwa Allah akan membangkitkan orang-orang yang telah mati 
itu kembali, supaya mereka dapat percaya kepadaNya, sesungguhnya telah 
tersesat. Pendapat seperti itu dianggap sebagai klenik. Kita akan 
bertanya bagaimana Tuhan dapat membangkitkan mereka kembali setelah Ia 
menegur Muhammad dan melarangnya untuk memohonkan pengampunan bagi orang
 tuanya? Apakah Allah akan melanggar keadilan, kekudusan dan 
kesempurnaanNya, dengan mengijinkan diriNya sendiri menjadi bagian atau 
tidak berbeda dengan ciptaanNya? Tidak, mustahil Allah melakukan hal 
itu! 
Sebagai
 ringkasan, dapatkah seorang Muhammad menjadi Syafi (Pengantara 
keselamatan) bagi para Muslim yang selalu mendoakannya (shalawat Nabi), 
sedangkan dia sendiri tidak bisa menjadi Syafi bagi orang-tuanya 
sendiri, walau sudah memohon-mohon kepada Allah? 
Berdasarkan kesaksian Quran, orangtua
 Muhammad ada di neraka. Nenek moyang Muhammad adalah pagan. Muhammad 
memeluk agama dari suku dan bangsanya. Ia hidup 40 tahun dalam 
paganisme, menyembah AL-LAT, Al-UZZA and MANAT. Bukti akan hal ini bisa 
kita temukan dalam Sura (Adh Dhuhaa/YANG DILARANG 93:7, 8):
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang salah jalan (sesat, erring, error, lihat Dawood, Arberry, Rodwell dll), lalu Dia memberikan petunjuk. “ Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”….
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang salah jalan (sesat, erring, error, lihat Dawood, Arberry, Rodwell dll), lalu Dia memberikan petunjuk. “ Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”….
Ayat-ayat
 ini memperlihatkan bahwa Muhammad sebelumnya memeluk iman dari 
masyarakat dan klannya. Berpaling dari Allah adalah dosa terbesar, dan 
orang yang melakukannya pantas dibuang ke neraka. Keputusan menentang 
orang-orang yang mempersekutukan Allah telah disebutkan sebelumnya.
Dalam
 buku Jamal 'Jawami (bagian 2), banyak kutipan mengenai agama Muhammad. 
Sebagai contoh, para sarjana berdebat diantara mereka mengenai apakah 
kepada Muhammad (dalam kaitan dengan kenabiannyad)
 dipercayakan hukum atau tidak. Beberapa sarjana menyangkalinya, 
sementara sebagian lagi menerima. Mereka yang menerima, saling tidak 
setuju diantara mereka mengenai tujuan dari hukum itu. Dikatakan bahwa 
kepada Muhammad telah dipercayakan hukum Nuh, bahwa ia akan memelihara 
imannya Nuh. Tetapi ada juga yang beranggapan bahwa ia akan mengikuti 
iman Abraham. 
Sarjana
 lainnya berkata bahwa di sini Muhammad tengah berbicara mengenai iman 
Musa atau Yesus, dan sebagainya. Namun demikian, orang-orang ini tidak 
perlu mencoba untuk menyelesaikan masalah ini, karena Quran dengan jelas
 menyatakan apa yang ia simpan. Bahkan jika kita setuju bahwa Muhammad 
sedang berbicara mengenai iman dari salah seorang nabi-nabi sejati, 
kewajibannya adalah untuk mendesak para pengikutnya untuk mengikuti 
teladannya, sebab agama Musa dan Yesus adalah agama yang benar dan 
sempurna. Jadi sesungguhnya, tak ada perlunya mendirikan sebuah jalan 
yang baru atau agama yang baru seperti ISLAM. Baidawi berkata,”Mereka melihatmu mengembara tak menentu, jauh dari Pengetahuan akan Penghakiman dan hukum-hukum, sehingga mereka
 memberikanmu petunjuk dan mengajarimu melalui wahyu, inspirasi dan 
pengertian, untuk menilai dengan benar”. (Tafsir Baidawi tentang Surat Adh Dhuhaa 93:7)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tiada ulasan:
Catat Ulasan