Pak
ustad, saya mohon bantuannya dengan sangat. Sebelumnya saya perkenalkan
diri saya, nama saya Fulan (sensor),. saya berada di kota Gresik,. saya
ingin menanyakan tentang hukum islam yang ingin saya terima, tapi saya
tidak tahu harus kemana untuk menjalaninya,. saya adalah pezina,.saya
telah melakukan perbuatan keji itu dengan pacar saya, lebih dari satu
kali,.jadi janganlah bermurah hati kepada saya dengan memberikan harapan
yang baik-baik, saya dan pacar saya rela terhadap apa yang akan kami
terima (kami sama-sama belum menikah ),. saya ingin menikah,. dan saya
juga ingin bertaubat denagn baik,. yang ingin saya tanyakan kepada pak
ustad,.
1. apakah boleh saya menikahi pasangan saya?
2. apakah saya hanya boleh menikah dengan pasangan saya itu saja (saya tidak boleh menikah dengan wanita lain?)
3. apakah saya harus dihukum dulu sebelum menikah dengan pacar saya karena jika belum maka nikah saya tidak sah? atau jika menikah tidak dengan pacar saya bagaimana apakah jika belum dihukum maka nikah saya tidak sah?
4. dimana saya harus mencari hukuman ?
5. hukuman apa yang harus saya terima?
Terima ksih banyak pak ustad,. saya mohon jawabannya,. saya mohon petunjuknya,. saya mohon pak ustad. Wassalamualaikum
arh h, arh_1188@yahoo.co.id
Jawaban :
Semoga Allah, Dzat yang Maha Mengetahui isi hati hamba membimbing saudara untuk bertaubat dan membersihkan saudara serta kawan saudara dari dosa sebersih-bersihnya.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya adalah sebagai berikut;
1. Menikahi wanita yang telah berzina/dizinahi atau menikah dengan lelaki yang pernah berzina/menzinahi hukumnya sah, tetapi makruh selama belum bertaubat. Jika sudah bertaubat, maka pernikahan tersebut sah tanpa ada kemakruhan. Dalil absahnya pernikahan dua orang yang telah berzina adalah ayat berikut;
Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (semua yang telah disebutkan sebelumnya) (An-Nisa;24)
Juga ayat;
Nikahkanlah wanita-wanita yang belum menikah dikalangan kalian dan orang-orang shalih dikalangan budak-budak lelaki dan budak-budak wanita kalian. An-Nur;32)
Untuk ayat yang pertama, sebelum ayat ini, Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi seperti haramnya menikahi ibu, saudari, putri, mertua dsb. Setelah itu Allah menutup dengan pernyataan; “Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (semua yang telah disebutkan sebelumnya)”. Pernyataan tegas kehalalan wanita-wanita lain selain yang disebutkan dalam ayat bersifat umum, termasuk mencakup wanita yang pernah berzina. Karena itu sah hukumnya menikahi wanita yang pernah berzina.
Untuk ayat yang kedua, lafadz الْأَيَامَى (wanita-wanita yang belum menikah) maknanya bersifat umum, yang mencakup wanita yang pernah berzina maupun yang tidak pernah berzina. Karena itu berdasarkan ayat ini juga, menikahi wanita yang berzina hukumnya sah.
Adapun pendapat yang mengharamkan pernikahan dengan wanita yang telah berzina dengan beralasan surat An-Nur yang berbunyi;
{الزَّانÙÙŠ لَا يَنْكÙØ٠إÙلَّا زَانÙيَةً أَوْ Ù…ÙشْرÙكَةً وَالزَّانÙيَة٠لَا يَنْكÙØÙهَا Ø¥Ùلَّا زَان٠أَوْ Ù…ÙشْرÙÙƒÙŒ ÙˆÙŽØÙرّÙÙ…ÙŽ Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ عَلَى الْمÙؤْمÙÙ†Ùينَ} [النور: 3]
yang sering diterjemahkan;
laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (An-Nur; 3)
maka ayat ini tidak bisa dijadkan sebagai dalil keharaman pernikahan dua orang yang telah berzina karena lafadz “يَنْكÙØÙ” pada ayat tersebut maknanya bukan Akad nikah tetapi bermakna bersetubuh. Karena itu terjemahan yang tepat terhadap ayat tersebut adalah;
Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh (dengan cara haram) melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang Musyrik; dan perempuan yang berzina tidak disetubuhi (dengan cara haram) melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki Musyrik, dan yang demikian (Zina) itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin
Memaknai lafadz يَنْكÙØÙ dengan makna bersetubuh (dengan cara yang haram/zina) dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu Abbas dengan sanad Shahih dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir.
“Dari Ibnu Abbas tentang ayat { الزَّانÙÙŠ لا يَنْكÙØ٠إلا زَانÙيَةً أَوْ Ù…ÙشْرÙكَةً }beliau berkata; ini sama sekali bukan (Akad ) nikah tetapi (maknanya) adalah Jimak (bersetubuh). Tidak ada yang berzina dengan wanita berzina kecuali lelaki yang berzina atau orang Musyrik (yang tidak punya iman)”
Seandainya menikahi wanita yang pernah berzina haram/tidak sah maka setiap perselingkuhan oleh salah satu pasutri harus berakibat diceraikannya secara paksa mereka dari ikatan pernikahan. Konsekuensi ini sama dengan tidak sahnya pernikahan seorang Muslim dengan wanita Musyrik. Seandainya ada pasangan yang menikah dalam keadaan dua-duanya Muslim , lalu di tengah jalan istri menjadi Musyrik, maka pasangan tersebut wajib diceraikan secara paksa, karena menikah dengan wanita Musyrik hukumnya haram sehingga pernikahannya tidak sah.
Masalahnya, ada hadis yang menunjukkan bahwa perselingkuhan/perzinaan pasangan tidak membuat status pernikahan menjadi batal. Misalnya hadis berikut ini;
Dari Ibnu Abbas beliau berkata; seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata; sesungguhnya istriku tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya. Nabi bersabda; jauhkan (ceraikan) dia. Lelaki itu menjawab; aku khawatir diriku membuntutinya (tidak sanggup berpisah dengannya). Nabi bersabda; kalau begitu bersenang senanglah dengannya.(H.R.Abu Dawud)
Lafadz لَا تَمْنَع٠يَدَ لَامÙس٠(tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya) menunjukkan wanita itu tidak menolak diajak berzina oleh lelaki lain. As-Syaukani dalam Nailul Author menegaskan bahwa lafadz لَا تَمْنَع٠يَدَ لَامÙس٠secara bahasa tidak bisa diingkari bahwa lafadz itu adalah kinayah berzina. Namun ternyata Rasulullah SAW tidak menceraikan pasangan tersebut, maka hadis ini menjadi petunjuk bahwa perzinaan tidak merusak akad nikah.
Riwayat lain yang menguatkan;
Dari Sulaiman bin ‘Amr bin Al-Ahwash beliau berkata; Ayahku memberitahu aku bahwa dia menyaksikan Haji Wada’ bersama Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW memuji Allah dan menyanjungNya. Beliau memberi peringatan dan memberi nasihat. Beliau bersabda; berpesanlah kebaikan terhadap wanita, karena mereka itu laksana tawanan bagi kalian, dan kalian tidak memiliki apapun dari mereka selain itu. Kecuali mereka melakukan perzinaan yang nyata. Jika mereka melakukannya, maka tinggalkan mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (H.R. At-Tirmidzi)
Hadis ini lebih lugas lagi menunjukkan bahwa perzinaan istri tidak membuat rusak Akad nikah, karena Rasulullah SAW tidak memerintahkan perceraian baik sukarela maupun terpaksa.
Karena itu surat An-Nur; 3 di atas tidak bermakna haramnya/tidak sahnya menikahi wanita yang pernah berzina, tapi hanya menunjukkan celaan keras terhadap aktivitas zina itu sendiri dan secara implisit menunjukkan dibencinya/makruhnya menikahi wanita yang telah berzina, meskipun menikahi mereka tetap sah hukumnya.
Demikian pula riwayat Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy yang berkeinginan menikahi pelacur Mekah yang menjadi Asbabun Nuzul dari ayat ini. Riwayat Martsad tidak menunjukkan haramnya menikahi wanita yang berzina tetapi hanya menunjukkan dibencinya menikahi mereka selama mereka belum meninggalkan perzinaannya.
Hukum ini berlaku bagi wanita yang telah berzina dan belum bertaubat. Menikahi mereka hukumnya sah, meski tidak disukai. Adapun jika mereka bertaubat, maka tidak ada masalah lagi karena menikahi mereka hukumnya sah tanpa kemakruhan sedikitpun. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berpendapat orang yang menikahi wanita yang telah dizinainya itu seperti orang mencuri anggur, lalu membelinya. Abubakar malah memandang bahwa menikahi wanita yang telah dizinai sebagai bentuk Taubat.
Namun keabsahan menikahi wanita yang telah berzina diikat syarat yaitu melakukan Istibro’. Istibro dalam hal ini adalah masa menunggu sebelum boleh melangsungkan Akad nikah. Istibro’ wanita yang hamil karena berzina dilakukan dengan durasi waktu sepanjang masa kehamilannya dan berakhir pada saat melahirkan. Artinya, wanita hamil karena perzinaan baru boleh melangsungkan Akad nikah yang syar’i setelah bayinya lahir. Jika saat hamil sudah melangsungkan Akad nikah maka Akadnya fasid (rusak) dan harus dibubarkan. Dalil yang menunjukkan wajibnya beristibro adalah hadis berikut;
Dari Abu Sa’id Al-Khudry dan beliau memarfu’kannya, bahwasanya beliau berkata; wanita (Sabaya yang) hamil tidak disetubuhi sampai dia melahirkan dan (wanita Sabaya) yang tidak hamil (tidak pula disetubuhi) sampai dia berhaid satu kali” (H.R. Abu Dawud)
Rasulullah SAW melarang mensetubuhi Sabaya hamil sampai melahirkan. Dalam kasus pernikahan, orang hanya bisa mensetubuhi jika telah melakukan Akad nikah yang syar’i. Karena itu, hadis ini menunjukkan secara implisit dilarangnya melakukan Akad nikah, karena Akad nikah menjadi pintu masuk yang halal sebelum seseorang boleh menggauli seorang wanita.
Lebih lugas lagi ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memisahkan pasangan suami istri yang menikah setelah diketahui bahwa wanitanya sudah dalam keadaan hamil dulu sebelum menikah.
Dari Sa’id bin Musayyab bahwasanya seorang lelaki bernama Bashroh bin Aktam menikahi seorang wanita (yang telah hamil karena perzinaan)-lalu perawi menyebut lafadz yang semakna dengan lafadz sebelumnya dan menambah- dan beliau (Rasulullah SAW) memisahkan keduanya (dari ikatan pernikahan) (H.R. Abu Dawud)
Pemisahan paksa dari Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Akad tersebut fasid (rusak). Jadi menikahi wanita yang hamil karena zina tidak boleh sebelum dia melahirkan anaknya, atau keguguran. Diserupakan pula kebolehannya jika janin tersebut keluar dengan cara abortus, meskipun aborsi sendiri adalah maksiat baru jika dilakukakan pada janin yang telah bernyawa.
1. apakah boleh saya menikahi pasangan saya?
2. apakah saya hanya boleh menikah dengan pasangan saya itu saja (saya tidak boleh menikah dengan wanita lain?)
3. apakah saya harus dihukum dulu sebelum menikah dengan pacar saya karena jika belum maka nikah saya tidak sah? atau jika menikah tidak dengan pacar saya bagaimana apakah jika belum dihukum maka nikah saya tidak sah?
4. dimana saya harus mencari hukuman ?
5. hukuman apa yang harus saya terima?
Terima ksih banyak pak ustad,. saya mohon jawabannya,. saya mohon petunjuknya,. saya mohon pak ustad. Wassalamualaikum
arh h, arh_1188@yahoo.co.id
Jawaban :
Semoga Allah, Dzat yang Maha Mengetahui isi hati hamba membimbing saudara untuk bertaubat dan membersihkan saudara serta kawan saudara dari dosa sebersih-bersihnya.
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya adalah sebagai berikut;
1. Menikahi wanita yang telah berzina/dizinahi atau menikah dengan lelaki yang pernah berzina/menzinahi hukumnya sah, tetapi makruh selama belum bertaubat. Jika sudah bertaubat, maka pernikahan tersebut sah tanpa ada kemakruhan. Dalil absahnya pernikahan dua orang yang telah berzina adalah ayat berikut;
Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (semua yang telah disebutkan sebelumnya) (An-Nisa;24)
Juga ayat;
Nikahkanlah wanita-wanita yang belum menikah dikalangan kalian dan orang-orang shalih dikalangan budak-budak lelaki dan budak-budak wanita kalian. An-Nur;32)
Untuk ayat yang pertama, sebelum ayat ini, Allah menyebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi seperti haramnya menikahi ibu, saudari, putri, mertua dsb. Setelah itu Allah menutup dengan pernyataan; “Dan dihalalkan bagi kalian selain itu (semua yang telah disebutkan sebelumnya)”. Pernyataan tegas kehalalan wanita-wanita lain selain yang disebutkan dalam ayat bersifat umum, termasuk mencakup wanita yang pernah berzina. Karena itu sah hukumnya menikahi wanita yang pernah berzina.
Untuk ayat yang kedua, lafadz الْأَيَامَى (wanita-wanita yang belum menikah) maknanya bersifat umum, yang mencakup wanita yang pernah berzina maupun yang tidak pernah berzina. Karena itu berdasarkan ayat ini juga, menikahi wanita yang berzina hukumnya sah.
Adapun pendapat yang mengharamkan pernikahan dengan wanita yang telah berzina dengan beralasan surat An-Nur yang berbunyi;
{الزَّانÙÙŠ لَا يَنْكÙØ٠إÙلَّا زَانÙيَةً أَوْ Ù…ÙشْرÙكَةً وَالزَّانÙيَة٠لَا يَنْكÙØÙهَا Ø¥Ùلَّا زَان٠أَوْ Ù…ÙشْرÙÙƒÙŒ ÙˆÙŽØÙرّÙÙ…ÙŽ Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ عَلَى الْمÙؤْمÙÙ†Ùينَ} [النور: 3]
yang sering diterjemahkan;
laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (An-Nur; 3)
maka ayat ini tidak bisa dijadkan sebagai dalil keharaman pernikahan dua orang yang telah berzina karena lafadz “يَنْكÙØÙ” pada ayat tersebut maknanya bukan Akad nikah tetapi bermakna bersetubuh. Karena itu terjemahan yang tepat terhadap ayat tersebut adalah;
Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh (dengan cara haram) melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang Musyrik; dan perempuan yang berzina tidak disetubuhi (dengan cara haram) melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki Musyrik, dan yang demikian (Zina) itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin
Memaknai lafadz يَنْكÙØÙ dengan makna bersetubuh (dengan cara yang haram/zina) dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu Abbas dengan sanad Shahih dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir.
“Dari Ibnu Abbas tentang ayat { الزَّانÙÙŠ لا يَنْكÙØ٠إلا زَانÙيَةً أَوْ Ù…ÙشْرÙكَةً }beliau berkata; ini sama sekali bukan (Akad ) nikah tetapi (maknanya) adalah Jimak (bersetubuh). Tidak ada yang berzina dengan wanita berzina kecuali lelaki yang berzina atau orang Musyrik (yang tidak punya iman)”
Seandainya menikahi wanita yang pernah berzina haram/tidak sah maka setiap perselingkuhan oleh salah satu pasutri harus berakibat diceraikannya secara paksa mereka dari ikatan pernikahan. Konsekuensi ini sama dengan tidak sahnya pernikahan seorang Muslim dengan wanita Musyrik. Seandainya ada pasangan yang menikah dalam keadaan dua-duanya Muslim , lalu di tengah jalan istri menjadi Musyrik, maka pasangan tersebut wajib diceraikan secara paksa, karena menikah dengan wanita Musyrik hukumnya haram sehingga pernikahannya tidak sah.
Masalahnya, ada hadis yang menunjukkan bahwa perselingkuhan/perzinaan pasangan tidak membuat status pernikahan menjadi batal. Misalnya hadis berikut ini;
Dari Ibnu Abbas beliau berkata; seorang lelaki datang kepada Nabi SAW lalu berkata; sesungguhnya istriku tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya. Nabi bersabda; jauhkan (ceraikan) dia. Lelaki itu menjawab; aku khawatir diriku membuntutinya (tidak sanggup berpisah dengannya). Nabi bersabda; kalau begitu bersenang senanglah dengannya.(H.R.Abu Dawud)
Lafadz لَا تَمْنَع٠يَدَ لَامÙس٠(tidak menolak tangan lelaki yang menyentuhnya) menunjukkan wanita itu tidak menolak diajak berzina oleh lelaki lain. As-Syaukani dalam Nailul Author menegaskan bahwa lafadz لَا تَمْنَع٠يَدَ لَامÙس٠secara bahasa tidak bisa diingkari bahwa lafadz itu adalah kinayah berzina. Namun ternyata Rasulullah SAW tidak menceraikan pasangan tersebut, maka hadis ini menjadi petunjuk bahwa perzinaan tidak merusak akad nikah.
Riwayat lain yang menguatkan;
Dari Sulaiman bin ‘Amr bin Al-Ahwash beliau berkata; Ayahku memberitahu aku bahwa dia menyaksikan Haji Wada’ bersama Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW memuji Allah dan menyanjungNya. Beliau memberi peringatan dan memberi nasihat. Beliau bersabda; berpesanlah kebaikan terhadap wanita, karena mereka itu laksana tawanan bagi kalian, dan kalian tidak memiliki apapun dari mereka selain itu. Kecuali mereka melakukan perzinaan yang nyata. Jika mereka melakukannya, maka tinggalkan mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (H.R. At-Tirmidzi)
Hadis ini lebih lugas lagi menunjukkan bahwa perzinaan istri tidak membuat rusak Akad nikah, karena Rasulullah SAW tidak memerintahkan perceraian baik sukarela maupun terpaksa.
Karena itu surat An-Nur; 3 di atas tidak bermakna haramnya/tidak sahnya menikahi wanita yang pernah berzina, tapi hanya menunjukkan celaan keras terhadap aktivitas zina itu sendiri dan secara implisit menunjukkan dibencinya/makruhnya menikahi wanita yang telah berzina, meskipun menikahi mereka tetap sah hukumnya.
Demikian pula riwayat Martsad bin Abi Martsad Al-Ghonawy yang berkeinginan menikahi pelacur Mekah yang menjadi Asbabun Nuzul dari ayat ini. Riwayat Martsad tidak menunjukkan haramnya menikahi wanita yang berzina tetapi hanya menunjukkan dibencinya menikahi mereka selama mereka belum meninggalkan perzinaannya.
Hukum ini berlaku bagi wanita yang telah berzina dan belum bertaubat. Menikahi mereka hukumnya sah, meski tidak disukai. Adapun jika mereka bertaubat, maka tidak ada masalah lagi karena menikahi mereka hukumnya sah tanpa kemakruhan sedikitpun. Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berpendapat orang yang menikahi wanita yang telah dizinainya itu seperti orang mencuri anggur, lalu membelinya. Abubakar malah memandang bahwa menikahi wanita yang telah dizinai sebagai bentuk Taubat.
Namun keabsahan menikahi wanita yang telah berzina diikat syarat yaitu melakukan Istibro’. Istibro dalam hal ini adalah masa menunggu sebelum boleh melangsungkan Akad nikah. Istibro’ wanita yang hamil karena berzina dilakukan dengan durasi waktu sepanjang masa kehamilannya dan berakhir pada saat melahirkan. Artinya, wanita hamil karena perzinaan baru boleh melangsungkan Akad nikah yang syar’i setelah bayinya lahir. Jika saat hamil sudah melangsungkan Akad nikah maka Akadnya fasid (rusak) dan harus dibubarkan. Dalil yang menunjukkan wajibnya beristibro adalah hadis berikut;
Dari Abu Sa’id Al-Khudry dan beliau memarfu’kannya, bahwasanya beliau berkata; wanita (Sabaya yang) hamil tidak disetubuhi sampai dia melahirkan dan (wanita Sabaya) yang tidak hamil (tidak pula disetubuhi) sampai dia berhaid satu kali” (H.R. Abu Dawud)
Rasulullah SAW melarang mensetubuhi Sabaya hamil sampai melahirkan. Dalam kasus pernikahan, orang hanya bisa mensetubuhi jika telah melakukan Akad nikah yang syar’i. Karena itu, hadis ini menunjukkan secara implisit dilarangnya melakukan Akad nikah, karena Akad nikah menjadi pintu masuk yang halal sebelum seseorang boleh menggauli seorang wanita.
Lebih lugas lagi ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memisahkan pasangan suami istri yang menikah setelah diketahui bahwa wanitanya sudah dalam keadaan hamil dulu sebelum menikah.
Dari Sa’id bin Musayyab bahwasanya seorang lelaki bernama Bashroh bin Aktam menikahi seorang wanita (yang telah hamil karena perzinaan)-lalu perawi menyebut lafadz yang semakna dengan lafadz sebelumnya dan menambah- dan beliau (Rasulullah SAW) memisahkan keduanya (dari ikatan pernikahan) (H.R. Abu Dawud)
Pemisahan paksa dari Rasulullah SAW menunjukkan bahwa Akad tersebut fasid (rusak). Jadi menikahi wanita yang hamil karena zina tidak boleh sebelum dia melahirkan anaknya, atau keguguran. Diserupakan pula kebolehannya jika janin tersebut keluar dengan cara abortus, meskipun aborsi sendiri adalah maksiat baru jika dilakukakan pada janin yang telah bernyawa.
Sejumlah
Shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah memfatwakan
kebolehan pernikahan seorang lelaki dengan wanita yang dizinahinya,
bahkan terlibat langsung dalam proses menikahkan. Diriwayatkan bahwa
Abubakar As-Shiddiq r.a. telah menikahkan seorang lelaki dengan gadis
yang direnggut keperawanannya oleh lelaki tersebut. Al-Baihaqi
meriwayatkan;
"Dari Abu Bakar As-Shiddiq tentang seorang lelaki yang memecahkan keperawanan seorang wanita, kemudian mereka mengaku, maka Abubakar mencambuk keduanya masing-masing seratus kali, lalu menikahkan keduanya dan mengasingkan mereka selama satu tahun" (H.R. Baihaqi)
Diriwayatkan pula bahwa Umar r.a. memerintahkan menikahkan dengan normal seorang wanita yang telah berzina kemudian bertaubat dengan baik. Al-Baihaqi meriwayatkan;
"Dari As-Sya'bi, bahwasanya ada seorang gadis yang berzina kemudian dihukum, lalu mereka (keluarganya) berpindah, lalu gadis itu bertaubat dan bagus taubatnya serta keadaannya. Lalu dia dipinang melalui pamannya, maka pamannya merasa tidak enak menikahkannya sebelum memberitahu reputasinya, namun juga tidak suka menyebarkan hal tersebut. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Umar bin Khattab, maka Umar berkata; Nikahkanlah gadis itu sebagaimana kalian menikahkan gadis-gadis Shalihah kalian" (H.R. Al-Baihaqi)
Malah, keinginan umar adalah wanita yang berzina hendaknya dinikahi oleh lelaki yang menzinahinya, meskipun tidak wajib/harus demikian. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
"Dari Ubaidullah bin Abi Yazid dari ayahnya, bahwasanya Siba' bin Tsabit menikahi putri Robah bin Wahb, dan dia punya putra yang didapat dari istri yang lain, sementara istrinya juga punya putri yag didapatkan dari suaminya terdahulu. Maka putranya berzina dengan putri istrinya, dan putri istrinya hamil. Maka keduanya dilaporkan kepada Umar bin Khattab dan keduanya mengaku. Maka umar mencambuk keduanya dan sangat ingin menikahkan mereka. Namun pihak lelaki menolak." (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Ibnu Abbas juga memfatwakan dengan fatwa yang senada. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
"Dari Ibnu Abbas tentang seorang lelaki dan wanita yang berzina lalu keduanya dihukum, kemudian pihak lelaki ingin menikahi wanita itu. Ibnu Abbas berfatwa; Tidak apa-apa. Awalnya Sifah (zina), endingnya Nikah (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
'Ikrimah mengumpamakan pernikahan seorang lelaki dengan wanita yang dizinahinya seperti orang yang mencuri kurma, lalu setelah itu membelinya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
"Dari 'Ikrimah beliau berkata: "Tidak masalah, itu seperti seorang lelaki yang mencuri kurma kemudian membelinya" (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Sejumlah Tabi'in besar seperti Sa'id bin Jubair, 'Al-Qomah, dan Umar bin Abdul 'Aziz juga berfatwa senada. Semuanya mendukung penjelasan hukum bahwa pernikahan lelaki dengan wanita yang dizinahinya adalah sah, bahkan bisa dikatakan termasuk cara taubat dari perzinahan tersebut.
Memang ada riwayat dari Ibnu Mas'ud, Aisyah, Jabir bin Zaid dan Al-Baro' yang menunjukkan mereka berfatwa tidak bolehnya dua orang yang berzina menikah sebelum taubat, misalnya riwayat berikut;
Dari Ibnu Mas'ud dan 'Aisyah mereka berkata: "mereka (dua orang yang berzina) masih terus berzina selama berkumpul (H.R. At-Thobaroni)
"Dari Al-Baro' tentang seorang lelaki yang berzina denngan seorang wanita kemudian menikahinya beliau berkata; mereka terus berzina selamanya" (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Namun ini hanya berlaku jika mereka beluam bartaubat. Jika sudah bertaubat maka tida ada masalah lagi. Lagipula ucapan selain Al-Quran dan Hadis bukan dalil, sehingga tidak bisa menjadi dasar keharaman sesuatu. Imama As-Syafi'i mengkritik fatwa ini sebagaimana diriwayatkan Baihaqi;
As-Syafi'i berkata; kami dan mereka tidak berpendapat seperti ini (pendapat yang mengharamkan dua orang yang berzina menikah). (pendapat kami adalah) Mereka berdua berdosa saat berzina namun halal saat menikah dan bukan berzina lagi. Umar dan Ibnu Abbas berpendapat semakna dengan ini (H.R. Baihaqi)
2. Boleh menikahi pasangan zina, tetapi tidak wajib. Boleh bagi saudara menikahi wanita tersebut sebagaimana boleh pula menikahi wanita lain. Kami kutipkan Atsar Umar sebagaimana yang telah disebut sebelumnya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
"Dari Ubaidullah bin Abi Yazid dari ayahnya, bahwasanya Siba' bin Tsabit menikahi putri Robah bin Wahb, dan dia punya putra yang didapat dari istri yang lain, sementara istrinya juga punya putri yag didapatkan dari suaminya terdahulu. Maka putranya berzina dengan putri istrinya, dan putri istrinya hamil. Maka keduanya dilaporkan kepada Umar bin Khattab dan keduanya mengaku. Maka umar mencambuk keduanya dan sangat ingin menikahkan mereka. Namun pihak lelaki menolak." (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
3. Hukuman zina terkait dengan penghapusan dosa, tidak mempengaruhi keabsahan nikah. Jika orang menikah sebelum dihukum, maka akad nikahnya sah, tapi tetap berdosa, dan jika mati dalam keadaan demikian, maka dia terancam neraka.
4 dan 5. Hukuman orang berzina namun dia belum menikah adalah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Namun yang berhak melakukan hanyalah penguasa yang syar'i. Jika, otoritas di Aceh misalnya disetujui sebagai penguasa yang Syar'i, maka bisa ke sana untuk meminta hukuman.
Hanya saja, mengaku zina untuk dihukum tidak wajib dilakukan. Sunnahnya justru menyembunyikan aib, kemudian bertaubat sungguh-sungguh. Dalil yang menunjukkan bahwa mengaku untuk dihukum tidak wajib dan justru menyembunyikan aib malah sunnah adalah hadis berikut;
Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya dia berkata, "Ma'iz bin Malik datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku." Rasulullah menjawab: "Ah kamu! Pulang dan mintalah ampun kepada Allah, dan bertaubatlah kepada-Nya." Kemudian Ma'iz pergi, tidak lama kemudian dia kembali lagi sambil berkata: "Wahai Rasulullah, sucikanlah daku." Beliau menjawab: " Ah kamu! Pulang dan mintalah ampun kepada Allah, dan bertaubatlah kepada-Nya." Lalu Ma'iz pergi, tetapi belum begitu jauh dia pergi, dia kembali lagi dan berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, sucikanlah daku." Beliau menjawab sebagaimana jawabannya yang pertama, (H.R. Muslim)
Dalam hadis ini diterangkan bahwa Rasulullah صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ memerintahkan orang yang mengaku berzina agar pulang dan bertaubat. Rasulullah صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ menganjurkan sampai tiga kali. Karena itu hadis ini menunjukkan bahwa yang lebih afdhol adalah menyembunyikan aib dan bertaubat secara diam-diam. An-Nawawi menjelaskan makna Hadis ini dalam syarahnya sebagai berikut;
"dalam hadis ini terdapat dalil gugurnya dosa maksiat-maksiat besar dengan taubat, dan hal ini adalah Ijma' kaum Muslimin" (syarah Shohih Muslim, vol 11, hlm 199)
Ibnu Hajar juga mengutip sikap tegas As-Syafi'I terkait ketentuan ini;
"As-Syafi'i mengambil pendapat ini dengan tegas, beliau berkata: Saya suka jika orang melakukan dosa lalu Allah menutupi aibnya kemudian dia menutupi aibnya sendiri dan bertaubat (Fathu Al-Bari, vol 12, hlm 125)
Dalam hadis riwayat Malik, ada perintah lugas dari Rasulullah صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ untuk menyembunyikan aib dosa zina jika sampai terjerumus melakukan. Malik meriwayatkan;
Dari Zaid bin Aslam berkata, "Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada seorang laki-laki mengaku telah berbuat zina, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu minta diambilkan sebuah cambuk, maka dibawakanlah sebuah cambuk yang telah rusak. Beliau bersabda: "Yang lebih baik dari ini." Lalu diberikan cambuk masih bagus dan belum dipotong ujungnya. Beliau bersabda: "Yang lebih rendah kualitasnya dari ini." Kemudian diberikan cambuk yang telah dirangkai dan agak lunak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian memerintahkan untuk mencambuknya, maka laki-laki itu pun dicambuk. Setelah itu beliau bersabda: "Wahai para manusia, sungguh telah sampai waktunya kalian untuk berhenti (melakukan pelanggaran terhadap) larangan-larangan Allah. Barangsiapa terjerumus pada perbuatan kotor ini maka hendaknya dia menutupinya selam Allah menutupinya, Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah." (H.R. Malik)
Jika orang yang terjerumus dalam zina memilih menyembunyikan dari penguasa dan tidak meminta hukuman, maka cara bertaubatnya sebagaimana diterangkan para ulama adalah melakukan tiga hal; 1.meninggalkan maksiat tersebut 2. Menyesali perbuatan maksiat tersebut 3.bertekad untuk tidak mengulanginya selamanya. Tiga hal ini dilakukan sambil memperbanyak istighfar dan beramal shalih untuk menghapus dosa tersebut. Allah mengabarkan dalam Al-Quran bahwa taubat yang sungguh-sungguh dan beramal shalih akan menghapuskan keburukan-keburukan yang pernah dilakukan. Allah berfirman;
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Az-Zumar; 53)
dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Furqon; 68-70)
Sejumlah hadis juga menguatkan prinsip ini. Bukhari meriwayatkan;
Dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, bahwa orang-orang musyrik dahulu sering membunuh, sering berzina dan lalu mereka mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; wahai Muhammad, apa yang engkau katakan dan engkau serukan adalah baik. Bersediakah engkau mengabarkan kepada kami jika apa yang telah kami perbuat ada kafaratnya? lalu Allah Azza wa jalla menurunkan ayat: Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina, dan turunlah ayat: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. (H.R. Bukhari)
Ahmad meriwayatkan;
Dari Abdullah ia berkata; Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya mengatakan; Wahai Rasulullah, aku menemui seorang wanita di sebuah kebun, maka akupun memeluknya, aku raba dia, kuciumi dan aku melakukan apa saja kepadanya selain menyetubuhinya. Ia mengatakan; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun mendiamkannya hingga turun ayat ini: (Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat). Ia melanjutkan; Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanggilnya dan membacakan ayat itu kepadanya. Umar pun berkata; Wahai Rasulullah, apakah itu khusus untuknya atau untuk seluruh manusia, beliau menjawab: "Bahkan untuk seluruh manusia." (H.R. Ahmad)
Namun, jika lebih sreg dengan meminta hukuman cambuk, maka hal tersebut juga tidak dilarang. Hukuman dunia dinyatakan dalam hadis juga menghapus dosa. Bukhari meriwayatakan;
Dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Idris 'Aidzullah bin Abdullah, bahwa 'Ubadah bin Ash Shamit adalah sahabat yang ikut perang Badar dan juga salah seorang yang ikut bersumpah pada malam Aqobah, dia berkata; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ketika berada ditengah-tengah sebagian sahabat: "Berbai'atlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam perkara yang ma'ruf. Barangsiapa diantara kalian yang memenuhinya maka pahalanya ada pada Allah dan barangsiapa yang melanggar dari hal tersebut lalu Allah menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat baginya, dan barangsiapa yang melanggar dari hal-hal tersebut kemudian Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia) maka urusannya kembali kepada Allah, jika Dia mau, dimaafkannya atau disiksanya". Maka kami membai'at Beliau untuk perkara-perkara tersebut. (H.R. Bukhari)
"Dari Abu Bakar As-Shiddiq tentang seorang lelaki yang memecahkan keperawanan seorang wanita, kemudian mereka mengaku, maka Abubakar mencambuk keduanya masing-masing seratus kali, lalu menikahkan keduanya dan mengasingkan mereka selama satu tahun" (H.R. Baihaqi)
Diriwayatkan pula bahwa Umar r.a. memerintahkan menikahkan dengan normal seorang wanita yang telah berzina kemudian bertaubat dengan baik. Al-Baihaqi meriwayatkan;
"Dari As-Sya'bi, bahwasanya ada seorang gadis yang berzina kemudian dihukum, lalu mereka (keluarganya) berpindah, lalu gadis itu bertaubat dan bagus taubatnya serta keadaannya. Lalu dia dipinang melalui pamannya, maka pamannya merasa tidak enak menikahkannya sebelum memberitahu reputasinya, namun juga tidak suka menyebarkan hal tersebut. Maka peristiwa itu dilaporkan kepada Umar bin Khattab, maka Umar berkata; Nikahkanlah gadis itu sebagaimana kalian menikahkan gadis-gadis Shalihah kalian" (H.R. Al-Baihaqi)
Malah, keinginan umar adalah wanita yang berzina hendaknya dinikahi oleh lelaki yang menzinahinya, meskipun tidak wajib/harus demikian. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
"Dari Ubaidullah bin Abi Yazid dari ayahnya, bahwasanya Siba' bin Tsabit menikahi putri Robah bin Wahb, dan dia punya putra yang didapat dari istri yang lain, sementara istrinya juga punya putri yag didapatkan dari suaminya terdahulu. Maka putranya berzina dengan putri istrinya, dan putri istrinya hamil. Maka keduanya dilaporkan kepada Umar bin Khattab dan keduanya mengaku. Maka umar mencambuk keduanya dan sangat ingin menikahkan mereka. Namun pihak lelaki menolak." (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Ibnu Abbas juga memfatwakan dengan fatwa yang senada. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
"Dari Ibnu Abbas tentang seorang lelaki dan wanita yang berzina lalu keduanya dihukum, kemudian pihak lelaki ingin menikahi wanita itu. Ibnu Abbas berfatwa; Tidak apa-apa. Awalnya Sifah (zina), endingnya Nikah (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
'Ikrimah mengumpamakan pernikahan seorang lelaki dengan wanita yang dizinahinya seperti orang yang mencuri kurma, lalu setelah itu membelinya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
"Dari 'Ikrimah beliau berkata: "Tidak masalah, itu seperti seorang lelaki yang mencuri kurma kemudian membelinya" (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Sejumlah Tabi'in besar seperti Sa'id bin Jubair, 'Al-Qomah, dan Umar bin Abdul 'Aziz juga berfatwa senada. Semuanya mendukung penjelasan hukum bahwa pernikahan lelaki dengan wanita yang dizinahinya adalah sah, bahkan bisa dikatakan termasuk cara taubat dari perzinahan tersebut.
Memang ada riwayat dari Ibnu Mas'ud, Aisyah, Jabir bin Zaid dan Al-Baro' yang menunjukkan mereka berfatwa tidak bolehnya dua orang yang berzina menikah sebelum taubat, misalnya riwayat berikut;
Dari Ibnu Mas'ud dan 'Aisyah mereka berkata: "mereka (dua orang yang berzina) masih terus berzina selama berkumpul (H.R. At-Thobaroni)
"Dari Al-Baro' tentang seorang lelaki yang berzina denngan seorang wanita kemudian menikahinya beliau berkata; mereka terus berzina selamanya" (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
Namun ini hanya berlaku jika mereka beluam bartaubat. Jika sudah bertaubat maka tida ada masalah lagi. Lagipula ucapan selain Al-Quran dan Hadis bukan dalil, sehingga tidak bisa menjadi dasar keharaman sesuatu. Imama As-Syafi'i mengkritik fatwa ini sebagaimana diriwayatkan Baihaqi;
As-Syafi'i berkata; kami dan mereka tidak berpendapat seperti ini (pendapat yang mengharamkan dua orang yang berzina menikah). (pendapat kami adalah) Mereka berdua berdosa saat berzina namun halal saat menikah dan bukan berzina lagi. Umar dan Ibnu Abbas berpendapat semakna dengan ini (H.R. Baihaqi)
2. Boleh menikahi pasangan zina, tetapi tidak wajib. Boleh bagi saudara menikahi wanita tersebut sebagaimana boleh pula menikahi wanita lain. Kami kutipkan Atsar Umar sebagaimana yang telah disebut sebelumnya. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
"Dari Ubaidullah bin Abi Yazid dari ayahnya, bahwasanya Siba' bin Tsabit menikahi putri Robah bin Wahb, dan dia punya putra yang didapat dari istri yang lain, sementara istrinya juga punya putri yag didapatkan dari suaminya terdahulu. Maka putranya berzina dengan putri istrinya, dan putri istrinya hamil. Maka keduanya dilaporkan kepada Umar bin Khattab dan keduanya mengaku. Maka umar mencambuk keduanya dan sangat ingin menikahkan mereka. Namun pihak lelaki menolak." (H.R. Ibnu Abi Syaibah)
3. Hukuman zina terkait dengan penghapusan dosa, tidak mempengaruhi keabsahan nikah. Jika orang menikah sebelum dihukum, maka akad nikahnya sah, tapi tetap berdosa, dan jika mati dalam keadaan demikian, maka dia terancam neraka.
4 dan 5. Hukuman orang berzina namun dia belum menikah adalah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Namun yang berhak melakukan hanyalah penguasa yang syar'i. Jika, otoritas di Aceh misalnya disetujui sebagai penguasa yang Syar'i, maka bisa ke sana untuk meminta hukuman.
Hanya saja, mengaku zina untuk dihukum tidak wajib dilakukan. Sunnahnya justru menyembunyikan aib, kemudian bertaubat sungguh-sungguh. Dalil yang menunjukkan bahwa mengaku untuk dihukum tidak wajib dan justru menyembunyikan aib malah sunnah adalah hadis berikut;
Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya dia berkata, "Ma'iz bin Malik datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, "Wahai Rasulullah, sucikanlah diriku." Rasulullah menjawab: "Ah kamu! Pulang dan mintalah ampun kepada Allah, dan bertaubatlah kepada-Nya." Kemudian Ma'iz pergi, tidak lama kemudian dia kembali lagi sambil berkata: "Wahai Rasulullah, sucikanlah daku." Beliau menjawab: " Ah kamu! Pulang dan mintalah ampun kepada Allah, dan bertaubatlah kepada-Nya." Lalu Ma'iz pergi, tetapi belum begitu jauh dia pergi, dia kembali lagi dan berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, sucikanlah daku." Beliau menjawab sebagaimana jawabannya yang pertama, (H.R. Muslim)
Dalam hadis ini diterangkan bahwa Rasulullah صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ memerintahkan orang yang mengaku berzina agar pulang dan bertaubat. Rasulullah صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ menganjurkan sampai tiga kali. Karena itu hadis ini menunjukkan bahwa yang lebih afdhol adalah menyembunyikan aib dan bertaubat secara diam-diam. An-Nawawi menjelaskan makna Hadis ini dalam syarahnya sebagai berikut;
"dalam hadis ini terdapat dalil gugurnya dosa maksiat-maksiat besar dengan taubat, dan hal ini adalah Ijma' kaum Muslimin" (syarah Shohih Muslim, vol 11, hlm 199)
Ibnu Hajar juga mengutip sikap tegas As-Syafi'I terkait ketentuan ini;
"As-Syafi'i mengambil pendapat ini dengan tegas, beliau berkata: Saya suka jika orang melakukan dosa lalu Allah menutupi aibnya kemudian dia menutupi aibnya sendiri dan bertaubat (Fathu Al-Bari, vol 12, hlm 125)
Dalam hadis riwayat Malik, ada perintah lugas dari Rasulullah صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ untuk menyembunyikan aib dosa zina jika sampai terjerumus melakukan. Malik meriwayatkan;
Dari Zaid bin Aslam berkata, "Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada seorang laki-laki mengaku telah berbuat zina, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu minta diambilkan sebuah cambuk, maka dibawakanlah sebuah cambuk yang telah rusak. Beliau bersabda: "Yang lebih baik dari ini." Lalu diberikan cambuk masih bagus dan belum dipotong ujungnya. Beliau bersabda: "Yang lebih rendah kualitasnya dari ini." Kemudian diberikan cambuk yang telah dirangkai dan agak lunak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian memerintahkan untuk mencambuknya, maka laki-laki itu pun dicambuk. Setelah itu beliau bersabda: "Wahai para manusia, sungguh telah sampai waktunya kalian untuk berhenti (melakukan pelanggaran terhadap) larangan-larangan Allah. Barangsiapa terjerumus pada perbuatan kotor ini maka hendaknya dia menutupinya selam Allah menutupinya, Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukum Allah." (H.R. Malik)
Jika orang yang terjerumus dalam zina memilih menyembunyikan dari penguasa dan tidak meminta hukuman, maka cara bertaubatnya sebagaimana diterangkan para ulama adalah melakukan tiga hal; 1.meninggalkan maksiat tersebut 2. Menyesali perbuatan maksiat tersebut 3.bertekad untuk tidak mengulanginya selamanya. Tiga hal ini dilakukan sambil memperbanyak istighfar dan beramal shalih untuk menghapus dosa tersebut. Allah mengabarkan dalam Al-Quran bahwa taubat yang sungguh-sungguh dan beramal shalih akan menghapuskan keburukan-keburukan yang pernah dilakukan. Allah berfirman;
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Az-Zumar; 53)
dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Furqon; 68-70)
Sejumlah hadis juga menguatkan prinsip ini. Bukhari meriwayatkan;
Dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, bahwa orang-orang musyrik dahulu sering membunuh, sering berzina dan lalu mereka mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; wahai Muhammad, apa yang engkau katakan dan engkau serukan adalah baik. Bersediakah engkau mengabarkan kepada kami jika apa yang telah kami perbuat ada kafaratnya? lalu Allah Azza wa jalla menurunkan ayat: Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina, dan turunlah ayat: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. (H.R. Bukhari)
Ahmad meriwayatkan;
Dari Abdullah ia berkata; Seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya mengatakan; Wahai Rasulullah, aku menemui seorang wanita di sebuah kebun, maka akupun memeluknya, aku raba dia, kuciumi dan aku melakukan apa saja kepadanya selain menyetubuhinya. Ia mengatakan; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun mendiamkannya hingga turun ayat ini: (Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat). Ia melanjutkan; Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanggilnya dan membacakan ayat itu kepadanya. Umar pun berkata; Wahai Rasulullah, apakah itu khusus untuknya atau untuk seluruh manusia, beliau menjawab: "Bahkan untuk seluruh manusia." (H.R. Ahmad)
Namun, jika lebih sreg dengan meminta hukuman cambuk, maka hal tersebut juga tidak dilarang. Hukuman dunia dinyatakan dalam hadis juga menghapus dosa. Bukhari meriwayatakan;
Dari Az Zuhri berkata, telah mengabarkan kepada kami Abu Idris 'Aidzullah bin Abdullah, bahwa 'Ubadah bin Ash Shamit adalah sahabat yang ikut perang Badar dan juga salah seorang yang ikut bersumpah pada malam Aqobah, dia berkata; bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ketika berada ditengah-tengah sebagian sahabat: "Berbai'atlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak bermaksiat dalam perkara yang ma'ruf. Barangsiapa diantara kalian yang memenuhinya maka pahalanya ada pada Allah dan barangsiapa yang melanggar dari hal tersebut lalu Allah menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat baginya, dan barangsiapa yang melanggar dari hal-hal tersebut kemudian Allah menutupinya (tidak menghukumnya di dunia) maka urusannya kembali kepada Allah, jika Dia mau, dimaafkannya atau disiksanya". Maka kami membai'at Beliau untuk perkara-perkara tersebut. (H.R. Bukhari)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan