Beberapa tahun ini saya banyak memikirkan tentang kematian, dimana
bagi saya ini merupakan satu masalah yang sangat penting untuk kita
pelajari dan mengerti secara tepat. Kematian merupakan suatu realita
yang tidak dapat ditolak, cepat atau lambat, tua atau muda dengan
segala cara, sakit, kecelakaan ataupun karena usia tua. Kita harus
siap kapan saja dan dimana saja. Suatu realita hidup yang begitu
tragis sekali dimana sesungguhnya hidup manusia itu begitu rentan
dan singkat. Hans Baldung melukis suatu lukisan yang diberikan judul:
“Tingkat-tingkat kehidupan dengan kematian.” Ia ingin
mengungkapkan mengenai tingkat kehidupan dimana ketika manusia
lahir dengan keadaan secara jasmani begitu indah, kemudian
kecantikan yang sempurna didalam seorang manusia dalam
kedewasaannya, selanjutnya berubah dengan timbulnya keriput karena
tua dan akhirnya menjadi satu mayat yang begitu mengerikan.
Semuanya ini merupakan sesuatu yang tidak dapat kita hindarkan
sebagai manusia, kita semua menjalani hidup dibawah bayang-bayang
maut.
Disini terdapat beberapa sikap atau cara orang dalam menghadapi kematian:
1). Sikap yang naif. Orang berusaha menghindari membicarakan hal-hal yang sedemikian karena itu hanya akan menimbulkan ketakutan/kesialan. Sikap ini mirip seperti burung onta yang ketika dalam bahaya menyembunyikan kepalanya kedalam lobang dan membiarkan tubuhnya masih ada. 2). Sikap yang sangat “berhikmat.” Epikuros mengajarkan satu etika yang sepertinya amat indah tetapi didalamnya humanistik atheis yang sangat menyesatkan didalam pandangan Kristen. Ia mengatakan, “Ketika kita takut mati berarti kita belum mati, dan ketika kita sudah mati, kita sudah tidak bisa takut, karena itu kita tidak perlu takut mati.” Asumsinya adalah ketidakpercayaan kepada adanya Tuhan yang campur tangan mengurus kehidupan manusia seperti didalam konsep Kristen, serta adanya jiwa setelah kematian.
Apakah kematian itu, mengapa ada kematian dan bagaimana cara kita menghadapi masalah kematian? Kita akan melihat hal ini dalam dalam perspektif Kristen. Iman Kristen melihat kematian sebagai sesuatu yang abnormal/sesuatu yang buruk sekali. Didalam kematian Lazarus, dikatakan disitu bahwa Yesus menangis (Yunani: mengandung suatu kesedihan dan kemarahan terhadap kondisi manusia yang sebenarnya bukan diperkenan Tuhan). Allah menciptakan manusia supaya hidup bahagia dalam persekutuan dan menikmati rahmat Tuhan yang limpah, tetapi karena dosa manusia, kematian datang kedalam hidup manusia. Kematian harus dimengerti dalam tiga rangkap arti yaitu bukan hanya kematian secara fisik tetapi kematian rohani dan kekal. Kejatuhan manusia dalam dosa mengakibatkan hubungannya dengan Allah terputus dan ia dikuasai oleh iblis sehingga mati secara rohani, dan itu membuat manusia menjadi mahkluk yang dipenuhi dengan segala permasalahannya, karena dosa sudah menghancurkan hidupnya. Maka ketika kematian fisik tiba, itu berarti habisnya kesempatan untuk dipulihkan, dilepaskan dari hukuman Tuhan dan diselamatkan. Ketika kita mati maka kondisi dalam dosa inilah yang akan kita bawa didalam kekekalan, kita mati kekal. Inilah yang harus kita takuti! Kita tidak takut kepada kematian fisik tetapi yang kita takuti ialah kita memasuki kekekalan didalam kondisi yang celaka dan dikuasai oleh dosa.
Semua pengajaran manusia tidak akan pernah membuat manusia lepas dari dosanya. Martin Luther pernah dalam pergumulannya melawan dosa hampir putus asa. Dia ingin selamat dan untuk selamat ia harus mencapai standar kesucian dan puncaknya adalah mengasihi Tuhan. Namun ia tahu bahwa ia tidak sanggup dan kesimpulannya pasti binasa sehingga bagaimana mungkin yang akan binasa dapat mengasihi yang akan membinasakannya. Disinilah justru melalui anugerah Tuhan ia dibenarkan oleh iman. Kristus didalam kesempurnaan Allah dan manusia mati menebus dosa manusia. Ia menerima segala hukuman yang harusnya ditanggung manusia dan didalam kuasanya Ia memiliki hidup yang tidak berkebinasaan yang ketika sengat maut mau menghancurkan justru kuasa hidup menhancurkan, mematahkan dan memberikan kemenangan bagi kita semua. Bangkit dengan tubuh kemuliaan yang akan diberikan juga menjadi bagian kita sehingga Ia akan disebut sebagai yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati. Demikianlah mereka yang berharap dan percaya kepadaNya mendapatkan janji kebangkitan daripada kematian, hidup yang tidak berkebinasaan. Kematian Yesus yang sudah menghancurkan kuasa setan dan dosa secara sempurna memberikan jawaban bagi permasalahan kita bahwa kematian bukan lagi menjadi sesuatu yang menakutkan, karena sengatnya sudah dipatahkan dan hidup kita yang sementara, yang satu hari nanti akan mati akan dibangkitkan.
Dengan pengertian ini kita dapat meresponi realita kematian dan bagaimana kita menjalani hidup ini dengan sebaik dan sebijaksana mungkin. Ada beberapa point yang akan kita renungkan bersama, yaitu: 1). Kesadaran bahwa kematian merupakan masalah terbesar yang harus kita selesaikan membawa kita pada urgensinya untuk membereskan hubungan kita dengan Tuhan. Mungkin ada orang yang sudah giat melayani bahkan mungkin menjadi hamba Tuhan, namun apakah sesungguhnya hidup kita sudah dilahirkan kembali? Paulus mengatakan, “Aku mengawasi diriku, supaya jangan setelah aku melayani Tuhan orang diselamatkan tetapi aku sendiri yang ditolak.” Orang Reformed harus menjaga antara kemantapan jaminan keselamatan dan sikap rendah hati yang mau mengevaluasi diri. Dua-duanya tidak bertentangan dan hal ini harus kita miliki. Blaise Pascal mengatakan bahwa sekalipun manusia begitu kecil tetapi manusia tetap lebih agung daripada alam semesta karena ia memiliki rasio dan sifat yang begitu mulia, namun ia begitu bodoh karena jiwanya yang kekal dan bersifat sangat penting tidak sungguh-sungguh dipikirkan secara serius dan dijaga.
2). Pemikiran akan sorga memberikan kita dorongan dan kekuatan yang besar untuk melakukan karya-karya besar bagi dunia ini. C.S. Lewis mengatakan, “Jika anda membaca sejarah maka anda akan mendapati bahwa orang-orang yang berbuat paling banyak bagi dunia ini adalah mereka yang paling banyak berpikir mengenai dunia yang akan datang. Mereka semua telah meninggalkan jejak mereka didalam dunia ini karena pemikiran mereka diisi oleh sorga. Justru karena orang Kristen pada umumnya tidak lagi berpikir mengenai dunia yang akan datang maka mereka menjadi tidak efektif dan berguna didunia ini.” Para pahlawan iman seringkali merupakan orang yang mempunyai banyak penyakit, kelemahan dan hambatan tetapi mereka tidak dapat dihalangi karena panggilan sorgawi mereka begitu jelas sehingga mereka tidak dapat diam sekalipun menghadapi halangan apa saja. Inilah hal yang paradoks dan sekaligus ironis! Justru karena kita terlalu sehat dan banyak kesempatan untuk menikmati hidup akhirnya hidup kita menjadi sia-sia dan tersesali waktu tua. Dalam Flp 3:14; 20-21 dikatakan, “Aku melupakan apa yang telah dibelakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang dihadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” Paulus adalah orang yang teguh sampai pada garis akhir dengan penuh kemenangan (diperjelas dalam II Kor 4:16-18).
3). Kesadaran bahwa setelah mati kita akan memperoleh hadiah atau hukuman dari Allah, itu memberikan pada kita sense of responsibility khususnya didalam kehidupan moral kita. Viktor Frankl melihat arti penting dari kematian didalam kehidupan manusia. Ia mengatakan, “Jika manusia tidak dapat mati maka tentunya ia akan dapat dan dibenarkan untuk menangguhkan setiap tindakan untuk waktu yang lama dan selama-lamanya. Ia tidak perlu membuat keputusan, karena apa yang ia putuskan tidak akan memberikan perubahan, karena masih ada kesempatan. Namun dengan adanya kematian sebagai akhir mutlak bagi masa depan dan pembatas bagi kemungkinan maka kita memiliki keharusan untuk tidak melewatkan satu peluangpun untuk melakukan tindakan yang dapat mempengaruhi seluruh hidup kita. Kesadaran akan kematian membuat kita serius dan sadar bahwa kita tidak akan berada terus-menerus dalam dunia ini, sehingga keputusan yang kita buat mempunyai pertanggungjawaban terhadap Tuhan. Dan itu juga memberikan pada kita satu kerelaan untuk melayani tanpa dilihat manusia. Kesadaran inilah yang akan membuat moral dan etika kita menjadi berbeda.
4). Pikiran akan sorgawi memberikan pada kita satu perspektif Calvin yang benar untuk menetapkan nilai hidup dan hikmat bagaimana membangun kehidupan kita yang paling berarti dan limpah. Rahasianya sudah ada dalam firman Tuhan yaitu dalam I Kor 7:29-31 dikatakan: “… sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu.” John Calvin memberikan suatu pandangan dimana sikap kita mempergunakan hal-hal dunia ini seharusnya seperti seorang musafir yang pemikirannya terarah pada negeri sorgawi yang sedang kita tuju. Dengan demikian kita akan menjadi orang yang mempunyai sikap siap rela melepaskan segala milik dan kenikmatan yang kita peroleh dengan tangan terbuka sebagai persembahan pada Tuhan. Dan ketika kita memperoleh berkat nikmat, kita menerimanya sebagai pembangkit selera atas nikmat sorga yang lebih tinggi yang akan mengingatkan kita pada suatu kelimpahan yang lebih besar yang sedang menanti kita didunia yang akan datang. Inilah paradoks! Kalau kita tidak memiliki sikap demikian maka kita berada dalam kondisi berbahaya. Kita hanya mampu mengasihi kehidupan kita yang sesungguhnya ketika kita sungguh-sungguh telah belajar menganggap rendah dunia ini. Kita menerima anugerah Tuhan karena memberikan kenikmatan untuk kita nikmati tetapi kita mengucap syukur pada Tuhan dan itu tidak pernah mengikat lalu ketika kehilangan kita anggap bahwa Tuhan kita yang hilang dan Tuhan tidak penting. Waktu itulah baru nyata mana yang penting! Seorang yang berusia 28 tahun bernama Jim Elliot mengatakan satu perkataan yang sangat terkenal: “Orang yang melepaskan apa yang tidak dapat dipertahankan dan memegang erat apa yang tidak dapat direbut darinya bukanlah orang yang bodoh. Kalau kita tidak memahami dengan baik akan hal ini maka dalam kehidupan kita seringkali terjadi cekcok karena hal-hal yang sepele, sehingga hal yang penting kita korbankan. Biarlah kita memiliki kebijaksanaan untuk melihat hal ini.
5). Selanjutnya kita akan melihat bahwa pemikiran sorgawi ini akan menolong dan mengangkat kita mengatasi kehidupan yang tidak mudah dan memberikan kekuatan yang dibutuhkan untuk bersabar dalam kehidupan didunia ini sampai tiba waktunya Allah membawa kita kembali ke sorga. Didalam dunia ini banyak orang yang susah dan memiliki banyak masalah tanpa terkecuali orang yang mempunyai materi. Sehingga orang baru dapat menerima seluruh realita hidup yang berdosa ini jika ia memiliki satu pengharapan akan mendapatkan sesuatu yang lebih indah. Terkadang didalam kekurangan orang justru itu menjadi suatu kelebihan/ anugerah yang semua orang sebenarnya tidak mau tetapi kemudian setelah menjalaninya ia baru menyadari bahwa itu anugerah Tuhan.
Orang yang tidak mempersiapkan dan memikirkan kematian, saya pikir adalah orang yang tidak siap hidup. Dengan pemahaman mengenai realita kefanaan, pencarian mengenai makna kehidupan dan harapan dari Tuhan akan memberikan kepada kita suatu sikap dimensi hidup dan satu standar hidup yang akan menjadikan kita manusia sesungguhnya (Mzm 8). Biarlah kita tidak melupakan akan panggilan sorgawi, harapan sorga supaya kita tahu hidup yang bijaksana menganggap rendah apa yang memang sepele dan mementingkan apa yang memang bersifat kekal. Biarlah saat ini kita meresponi dan bertekad memperbaharui hidup sesuai dengan apa yang telah diajarkan Roh Kudus melalui firman yang disampaikan hambaNya. Amin.?
Disini terdapat beberapa sikap atau cara orang dalam menghadapi kematian:
1). Sikap yang naif. Orang berusaha menghindari membicarakan hal-hal yang sedemikian karena itu hanya akan menimbulkan ketakutan/kesialan. Sikap ini mirip seperti burung onta yang ketika dalam bahaya menyembunyikan kepalanya kedalam lobang dan membiarkan tubuhnya masih ada. 2). Sikap yang sangat “berhikmat.” Epikuros mengajarkan satu etika yang sepertinya amat indah tetapi didalamnya humanistik atheis yang sangat menyesatkan didalam pandangan Kristen. Ia mengatakan, “Ketika kita takut mati berarti kita belum mati, dan ketika kita sudah mati, kita sudah tidak bisa takut, karena itu kita tidak perlu takut mati.” Asumsinya adalah ketidakpercayaan kepada adanya Tuhan yang campur tangan mengurus kehidupan manusia seperti didalam konsep Kristen, serta adanya jiwa setelah kematian.
Apakah kematian itu, mengapa ada kematian dan bagaimana cara kita menghadapi masalah kematian? Kita akan melihat hal ini dalam dalam perspektif Kristen. Iman Kristen melihat kematian sebagai sesuatu yang abnormal/sesuatu yang buruk sekali. Didalam kematian Lazarus, dikatakan disitu bahwa Yesus menangis (Yunani: mengandung suatu kesedihan dan kemarahan terhadap kondisi manusia yang sebenarnya bukan diperkenan Tuhan). Allah menciptakan manusia supaya hidup bahagia dalam persekutuan dan menikmati rahmat Tuhan yang limpah, tetapi karena dosa manusia, kematian datang kedalam hidup manusia. Kematian harus dimengerti dalam tiga rangkap arti yaitu bukan hanya kematian secara fisik tetapi kematian rohani dan kekal. Kejatuhan manusia dalam dosa mengakibatkan hubungannya dengan Allah terputus dan ia dikuasai oleh iblis sehingga mati secara rohani, dan itu membuat manusia menjadi mahkluk yang dipenuhi dengan segala permasalahannya, karena dosa sudah menghancurkan hidupnya. Maka ketika kematian fisik tiba, itu berarti habisnya kesempatan untuk dipulihkan, dilepaskan dari hukuman Tuhan dan diselamatkan. Ketika kita mati maka kondisi dalam dosa inilah yang akan kita bawa didalam kekekalan, kita mati kekal. Inilah yang harus kita takuti! Kita tidak takut kepada kematian fisik tetapi yang kita takuti ialah kita memasuki kekekalan didalam kondisi yang celaka dan dikuasai oleh dosa.
Semua pengajaran manusia tidak akan pernah membuat manusia lepas dari dosanya. Martin Luther pernah dalam pergumulannya melawan dosa hampir putus asa. Dia ingin selamat dan untuk selamat ia harus mencapai standar kesucian dan puncaknya adalah mengasihi Tuhan. Namun ia tahu bahwa ia tidak sanggup dan kesimpulannya pasti binasa sehingga bagaimana mungkin yang akan binasa dapat mengasihi yang akan membinasakannya. Disinilah justru melalui anugerah Tuhan ia dibenarkan oleh iman. Kristus didalam kesempurnaan Allah dan manusia mati menebus dosa manusia. Ia menerima segala hukuman yang harusnya ditanggung manusia dan didalam kuasanya Ia memiliki hidup yang tidak berkebinasaan yang ketika sengat maut mau menghancurkan justru kuasa hidup menhancurkan, mematahkan dan memberikan kemenangan bagi kita semua. Bangkit dengan tubuh kemuliaan yang akan diberikan juga menjadi bagian kita sehingga Ia akan disebut sebagai yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati. Demikianlah mereka yang berharap dan percaya kepadaNya mendapatkan janji kebangkitan daripada kematian, hidup yang tidak berkebinasaan. Kematian Yesus yang sudah menghancurkan kuasa setan dan dosa secara sempurna memberikan jawaban bagi permasalahan kita bahwa kematian bukan lagi menjadi sesuatu yang menakutkan, karena sengatnya sudah dipatahkan dan hidup kita yang sementara, yang satu hari nanti akan mati akan dibangkitkan.
Dengan pengertian ini kita dapat meresponi realita kematian dan bagaimana kita menjalani hidup ini dengan sebaik dan sebijaksana mungkin. Ada beberapa point yang akan kita renungkan bersama, yaitu: 1). Kesadaran bahwa kematian merupakan masalah terbesar yang harus kita selesaikan membawa kita pada urgensinya untuk membereskan hubungan kita dengan Tuhan. Mungkin ada orang yang sudah giat melayani bahkan mungkin menjadi hamba Tuhan, namun apakah sesungguhnya hidup kita sudah dilahirkan kembali? Paulus mengatakan, “Aku mengawasi diriku, supaya jangan setelah aku melayani Tuhan orang diselamatkan tetapi aku sendiri yang ditolak.” Orang Reformed harus menjaga antara kemantapan jaminan keselamatan dan sikap rendah hati yang mau mengevaluasi diri. Dua-duanya tidak bertentangan dan hal ini harus kita miliki. Blaise Pascal mengatakan bahwa sekalipun manusia begitu kecil tetapi manusia tetap lebih agung daripada alam semesta karena ia memiliki rasio dan sifat yang begitu mulia, namun ia begitu bodoh karena jiwanya yang kekal dan bersifat sangat penting tidak sungguh-sungguh dipikirkan secara serius dan dijaga.
2). Pemikiran akan sorga memberikan kita dorongan dan kekuatan yang besar untuk melakukan karya-karya besar bagi dunia ini. C.S. Lewis mengatakan, “Jika anda membaca sejarah maka anda akan mendapati bahwa orang-orang yang berbuat paling banyak bagi dunia ini adalah mereka yang paling banyak berpikir mengenai dunia yang akan datang. Mereka semua telah meninggalkan jejak mereka didalam dunia ini karena pemikiran mereka diisi oleh sorga. Justru karena orang Kristen pada umumnya tidak lagi berpikir mengenai dunia yang akan datang maka mereka menjadi tidak efektif dan berguna didunia ini.” Para pahlawan iman seringkali merupakan orang yang mempunyai banyak penyakit, kelemahan dan hambatan tetapi mereka tidak dapat dihalangi karena panggilan sorgawi mereka begitu jelas sehingga mereka tidak dapat diam sekalipun menghadapi halangan apa saja. Inilah hal yang paradoks dan sekaligus ironis! Justru karena kita terlalu sehat dan banyak kesempatan untuk menikmati hidup akhirnya hidup kita menjadi sia-sia dan tersesali waktu tua. Dalam Flp 3:14; 20-21 dikatakan, “Aku melupakan apa yang telah dibelakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang dihadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” Paulus adalah orang yang teguh sampai pada garis akhir dengan penuh kemenangan (diperjelas dalam II Kor 4:16-18).
3). Kesadaran bahwa setelah mati kita akan memperoleh hadiah atau hukuman dari Allah, itu memberikan pada kita sense of responsibility khususnya didalam kehidupan moral kita. Viktor Frankl melihat arti penting dari kematian didalam kehidupan manusia. Ia mengatakan, “Jika manusia tidak dapat mati maka tentunya ia akan dapat dan dibenarkan untuk menangguhkan setiap tindakan untuk waktu yang lama dan selama-lamanya. Ia tidak perlu membuat keputusan, karena apa yang ia putuskan tidak akan memberikan perubahan, karena masih ada kesempatan. Namun dengan adanya kematian sebagai akhir mutlak bagi masa depan dan pembatas bagi kemungkinan maka kita memiliki keharusan untuk tidak melewatkan satu peluangpun untuk melakukan tindakan yang dapat mempengaruhi seluruh hidup kita. Kesadaran akan kematian membuat kita serius dan sadar bahwa kita tidak akan berada terus-menerus dalam dunia ini, sehingga keputusan yang kita buat mempunyai pertanggungjawaban terhadap Tuhan. Dan itu juga memberikan pada kita satu kerelaan untuk melayani tanpa dilihat manusia. Kesadaran inilah yang akan membuat moral dan etika kita menjadi berbeda.
4). Pikiran akan sorgawi memberikan pada kita satu perspektif Calvin yang benar untuk menetapkan nilai hidup dan hikmat bagaimana membangun kehidupan kita yang paling berarti dan limpah. Rahasianya sudah ada dalam firman Tuhan yaitu dalam I Kor 7:29-31 dikatakan: “… sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu.” John Calvin memberikan suatu pandangan dimana sikap kita mempergunakan hal-hal dunia ini seharusnya seperti seorang musafir yang pemikirannya terarah pada negeri sorgawi yang sedang kita tuju. Dengan demikian kita akan menjadi orang yang mempunyai sikap siap rela melepaskan segala milik dan kenikmatan yang kita peroleh dengan tangan terbuka sebagai persembahan pada Tuhan. Dan ketika kita memperoleh berkat nikmat, kita menerimanya sebagai pembangkit selera atas nikmat sorga yang lebih tinggi yang akan mengingatkan kita pada suatu kelimpahan yang lebih besar yang sedang menanti kita didunia yang akan datang. Inilah paradoks! Kalau kita tidak memiliki sikap demikian maka kita berada dalam kondisi berbahaya. Kita hanya mampu mengasihi kehidupan kita yang sesungguhnya ketika kita sungguh-sungguh telah belajar menganggap rendah dunia ini. Kita menerima anugerah Tuhan karena memberikan kenikmatan untuk kita nikmati tetapi kita mengucap syukur pada Tuhan dan itu tidak pernah mengikat lalu ketika kehilangan kita anggap bahwa Tuhan kita yang hilang dan Tuhan tidak penting. Waktu itulah baru nyata mana yang penting! Seorang yang berusia 28 tahun bernama Jim Elliot mengatakan satu perkataan yang sangat terkenal: “Orang yang melepaskan apa yang tidak dapat dipertahankan dan memegang erat apa yang tidak dapat direbut darinya bukanlah orang yang bodoh. Kalau kita tidak memahami dengan baik akan hal ini maka dalam kehidupan kita seringkali terjadi cekcok karena hal-hal yang sepele, sehingga hal yang penting kita korbankan. Biarlah kita memiliki kebijaksanaan untuk melihat hal ini.
5). Selanjutnya kita akan melihat bahwa pemikiran sorgawi ini akan menolong dan mengangkat kita mengatasi kehidupan yang tidak mudah dan memberikan kekuatan yang dibutuhkan untuk bersabar dalam kehidupan didunia ini sampai tiba waktunya Allah membawa kita kembali ke sorga. Didalam dunia ini banyak orang yang susah dan memiliki banyak masalah tanpa terkecuali orang yang mempunyai materi. Sehingga orang baru dapat menerima seluruh realita hidup yang berdosa ini jika ia memiliki satu pengharapan akan mendapatkan sesuatu yang lebih indah. Terkadang didalam kekurangan orang justru itu menjadi suatu kelebihan/ anugerah yang semua orang sebenarnya tidak mau tetapi kemudian setelah menjalaninya ia baru menyadari bahwa itu anugerah Tuhan.
Orang yang tidak mempersiapkan dan memikirkan kematian, saya pikir adalah orang yang tidak siap hidup. Dengan pemahaman mengenai realita kefanaan, pencarian mengenai makna kehidupan dan harapan dari Tuhan akan memberikan kepada kita suatu sikap dimensi hidup dan satu standar hidup yang akan menjadikan kita manusia sesungguhnya (Mzm 8). Biarlah kita tidak melupakan akan panggilan sorgawi, harapan sorga supaya kita tahu hidup yang bijaksana menganggap rendah apa yang memang sepele dan mementingkan apa yang memang bersifat kekal. Biarlah saat ini kita meresponi dan bertekad memperbaharui hidup sesuai dengan apa yang telah diajarkan Roh Kudus melalui firman yang disampaikan hambaNya. Amin.?
Tiada ulasan:
Catat Ulasan