 Hidup
 ini tidak memuaskan. Ada saja yang kita rasa masih kurang kita miliki; 
harta, rezeki, berkah, sandang-pangan, pekerjaan, kesehatan, keamanan, 
keturunan, keselamatan, kebahagiaan, dll. Sesungguhnya semua itu bisa 
kita dapatkan dengan melakukan suatu usaha, dengan membuat sebabnya, 
karena manusia memang memiliki potensi untuk itu. Manusia bukanlah 
makhluk lemah dan ringkih, sehingga untuk memenuhi segala kebutuhannya 
harus mengharapkan belas kasihan makhluk lain. Menurut agama Buddha, 
manusia bukanlah wayang golek, yang segala sesuatunya diatur dan 
digerakkan oleh Pak Dalang/Sutradara. Tak ada makhluk lain yang ikut 
mengatur persoalan nasib seseorang. Namun karena terbelenggu oleh 
ketidaktahuan, manusia tidak dapat melihat dan merealisasikan potensi 
yang ada pada dirinya. Mereka lebih suka memohon dan meminta kepada para
 dewa, sebagai jalan pintas untuk memenuhi segala keinginannya, tanpa 
mau bersusah payah. Apalagi bila dalam memohon itu dipersembahkan sajian
 yang mewah dan mahal, maka dianggap akan lebih mempercepat terkabulnya 
permintaan mereka. Tindakan memohon dan meminta kemurahari hati para 
Dewa atau Maha Dewa untuk sesuatu inilah yang umum disebut Berdoa.
Hidup
 ini tidak memuaskan. Ada saja yang kita rasa masih kurang kita miliki; 
harta, rezeki, berkah, sandang-pangan, pekerjaan, kesehatan, keamanan, 
keturunan, keselamatan, kebahagiaan, dll. Sesungguhnya semua itu bisa 
kita dapatkan dengan melakukan suatu usaha, dengan membuat sebabnya, 
karena manusia memang memiliki potensi untuk itu. Manusia bukanlah 
makhluk lemah dan ringkih, sehingga untuk memenuhi segala kebutuhannya 
harus mengharapkan belas kasihan makhluk lain. Menurut agama Buddha, 
manusia bukanlah wayang golek, yang segala sesuatunya diatur dan 
digerakkan oleh Pak Dalang/Sutradara. Tak ada makhluk lain yang ikut 
mengatur persoalan nasib seseorang. Namun karena terbelenggu oleh 
ketidaktahuan, manusia tidak dapat melihat dan merealisasikan potensi 
yang ada pada dirinya. Mereka lebih suka memohon dan meminta kepada para
 dewa, sebagai jalan pintas untuk memenuhi segala keinginannya, tanpa 
mau bersusah payah. Apalagi bila dalam memohon itu dipersembahkan sajian
 yang mewah dan mahal, maka dianggap akan lebih mempercepat terkabulnya 
permintaan mereka. Tindakan memohon dan meminta kemurahari hati para 
Dewa atau Maha Dewa untuk sesuatu inilah yang umum disebut Berdoa.
Umat Buddha memuja Sang Buddha, sama 
sekali tidak dengan harapan untuk memperoleh hadiah-hadiah duniawi 
maupun spiritual, seperti: rezeki, harta, pekerjaan, jodoh, keturunan, 
keselamatan, berkah, diampuni dosanya, sorga, atau pamrih apapun. Bukan 
juga karena perasaan takut akan hukuman. Kita menghormat dan sujud 
kepada Sang Buddha karena Beliaulah yang menemukan dan membabarkan Jalan
 Kebebasan. Karena itu, tidaklah berkelebihan bila Puja Bakti, 
sembahyang, dalam agama Buddha adalah betul- betul mumi dan tulus.
Dengan mempersembahkan bunga dan dupa di
 hadapan Buddha Rupang, kita bermaksud membuat diri kita merasa 
berhadapan langsung dengan Sang Buddha. Dengan cara demikian kita 
memperoleh inspirasi dari sifat pribadi Sang Buddha yang mulia, dan 
menghirup kasih sayang Beliau yang tak terbatas, serta merenungi dan 
mencoba untuk mengikuti contoh mulia Beliau. Pohon Bodhi juga merupakan 
lambang pencapaian penerangan sempuma. Obyek-obyek penghormatan luar ini
 tidak mutlak perlu, dan ini hanya berguna untuk memusatkan pikiran 
seseorang kala bermeditasi.
Seseorang yang sudah maju tidak 
memerlukan obyek-obyek luar tersebut Karena dengan mudah ia dapat 
memusatkan perhatiannya dan menggambarkan Sang Buddha dalam batinnya. 
Demi kebaikan kita sendiri dan karena rasa terima kasih, maka kita 
melakukan penghormatan luar seperti itu. Tapi yang diharapkan oleh Sang 
Buddha dari para pengikutnya bukanlah penghormatan seperti itu. Sang 
Buddha bersabda; bahwa cara penghormatan yang paling tepat adalah 
melaksanakan ajaran-Nya dengan baik.
Dalam agama Buddha tidak ada doa-doa 
permohonan, minta-minta keselamatan, berkah, rezeki, pengampunan, dan 
lain-lain; baik kepada Dewa, Brahma, Sang Buddha sendiri, ataupun Tuhan.
 Beliau tak pernah manjanjikan hadiah kepada mereka yang berdoa 
kepada-Nya. Sang Buddha tidak hanya menyatakan betapa sia-sianya doa-doa
 permohonan, tapi juga Beliau mencela perbudakan mental seperti itu.
Mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan 
umatnya berdoa atau memohon atau meminta-minta kepada Tuhan, karena 
Tuhan -Yang Maha Esa- dalam agama Buddha bukanlah suatu pribadi atau 
makhluk hidup yang menjadi tempat menggantungkan hidup, berdoa, atau 
memohon. Tuhan dipandang sebagai Tujuan Akhir bagi semua makhluk. Dengan
 demikian, doa permohonan tidak tepat ditujukan kepada Tuhan dalam 
pengertian agama Buddha. Sang Buddha telah berhasil menempatkan Tuhan 
pada proporsi yang sebenamya, yaitu sebagai Dhamma Yang Tertinggi, Yang 
Tak Bersyarat. Demikian juga halnya dengan Sang Buddha, karena telah 
menyadari dan menyelami hakikat Tuhan yang sebenamya, maka Beliau tidak 
seharusnya dipaksa untuk mengurusi hat-hal duniawi. Umpamanya, dengan 
menjadikannya sebagai cukong yang senang berdagang kesejahteraan atau 
kebahagiaan; ataupun sebagai hakim yang dapat disuap dengan doa-doa, 
puji-pujian, maupun persembahan kurban. Sebagai Guru yang menganjurkan 
Ehipassiko, maka mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan doa 
permohonan/minta-minta, dapat dikaji dari manfaat atau kegunaan doa yang
 demikian itu. Untuk mengkaji manfaatnya, kita dapat membuat suatu 
analogi yang sederhana.
Ada tiga orang petani, menanam jagung dengan faktor-faktor penunjang tanah, air, cuaca, perawatan, dl1- yang sama. Tapi:
- Si A, berdoa siang malam, agar biji jagung yang ditanam tumbuh menjadi pohon mangga.
- Si B, berdoa agar biji jagung itu tumbuh menjadi pohon jagung.
- Si C, tidak berdoa, karena yakin “segala sesuatu itu akan tumbuh dan berbuah sesuai dengan benih yang ditanam”.
- Si A, berdoa siang malam, agar biji jagung yang ditanam tumbuh menjadi pohon mangga.
- Si B, berdoa agar biji jagung itu tumbuh menjadi pohon jagung.
- Si C, tidak berdoa, karena yakin “segala sesuatu itu akan tumbuh dan berbuah sesuai dengan benih yang ditanam”.
Adakah yang mampu mengabulkan 
doa/permohonan si A? Rasanya penjelasan lewat analogi tersebut sudah 
sangat gamblang. Doa hanya terkabul bila pas dan sesuai dengan benih / 
karma / perbuatan kita; yang sebetulnya tanpa 
didoakan/dimohonkan/diminta juga pasti akan terkabul. Untuk membuat 
keinginan kita terkabul, sebab yang tepat mesti kita miliki atau 
ciptakan. Berdoa, itu boleh dan bisa saja, seperti kita boleh/bisa 
menebar pupuk, menyiram dengan air, tapi jika tidak menebar benih, maka 
tak ada yang tumbuh. Doa permohonan menjadi sia-sia bila kita tidak 
memiliki simpanan karma balk, tidak memiliki penyebab terkabulnya doa 
permohonan kita.
Sang Buddha saat menjelaskan bagaimana 
hukum sebab-akibat bekerja dalam pikiran kita, menyatakan bahwa membunuh
 akan menyebabkan antara lain, berusia pendek. Menghindari pembunuhan, 
akan menyebabkan usia panjang dan bebas dari penyakit Bila kita gagal 
mengikuti nasihat yang paling mendasar ini, tetapi tetap berdoa agar 
berumur panjang dan memiliki kesehatan yang balk, kita telah salah 
tafsir. Sebaliknya bila di masa lalu seseorang telah menghindari 
pembunuhan, menyelamatkan nyawa seseorang atau makhluk lain, maka 
harapannya mungkin bisa terpenuhi. Dengan cara yang sama, Sang Buddha 
mengatakan bahwa kemurahan hati merupakan awal dari kekayaan. Jika kita 
murah hati pada kehidupan yang lalu, dan sekarang berharap agar kekayaan
 kita bertambah, maka keuangan kita bisa berkembang. Sebaliknya bila 
kita kikir saat ini, kita sedang menciptakan sebab dari kemiskinan kita 
di masa mendatang!
Bila ada yang merasa doanya terkabul, 
maka terkabulnya doa itu sesungguhnya karena ia memiliki sebabnya. Ia 
mempunyai tabungan karma baik di kehidupannya yang dulu, atau karena 
usahanya pada kehidupannya sekarang ini. Untuk itu beberapa agama 
cenderung merangkaikan kata doa menjadi “Berdoa dan bekerja”. Kita tentu
 menyetujui bahwa yang menjadi penentu terpenuhinya keinginan kita 
adalah kata “bekerja”. Sebab, bekerja tanpa berdoa, keinginan kita masih
 bisa tercapai. Tapi kalau berdoa saja tanpa bekerja, hasilnya tidak 
pasti. Apakah semua ini berarti bahwa doa permohonan adalah satu hal 
yang sama sekali tidak berguna? Walaupun jelas doa itu sendiri tak bisa 
mengabulkan keinginan kita, tentu tak bisa dikatakan ‘mutlak sia-sia’. 
Karena bagaimanapun juga, berdoa jauh lebih baik daripada melamun dengan
 pikiran kosong, apalagi berbohong, mencuri, mabuk-mabukan, atau 
perbuatan buruk lainnya. Alih-alih mengajarkan doa-doa permohonan yang 
sia-sia, Sang Buddha mengajarkan Meditasi. Meditasi bukanlah berdiam 
diri melamun atau mengosongkan pikiran. Meditasi adalah perjuangan 
pikiran, latihan pengendalian pikiran; mengesampingkan segala pikiran 
dan nafsu keinginan yang rendah dan egois, mengendapkan kekotoran batin 
sehingga pikiran menjadi tenang. Makin maju tingkat meditasi kita, makin
 tenang, jemih, dan terang pikiran kita. Dengan pikiran yang jernih, 
tentu kita menjadi lebih waspada, bijaksana, dan lebih bisa membedakan 
antara yang semu dengan yang sejati. Pada tahap lebih lanjut, ini akan 
mengubah cara berpikir kita, mengubah pandangan dan tabiat kita menjadi 
lebih baik. Cara berpikir dan tabiat yang baik tentu membuat tindakan 
kita pun menjadi baik. Otomatis kelak kita akan memetik kebahagiaan, 
walaupun kita tidak berdoa, memohon, atau meminta. Meditasi merupakan 
cara sembahyang yang paling mudah dan bersih, karena tidak mewajibkan 
seseorang untuk mengucapkan apa-apa yang tidak ia mengerti. Tidak 
memperbesar keinginan atau keegoisan dengan permohonan atau permintaan 
untuk kepentingan/keuntungan diri sendiri.
Apakah berarti Dewa tidak bisa menolong manusia?
Jangankan Dewa, manusia pun bisa 
menolong, tetapi bantuan atau pertolongan itu tidak terlepas dari karma 
kita sendiri, baik pada kehidupan yang lampau maupun yang sekarang. Dewa
 yang kita mohoni, hanya mampu menyediakan situasi agar karma baik kita 
bisa tumbuh dan masak.
Bagaimana Dewa bisa menolong? Apabila 
moral dan batin kita bersih, otomatis para Dewa suka berada di dekat 
kita. Tanpa diminta pun, mereka akan berusaha membantu kita. Memberi 
firasat, menghalangi makhluk jahat atau ‘black-magic’ yang ingin 
mengganggu. Tapi kalau memang karma buruk kita yang lampau telah masak 
dan situasi serta kondisinya mendukung, maka siapa pun tak sanggup 
menolong lagi.
Dalam arti sejati:
“Diri sendiri sesungguhnya pelindung 
bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi 
dirinya? Setelah seseorang dapat melatih dirinya dengan baik, maka ia 
akan memperoleh suatu perlindungan yang sukar diperoleh”. Walau tak ada 
larangan untuk meminta pertolongan kepada para Dewa, umat Buddha tidak 
seharusnya menggantungkan hidupnya kepada para Dewa. Kemandirian 
seharusnya menjadi sikap yang utama. Sebab manusia mempunyai potensi 
tinggi untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya karena ketidaktahuannya atau 
kebodohannya yang sangat dalam itulah, maka manusia gagal untuk 
menyadari kemampuan tersebut.
Perlu diketahui bahwa pertolongan yang 
dapat diberikan oleh para Dewa maupun makhluk lain hanyalah terbatas 
pada pertolongan yang bersifat duniawi, tidak kekal, bisa musnah, bisa 
hilang; sehingga akhimya bisa menimbulkan penyesalan dan kedukaan. 
Sedangkan kesucian, kebahagiaan sejati, dan kesempurnaan, hanya dapat 
dicapai melalui usaha dan perjuangan sendiri. Sekarang mungkin timbul 
pertanyaan, “Kalau memang agama Buddha tidak mengenal ajaran tentang 
doa, permohonan, atau minta-minta, lalu apa yang dilakukan atau 
diucapkan oleh umat Buddha saat sembahyang?”
Sang Buddha mengajarkan agar kita 
memperbaiki yang ada di dalam diri kita sendiri, mengikis Lobha, Dosa, 
dan Moha. Makin bersih batin kita, makin mampu kita menahan diri dari 
perbuatan salah; yang berarti makin sedikit buah-buah pahit yang bakal 
kita terima. Yang diucapkan waktu sembahyang adalah PARITTA atau SUTTA. 
Dengan mengucapkan paritta atau sutta, pikiran dan ucapan diarahkan 
untuk berpikir dan berucap yang balk. Itu berarti membuat karma baik 
lewat pikiran dan ucapan. Makna atau tujuan kita mengucapkan paritta 
adalah sebagai pengulangan terhadap Ajaran Sang Buddha, agar kita selalu
 ingat terhadap Dhamma Sang Buddha, selalu ingat kepada sila 
(kemoralan), kepada sifat-sifat luhur Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan 
pada akhimya ini memberi kita semangat, penguat tekad, pembangkit usaha 
untuk melaksanakan Dhamma, serta sebagai pengantar yang menenangkan 
untuk memulai meditasi.
Umat Buddha menyatakan berlindung kepada
 Tiratana – Buddha, Dhamma, dan Sangha. Hal ini jangan diartikan sebagai
 perlindungan yang pasif, karena “berlindung” di sini merupakan 
pernyataan tekad, janji kepada diri sendiri untuk mempelajari, 
mempraktikkan Buddha Dhamma sampai akhimya mencapai Tujuan. Jadi 
terlindung tidaknya, tergantung dari praktik Dhamma kita sendiri; sama 
sekali tidak terkandung pengertian agar Tiratana menyelamatkan kita, 
tanpa kita perlu mempraktikkan Dhamma itu sendiri.
Ada juga Paritta yang mirip doa, berisi 
harapan, memang. Tetapi jelas itu tidak bisa disebut doa, memohon, atau 
meminta, karena sebetulnya itu adalah PATTIDANA atau Pelimpahan Jasa. 
Terkabul atau tidaknya harapan itu tergantung pada karma masing-masing. 
Bukan tergantung pada belas kasihan suatu makhluk. Ada juga yang 
bermakna ADITTHANA, tekad, untuk mewujudkan harapan itu dengan jalan 
melaksanakan Dhamma.
Bila kita tak bisa membaca paritta, 
karena sebagai pemula, maka kita bisa mengucapkan: “Semoga semua makhluk
 berbahagia”. Kalimat itu diulang-ulang terus. Bila hal itu sering kita 
lakukan dan hayati, maka batin kita akan diliputi oleh rasa cinta kasih 
(metta). Bila kita hendak melakukan perbuatan/karma buruk yang merugikan
 makhluk lain, kita cepat menyadari. “Baru saja saya mendoakan agar 
semua makhluk berbahagia, mengapa sekarang saya ingin menyakiti 
orang/makhluk lain?” Karma buruk batal kita laksanakan, buah buruk pun 
tak bakal kita rasakan. “Sembahyang, Puja Bakti, dalam agama Buddha 
bukan untuk memaksakan keinginan kita, atau mengubah apa yang ada di 
luar diri kita, tapi untuk mengubah apa yang ada di dalam diri kita, 
mengikis kekotoran batin; Lobha, Dosa, dan Moha”.
Persembahan, boleh atau dilarang?
Masalahnya bukan boleh atau dilarang, 
tetapi bermanfaat tidaknya tindakan itu. Sang Buddha tidak pemah 
melarang umat awam; Sang Buddha hanya memberitahukan akibat, pahala, dan
 konsekuensi dari suatu tindakan. Kita sujud dan melakukan persembahan, 
bukanlah karena Sang Buddha memerlukan, meminta, merasa berhak, apalagi 
mengharuskan. Seseorang yang telah menyucikan pikirannya dan menikmati 
kebahagiaan yang datang dari kebijaksanaan dan Kebahagiaan Sejati, sama 
sekali tidak memerlukan apa-apa dari luar dirinya untuk dapat menjadi 
bahagia. Dan… Sang Buddha sebetulnya tidak memerlukan atau pun 
memperoleh apa-apa dari persembahan kita!
Apakah ini berarti persembahan kita sia-sia?
Yang mendapatkan manfaat dari 
persembahan kita sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Kita yang belum 
meraih kesucian, tentu memiliki kemelekatan dan kekikiran. Selalu merasa
 kurang dan haus. Ini membuat pikiran. kita tidak tenang, mendorong kita
 untuk menghalalkan segala cara untuk mernperoleh yang kita inginkan. 
Untuk mengikis kemelekatan dan kekikiran itu, salah satu caranya adalah 
melaksanakan persembahan atau berdana. Memberi tanpa merasa kehilangan. 
Hal ini memberikan potensi positif dan mengembangkan pikiran kita, yang 
selanjutnya memperbaiki tindakan kita.
Bagaimana dengan persembahan hewan kurban?
Mempersembahkan hewan kurban juga baik 
dan bermanfaat. Tapi, disamping kebaikannya itu, karena ia juga telah 
sengaja menimbulkan suatu pembunuhan — yang termasuk karma buruk–, 
berarti persembahan hewan kurban manfaatnya menjadi berkurang, susut 
Apalagi bila setelah sembahyang, hewan kurban itu dimakan sendiri –tidak
 didanakan kepada orang lain–, maka manfaatnya menjadi semakin kecil.
Sang Buddha sebagai Guru para Dewa dan 
manusia, tidak terlalu mengagung-agungkan kehidupan para Dewa, tapi juga
 tidak terlalu merendahkan kehidupan binatang. Sang Buddha hanya 
menempatkan pada proporsi yang sebenarnya saja. Memberikan komentar 
tentang persembahan kurban, Sang Buddha menyatakan: “Barang siapa 
mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menganiaya makhluk lain 
yang juga mendambakan kebahagiaan, tidak akan memperoleh kebahagiaan 
setelah kematian “.
Bagaimana dengan “doa kaul”?
“Tuhan/Dewa, berilah kami 
rezeki/makanan/anak. Kalau doa kami dikabulkan, kami akan 
mempersembahkan ayam panggang 10 ekor”. Secara sadar atau tidak, doa itu
 bermakna; “Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak, kalau 
Tuhan/Dewa berikan, nanti saya beri ayam panggang. Tapi kalau Tuhan/Dewa
 tidak beri, saya juga tidak jadi memberi ayam panggang”. Bila 
Tuhan/Dewa yang kita sembah mampu memberi kita apapun yang kita minta, 
apakah kita tidak salah kaprah dengan menjanjikan sesuatu kepadanya? 
Ibarat kita menjanjikan uang sepuluh ribu rupiah kepada Om Liem, bila Om
 Liem mau mengabulkan permintaan kita…
Bagaimana “kaul” secara Buddhis?
Berdana, berbuat baik dulu, baru lalu mengharap, “Semoga dengan 
kebaikan yang saya lakukan ini, saya bisa mendapatkan 
kebahagiaan/rezeki/makanan/anak”. Jadi, tanam dulu benih jagung kita, 
baru kita bisa berharap memanen jagung. Kalau kita menanam -mendanakan- 
sebutir jagung, kelak kita akan mendapatkan hasil, pahalanya 
berbutir-butir. Kalau kita berharap panen dulu baru kelak menanam, 
berarti kita perlu banyak belajar dari pak tani.Semoga tulisan ini bisa memperbaiki cara kita bersembahyang. Semoga semua makhluk berbahagia.
[Dikutip dari Buku Mutiara Dhamma XIV ]
Pencarian Populer :
- Doa agama hindu
- jodoh menurut buddhis
- Bagaimana suatu makhluk disebut manusia
- doa dalam agama hindu
- cara berdoa buddha
- bagaimana suatu makhluk disebut manusia?
- doa doa agama hindu
- cara berdoa umat buddha
- MEMOHON MEMPERCEPAT TERKABULNYA DOA
- cara memohon kepada tuhan agar segera terkabulkan secara agama hindu
- doa-doa budha
- doa-doa agama buddha
- agama buddha bersembahyang
- doa doa budha
- cara sembahyang agama hindu
- mantra membuat hati tenang dalam agama buddha
- doa doa buddhis
- buddha rezeki
- Doa dalam agama budha memohon anak
- doa doa buddha
- buku doa agama budha
- kurban dalam agama budha
- doa-doa dalam agama buddha
- gambar doa dalam agama buddha
- dalam agama buddha kalau menyakiti orang itu dosa
- dalam agama buddha bagaimana suatu makhluk disebut manusia?
- manffat doa buddhis
- cara penghormatan terhadap tuhan dalam agama buddha
- cara penghormatan dalam agama
- cara merubah nasib dalam agama buddha
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tiada ulasan:
Catat Ulasan