“Musibah yang sebenarnya ialah musibah yang menimpa Deen kita” As Syeikh Mustafa Masyhur.
Ya, itulah musibah yang sebenarnya, apabila kita kehilangan hidayahNya lalu hidup dalam kegelapan dan teraba-raba mencari hakikat diri. Bayangkan kehidupan tanpa hidayah, tanpa keimanan serta keyakinan kepada hari pertemuan dengan Allah SWT. Manusia yang bagaimanakah agaknya diri kita; tentunya kita tidak takutkan dosa lalu terjun ke dunia kotor dan hina serta hidup bergelumang dosa.
Saya pernah melalui kehidupan yang kelam tanpa petunjuk Robbani, saya pernah merasai keluh kesah hidup tanpa iman dan saya juga pernah menempuhi kematian hati apabila tidak dapat membezakan antara dosa dan pahala. Kehidupan tanpa makna dan penuh kesia-siaan. Hinggalah ketika umur saya memasuki 23 tahun, ada insan yang begitu bersabar untuk mendidik saya agar saya mengenali Allah sebagai Ilah dan Robb. Sejak itu saya memulakan pendakian yang payah untuk meninggalkan masa silam yang gelap dan penuh kekotoran. Hampir 2 atau 3 tahun saya tidak mampu mendengar ayat “Allah tarik balik hidayahNya” apatah lagi menyebutnya. Saya tidak dapat menahan air mata apabila terbayangkan segala keengkaran kepada Allah SWT dan kegelapan hati yang membutakan mata. Saya juga tidak dapat bayangkan saya kembali kepada kehidupan yang kelam.
Inilah musibah yang sebenarnya, apabila kita tidak melihat diri kita sebagai hambaNya lalu melakukan dosa sewenang-wenangnya. Hati kita kehilangan bentuk asalnya hingga tidak merasakan dosa sebagai dosa dan pahala sebagai pahala, tidak dapat melihat yang ma’ruf sebagai ma’ruf dan mungkar sebagai mungkar.
Musibah yang sebenarnya bukan kemalangan jiwa, apatah lagi bencana kecil yang sekadar mendatangkan kesusahan atau perniagaan yang merugikan tetapi musibah yang sebenarnya apabila kita terpaksa pulang mengadap Allah dengan hati yang kotor setelah kita dianugerahkanNya dengan hati yang suci dan bersih.
Tidakkah kita merasa malu untuk mengadap Allah Rabbul Jalil dengan segala kekotoran yang memenuhi hati sedangkan selama ini kita makan daripada rezekiNya, menyedut udaraNya, berpijak dibumiNya serta hidup dengan rahmatNya lalu kita mengkufuri dan engkar kepadaNya. Tidakkah kita merasa terhina setelah dibentangkanNya jalan mulia lalu kita pilih kehinaan, diberikan kita hidayah lalu kita memilih kekufuran, diberikan kita cahaya lalu kita memilih kegelapan.
Apakah musibah yang lebih besar dari kemurkaanNya, hilangnya keredhaanNya, tiada lagi pengampunanNya serta Allah tidak memandang wajah kita di Akhirat nanti.
Apakah musibah yang lebih menyedihkan dari tangisan kita dan rasa takut kita ketika kitab amalan kita terbang dari sebelah kiri atau belakang kita lalu kita mendapati diri kitalah orang yang celaka.
Adakah musibah yang lebih menakutkan kita, ketika jiwa kita gementar ketakutan melihat apa yang ada di dalam kitab amalan kita lalu kita berkata ‘Celakalah aku, malangnya nasib aku, habislah aku! Kitab apakah ini ? Tidak ditinggalkannya yang kecil atau yang besar melainkan semuanya dicatat dengan begitu rapi.” Lalu kita mendapati apa yang kita kerjakan selama ini hadir di depan kita seperti filem yang hidup dan menakutkan.
47. Dan (Ingatlah) akan hari (yang ketika itu) kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka.
48. Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami, sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.
49. Dan dibentangkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang berdosa itu ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, Kitab apakah Ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun".
Yang dimaksud dengan waktu di sini ialah hari berbangkit yang Telah dijanjikan Allah untuk menerima balasan.
(Al Kahfi)
Menangislah ketika tangisan kita masih berharga, menyesallah ketika penyesalan itu masih ada nilainya dan janganlah kita insaf ketika keinsafan itu tidak akan mengubah apa-apa.
Ya, itulah musibah yang sebenarnya, apabila kita kehilangan hidayahNya lalu hidup dalam kegelapan dan teraba-raba mencari hakikat diri. Bayangkan kehidupan tanpa hidayah, tanpa keimanan serta keyakinan kepada hari pertemuan dengan Allah SWT. Manusia yang bagaimanakah agaknya diri kita; tentunya kita tidak takutkan dosa lalu terjun ke dunia kotor dan hina serta hidup bergelumang dosa.
Saya pernah melalui kehidupan yang kelam tanpa petunjuk Robbani, saya pernah merasai keluh kesah hidup tanpa iman dan saya juga pernah menempuhi kematian hati apabila tidak dapat membezakan antara dosa dan pahala. Kehidupan tanpa makna dan penuh kesia-siaan. Hinggalah ketika umur saya memasuki 23 tahun, ada insan yang begitu bersabar untuk mendidik saya agar saya mengenali Allah sebagai Ilah dan Robb. Sejak itu saya memulakan pendakian yang payah untuk meninggalkan masa silam yang gelap dan penuh kekotoran. Hampir 2 atau 3 tahun saya tidak mampu mendengar ayat “Allah tarik balik hidayahNya” apatah lagi menyebutnya. Saya tidak dapat menahan air mata apabila terbayangkan segala keengkaran kepada Allah SWT dan kegelapan hati yang membutakan mata. Saya juga tidak dapat bayangkan saya kembali kepada kehidupan yang kelam.
Inilah musibah yang sebenarnya, apabila kita tidak melihat diri kita sebagai hambaNya lalu melakukan dosa sewenang-wenangnya. Hati kita kehilangan bentuk asalnya hingga tidak merasakan dosa sebagai dosa dan pahala sebagai pahala, tidak dapat melihat yang ma’ruf sebagai ma’ruf dan mungkar sebagai mungkar.
Musibah yang sebenarnya bukan kemalangan jiwa, apatah lagi bencana kecil yang sekadar mendatangkan kesusahan atau perniagaan yang merugikan tetapi musibah yang sebenarnya apabila kita terpaksa pulang mengadap Allah dengan hati yang kotor setelah kita dianugerahkanNya dengan hati yang suci dan bersih.
Tidakkah kita merasa malu untuk mengadap Allah Rabbul Jalil dengan segala kekotoran yang memenuhi hati sedangkan selama ini kita makan daripada rezekiNya, menyedut udaraNya, berpijak dibumiNya serta hidup dengan rahmatNya lalu kita mengkufuri dan engkar kepadaNya. Tidakkah kita merasa terhina setelah dibentangkanNya jalan mulia lalu kita pilih kehinaan, diberikan kita hidayah lalu kita memilih kekufuran, diberikan kita cahaya lalu kita memilih kegelapan.
Apakah musibah yang lebih besar dari kemurkaanNya, hilangnya keredhaanNya, tiada lagi pengampunanNya serta Allah tidak memandang wajah kita di Akhirat nanti.
Apakah musibah yang lebih menyedihkan dari tangisan kita dan rasa takut kita ketika kitab amalan kita terbang dari sebelah kiri atau belakang kita lalu kita mendapati diri kitalah orang yang celaka.
Adakah musibah yang lebih menakutkan kita, ketika jiwa kita gementar ketakutan melihat apa yang ada di dalam kitab amalan kita lalu kita berkata ‘Celakalah aku, malangnya nasib aku, habislah aku! Kitab apakah ini ? Tidak ditinggalkannya yang kecil atau yang besar melainkan semuanya dicatat dengan begitu rapi.” Lalu kita mendapati apa yang kita kerjakan selama ini hadir di depan kita seperti filem yang hidup dan menakutkan.
47. Dan (Ingatlah) akan hari (yang ketika itu) kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka.
48. Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami, sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.
49. Dan dibentangkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang berdosa itu ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, Kitab apakah Ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun".
Yang dimaksud dengan waktu di sini ialah hari berbangkit yang Telah dijanjikan Allah untuk menerima balasan.
(Al Kahfi)
Menangislah ketika tangisan kita masih berharga, menyesallah ketika penyesalan itu masih ada nilainya dan janganlah kita insaf ketika keinsafan itu tidak akan mengubah apa-apa.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan