Konon, pada masa Rasulullah saw hingga Khalifah Abu Bakar, Masjidil Haram belum memiliki dinding di sekelilingnya. Besarnya pun belum sebesar sekarang ini, dan belum diberi penerangan lampu-lampu dari bahan bakar minyak zaitun di sekitar Baitullah (Ka'bah). Keadaan ini sudah sejak Nabi Ibrahim As, sampai suatu ketika Umar bin Khathab yang menjabat sebagai khalifah kedua membeli rumah-rumah yang ada dan berserakan di sekeliling Ka'bah. Oleh Umar rumah-rumah yang telah dibelinya itu, diruntuhkan untuk memperluas Masjidil Haram tersebut. Dan dibuatnya dinding pada sekeliling masjid, dengan ketinggian lebih rendah dari manusia. Di atas dinding-dinding masjid itu, diletakan lampu-lampu oleh Atabah bin Azrak untuk menerangi Masjidil Haram tersebut.
Pelebaran dan perluasan Masjidil Haram inipun dilanjutkan pula oleh Utsman bin Affan, karena semakin bertambah banyak dari tahun ke tahun orang yang melakukan shalat di masjid itu. Oleh Utsman bin Affan, Masjidil Haram itu dibuatkan kamar-kamar bilik (ruang), yang dinamakan ruak, pada sekeliling masjid, untuk digunakan sebagai asrama.
Perluasan Masjidil Haram oleh Utsman bin Affan terjadi pada tahun 26 Hijriah, dan diteruskan oleh Abdullah bin Zubair cucu dari Abu Bakar pada tahun 75 Hijriah. Kemudian oleh Abdul Malik bin Marwan ditambah ketinggian masjid tersebut dengan perhiasan emas 50 karat pada tiap-tiap tiangnya.
Oleh Al-Walid, Masjidil Haram diperindah dengan ukiran yang terjalin antara kalimah dengan motif bunga. Pada beberapa tempat diberi dinding dari batu marmer dan batu pualam yang dipahat dengan seni yang tinggi. Maka Masjidil Haram pun menjadi tempat peribadatan yang ideal laksana gambaran nuansa Surgawi, karena dalam arsitektur Islam tak terdapat ketegangan. Bahkan, bangunan suci Islam selalu meletakan ketenangan dan kemuliaan sesuai dengan sifat batin alamiahnya ketimbang sesuatu yang bertentangan dengan sifat material yang ada.
Arsitektur Islami
Arsitektur Islam memanfaatkan sepenuhnya cahaya dan bayangan, kehangatan dan kesejukannya, angin dan sirkulasinya, air dan efek penyejukannya, tanah dan ciri-ciri isolatifnya serta sifat-sifat protektifnya terhadap cuaca. Jauh dari adanya percobaan untuk melawan dan menantang alam dan irama-iramanya, arsitertur Islam selalu selaras dengan lingkungan. Arsitektur Islam senantiasa melakukan perubahan sedikit mungkin untuk menciptakan lingkungan yang manusiawi, menjauhi pengingkaran titanis dan karya-karya artistiknya.
Kota Islami berkembang secara perlahan dari bumi, mempergunakan semaksimal mungkin sumber-sumber alam itu sendiri. Dan apabila ditinggalkan biasanya secara perlahan akan kembali lagi ke perut bumi. Arsitektur Islam ini bukan hanya menyatukan diri dalam paduan harmoni dan keutuhannya. Selain itu keselarasan ekologis dalam arsitektur Islam tradisional bukanlah kebijaksanaan ekologis yang asal-asalan, dan juga tidak berdasarkan pertimbangan ekonomis dalam pengertian modern, melainkan merupakan konsekuensi dan alam spiritualitas Islam.
Pada kenyataannya, harus ditekankan bahwa arsitektur suci Islam adalah sebuah kristalisasi dari spiritualitas Islam dan kunci untuk memahami spiritualitas ini. ruang yang terdapat di Masjidil Haram dan masjid-masjid lainnya dalam wilayah kota Islami telah diciptakan untuk memberikan perlindungan dan tempat manusia dapat menikmati, melalui ke-agungan spiritualitas itu juga. Kedamaian serta keselarasan alam yang suci sebagai refleksi surga. Yaitu, surga yang terkandung dalam lubuk dan pusat keberadaan manusia yang menggemakan kehadiran Tuhan. Ini karena hati orang yang beriman adalah singgasana yang Maha Penyayang.
Dan semua ciri serta filosofi arsitektur Islam mewujud lewat kehadiran Masjidil Haram yang dibangun secara terus menerus oleh tokoh-tokoh umat Islam dari seluruh Dunia.
Tokoh Pembangun
Bila dirunut, beberapa tokoh yang terlibat dalam pembangunan Masjidil Haram adalah :
Ziad bin Abdullah Al'Harasith, pada 137 Hijriah, dan dia pula-lah yang mendirikan menara Bani Sahm.
Abu Ja'far Al'Mansyur, pada 140 Hijriah. Dialah yang menutup kembali dengan batu marmer saat Hajar Aswad agak sedikit keluar dari tempatnya semula, yang diselesaikan dengan hanya dalam satu malam saja.
Al'Mahdi, pada 161-167 Hijriah. Dia-lah yang menjadikan posisi Ka'bah terletak di tengah-tengah Masjidil Haram, dan membuat masjid tersebut dalam bentuk kebudayaan Islam yang sangat indah.
Harun Al'Rasyid Khalifah Mu'tadhid Al'Abbasi. Dia-lah yang memasukkan gedung bersejarah (Darun Nadwah) ke dalam Masjidil Haram.
Khalifah Al'Muktadir Billah yang memperluas bagian sebelah barat Masjidil Haram, dan pintu Ibrahim pada 376 Hijriah.
An'Nasir Hasan bin Nasir Muhammad bin Khalawun pada 760 Hijriah, dialah yang membuat tempat air minum.
Ali bin Umar, melakukan perbaikan pintu besar yang bernama : As-Salam, dan ia pulalah yang mewakafkan kitab-kitab untuk perpustakaan Masjidil Haram, pada 781 Hijriah.
Amir Zainal Abidin Al'Utsmani, mengadakan pembuatan pintu masjid dan perhiasannya, pancuran air dan perbaikan atap Ka'bah. Pada tanggal 28 Syawal 802 Hijriah (malam Sabtu) Masjidil Haram terbakar api (terjadi kebakaran), api berasal dari Rubat Nazir Al'Khas, letaknya dekat pintu Azurah di sebelah barat Masjidil Haram. Api membakar seluruh bagian barat masjid, kemudian pada 803 Hijriah diperbaiki oleh Amir Bessak Az-zahiri sampai 804 Hijriah.
Salim Khan, pada 979 Hijriah memperbaharui loteng dan kubah-kubah yang bundar dan indah seperti sekarang ini. kemudian dilanjutkan oleh Ahmad Bey, Muallim Muhammad Al'Mis'ri dan Sultan Murad.
Pada 1072 Hijriah dilanjutkan oleh Sulaiman Bey, yang saat itu menjabat sebagai Wali Jeddah dengan dana yang diberikan oleh Sultan Mesir, yakni Muhammad Kizlar Agha.
Setelah itu secara terus menerus, Masjidil Haram mengalami perbaikan dan penyempurnaan dari hampir semua penguasa Muslim dunia. Hingga akhirnya ketika keluarga Ibnu Saud berkuasa di Arab Saudi, tradisi menyempurnakan masjid ini pun ditangani langsung keluarga kerajaan tersebut.
Keutamaannya
Salah satu bentuk keutamaan dari Masjidil Haram terungkap lewat sabda Rasulullah saw: Shalat di masjidku ini lebih baik dari pada seribu kali shalat yang dilakukan di tempat lain, yang selain Masjidil Haram (HR Bukhari-Muslim). Maka seorang muslim yang melakukan shalat di Masjidil Haram ini di ibaratkan seperti pantulan sinar matahari di permukaan air.
Masjid menjadi penting bukan sekadar karena menjadi tempat berdoa orang-orang yang beriman, tetapi masjid juga merupakan lantai tempat mereka menundukan diri. Dengan demikian juga menyucikan lantai masjid dan mengembalikan lantai ini ke kesucian yang murni sebagaimana bunyi semula pada permulaan penciptaanya. Nabi Muhammad saw pertama kali menunaikan di depan Singgasana Tuhan (Al-Arsy) sebelum beliau mengerjakan shalat di atas tanah (farsy). Maka dengan penyucian kembali farsy sebagai refleksi arsy mengembalikan bumi ke kondisi primordialnya sebagai cermin dan pantulan surga.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan