A.
Latar belakang
Pendidikan Agama
Buddha adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam
rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhalak mulia, serta peningkatan
potensi spiritual sesuai ajaran Buddha. Usaha itu menunjukan agama memiliki
peran yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu
dalam upaya untuk mewududkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermutu.
Pendidikan agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan
potensi spiritual. Akhlak mulia mencangkup etika, budi pekerti dan moral
sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi spiritual
mencangkup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan serta
penerapan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individu ataupun kolektif
kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan
pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabat sebagai mahluk tuhan. Optimalisasi berbagai potensi
berhubungan dengan pendidikan agama secara formal atau non formal. Pengaruh
dari pendidikan agama formal berhubungan dengan mutu pendidikan. Pengaruh
pendidikan non formal berhubungan dengan kualitas sarana, pembimbing keagamaan
yang mendukung aplikasi ilmu yang didapat dari pendidikan formal. Hubungan pendidikan
formal dan pendidikan non formal ini akan menunjukan peran penting antara mutu
pendidikan terhadap aplikasi pendidikan yang baik dan berguna. Dari peran
penting pendidikan formal ini menunjukan mutu pendidikan agama Buddha harus terus
ditingkatkan. Peningkatan mutu pendidikan tentunya harus
dimuali dari orang yang memiliki kopetensi dan paling tahu kondisi lapangan.
Kondisi lapangan yang dimaksud adalah dunia pendidikan atau yang lebih spesifik
lagi kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Orang yang paling dekat dengan
KBM adalah guru agama Buddha. Guru sebagai orang terdekat dengan KBM berada di
posisi terpenting dan paling ideal untuk melakukan evaluasi atau melakukan
penelitian untuk kemajuan pendidikan. Dari posisi penting guru ini penulis
tertarik untuk mengkaji seberapa besar guru agama Buddha dalam usahanya
meningkatkan mutu pendidikan? Kajian ini tersaji dalam paper berjudul “Peranan
Guru Pendidikan Agama Buddha Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan”.
B.
Pembahasan
1. Definisi Guru
a. Definisi Guru Secara Umum
Guru berasal dari bahasa Sanskerta:
गुरू yang berarti guru, tetapi arti secara harfiahnya
adalah "berat" yang secara umum lebih diartikan seorang pengajar
suatu ilmu (http://id.wikipedia.org/wiki/Guru). Dalam bahasa Indonesia, guru
umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah (Pasal 1 ayat 1 UU Guru dan Dosen). Profesional
diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi (Pasal 1 ayat 4). Dengan kata lain sebuah profesi
rnemerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya.
Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan
oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk pekerjaan itu.
Berdasarkan uraian
penjelasan tentang guru maka pengertian guru profesional adalah orang yang
memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga Ia mampu
melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru secara maksimal. Dengan kata lain
guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih dengan baik serta
memiliki pengalaman yang kaya di bidangnya. Guru bisa diartikan pendidik dan
pengajar pada pendidikan
anak usia dini jalur sekolah
atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru
seperti itu menunjukan harus mempunyai kualifikasi formal. Guru dalam definisi
yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga
dianggap seorang guru. Beberapa istilah yang juga menggambarkan peran guru,
antara lain dosen,
mentor, tentor, tutor.
b. Definisi Guru dalam Agama Buddaha
Pekerjaan guru
adalah suatu profesi yang menuntut pengetahuan, keterampilan dan keahlian
tertentu. Karena itu ia harus memiliki kompetensi yang cukup dan profesional.
Kompetensi ini tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan tanggungjawab
moral dan tanggungjawab sosial, yang dipraktikkan dalam kehidupan individu dan
kehidupan sosial.
Dalam Tipitaka Buddha menjelaskan, seorang guru adalah orang yang
mendengar dan menyebabkan orang lain mendengar, seorang yang belajar dan
mengajar, seorang yang tahu dan memberi tahu dengan jelas, seorang yang cakap
mengenali kecocokan dan ketidakcocokan, serta tidak menimbulkan pertengkaran.
Ia tidak bimbang di depan orang banyak, ceramahnya tidak kehilangan arah,
tanpa ada yang disembunyikan, tidak ragu-ragu berbicara, dan tidak menjadi
bingung atau marah menghadapi pertanyaan (A. IV. 196). Dari penjelasan itu bisa dilihat bahwa seorang guru yang
dimaksud Buddha harus memiliki kriteria tertentu. Kriteria yang dimaksud adalah
seorang guru harus memiliki kopetensi dan profesionalitas seperti dalam
kriteria seorang guru di zaman sekarang. Kriteria kopetensi dan profesionalitas
dapat dilihat dari penjelasan, orang yang dapat menyebabkan orang lain
mendengar, bisa mengajar, orang yang tahu dan memberi tahu dengan jelas. Kriteria
guru profesional dapat dilihat dalam penjelasan oarang yang mendengar, belajar, cakap mengenali kecocokan
dan ketidak cocokan serta tidak menimbulkan pertengkaran. Analisa ini
menunjukan Buddha juga menjelaskan pengertian seorang guru seperti kriteria
guru secara umum, bedanya di zaman Buddha belum ada pendidikan formal. Menurut Buddha dalam Mańgala Sutta, Khuddakapāţha,
Khuddaka Nikāya (Ňanamoli, 2005:146-147) bahwa “ample learning, and a
craft, too, with a well-trained disciplining any speech that is well spoken:
this is a supreme good omen”. Seseorang yang mempunyai banyak pengetahuan,
keahlian, dan keterampilan serta terlatih baik dalam tata susila merupakan
berkah utama. Agar guru patut dijadikan teladan bagi anggotanya, guru harus
memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan serta terlatih dalam tata
susila. Kemampuan guru seperti itu adalah kemampuan yang harus dimiliki seorang
guru profesional.
C.
Definisi Pendidikan
1.
Definisi Pendidikan Secara Umum
Ada beberapa
penjelasan mengenai definisi pendidikan. Arti pendidikan secara etimologis, pendidikan berasal dari
kata paedagogie dari bahasa Yunani terdiri dari kata “pais” artinya
anak, dan “again” diterjemahkan membimbing, jadi peadagogie yaitu
bimbingan yang diberikan kepada anak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pendidikan adalah
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara,
perbuatan mendidik. Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Pasal
1 Ayat 1 menyatakan pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan beberapa definisi pendidikan
itu, pendidikan dapat di lihat dalam tujuh pemahaman, yaitu: (1) Memajukan
tumbuhnya budi pekerti, pikiran, serta kedewasaan anak; (2) Proses pertumbuhan
yang menyesuaikan dengan lingkungan; (3) Pengarahan, bimbingan, latihan; (4) Usaha
sadar untuk menciptakan keadaan tertentu; (5) Pembentukan kepribadian anak
menuju arah kedewasaan; (6) Kegiatan yang berkesinambungan; (7) Merubah tingkah
laku. Dari ketujuh pemahaman itu secara garis besar definisi pendidikan adalah
usaha sadar untuk mencapai perubahan tertentu secara berkesinambungan dengan
penyesuaian terhadap lingkungan.
2.
Definisi Pendidikan dalam Agama Buddha
Pendidikan
berasal dari istilah latihan (sikkha), tersirat bahwa pendidikan
merupakan proses belajar, latihan pelajaran, mempelajari, mengembangkan dan
pencapaian penerangan. Pada isitilah ini termasuk juga disiplin moral (síla),
konsentrasi (samadhi), dan pengetahuan atau kebijaksanaan (pañña)
(A.I.231). Disiplin moral dilakukan terus-menerus dengan perhatian
pendidikan sebagai sifat fungsional dari latihan, praktek, dan kemajuan
setahap demi setahap (anupubbasikkha anupubbakiriyä anupubbapaëipadä).
Selama empat
puluh lima tahun Sang Buddha membabarkan jalan pembebasan. Beliau dikenal
sebagai guru para dewa dan manusia (sattha devamanussanam) dan
pernbimbing manusia. Disiplin moral (síla), meditasi (samadhi),
kebijaksanaan (pañña) yang dicapai berdasarkan realisasi keadaan
sebenarnya dari kehidupan yang merupakan dasar dan jalan yang diajarkan Buddha.
Hal ini menunjukan Buddha menganjurkan agar manusia belajar seumur hidup, meditasi
dan mengendalikan pikiran (batin) yang semuanya adalah latihan untuk mencapai
tujuan pendidikan.
Masalah sentral
dalam pandangan Buddha adalah penderitaan manusia. Penderitaan bersumber pada
keinginan rendah (tanha). Keinginan sendiri timbul tergantung pada
faktor lain yang mendahuluinya. Dalam merumuskan rangkaian sebab musabab yang
saling bergantungan (paticcasamuppada), Buddha menjelaskan kebodohan (avijja)
sebagai yang lebih buruk
dari semua noda. Para Bhikkhu, singkirkan noda ini dan jadilah orang yang tak
bernoda” (Dhp. 243). Buddha memandang
bahwa kebodohan merupakan akar penyebab penderitaan dan menyebabkan pikiran
yang tidak berkembang menjadi gangguan pencapaian kedamaian, maka seseorang
harus menekankan dalam hidupnya untuk mengembangkan mental dan proses
pendidikan agar tujuan mulianya tercapai.
Landasan
Filosofi pendidikan dalam agama Buddha dapat dilihat dari rumusan empat
kebenaran mulia (cattari ariya saccani),
yaitu mengidentifikasi adanya dukkha,
asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan mengakhiri dukkha. Dari rumusan ini Buddha memberi
petunjuk bagaimana sebaiknya mengatasi masalah secara sistematis. Mengatasi
masalah secara sistematis menunjukan ada suatu nilai pendidikan yaitu dari
mengidentifikasi adanya penderitaan, asal penderitaan, lenyapnya penderitaan
dapat dihasilkan pengalaman mengatasi penderitaan. Pengalaman mengatasi
penderitaan ini bisa diartikan sebagai ilmu atau pengalaman baru dari proses
pembelajaran mengatasi penderitaan.
Kesunyataan
mulia yang merupakan jalan yang dapat membimbing manusia pada lenyapnya
penderitaan harus dilalui dari pembelajaran atau beberapa latihan (sikkha)
pokok yang harus dicapai. Latihan pokok ini adalah jalan mulia berunsur delapan
yang dikelompokan menjadi tiga. Pertama, sila:
ucapan benar (Samma Vacca), perbuatan benar (Samma
Kammanta), penghidupan benar (Samma Ajiva). Kedua, Samadhi: daya upaya benar (Samma
Vayama), perhatian benar (Samma Sati), kosentrasi benar (Samma
Samadhi). Ketiga, panna: pengertian
benar (Samma Ditthi), pikiran benar (Samma Sankhapa).
Secara sederhana latihan ini
dapat dipahami sebagai menghindari menyakiti makhluk lain serta menolong mereka
sebisa mungkin, dan menghindari perbuatan negatif, melakukan kebajikan,
mengendalikan batin. Latihan dari penjelasan ini menunjukan terdapat nilai
pendidikan dengan melakukan usaha-usaha yang dijelasakan dalam jalan mulia
berunsur delapan untuk mencapai tujuan pendidikan dalam agama Buddha yaitu
melenyapkan keserakahan (lobha),
kebencian (dosa), dan kebodohan (moha) agar terbebas dari penderitaan (nibbana).
Pendidikan dalam
agama Buddha pada dasarnya bersifat terbuka dan tidak ada yang disembunyikan.
Terbuka yang dimaksud seperti dalam penjelasan Dhamma atau ajaran Buddha mengundang untuk dibuktikan yang diistilahkan
ehipasiko, artinya datang dan lihat (A. III 285 ). Penjelasan itu memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya pada pengkajian, pemahaman yang rasioanal, dan
pengalaman empiris dari semua ajaran Buddha.
Dari pemaparan
definisi pendidikan dalam agama Buddha itu, pada praktiknya orientasi
pendidikan berada pada proses pendidikan. Proses pada dasarnya merupakan
rangkaian sebab akibat, kemudian orang yang dapat melihat sebab akibat dari
suatu fenomena akan menghasilkan suatu pemahaman dan pengalaman baru. Pemahaman
dan pengalaman baru ini kemudian bisa disebut belajar. Belajar dalam agama
Buddha dijelaskan seseorang yang melihat sebab akibat, berarti melihat Damma (M. I, 191 ).
D.
Tugas Guru
Tugas guru
terdapat dalam, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 39 Ayat 2 menyatakan bahwa tugas guru sebagai pendidik yang profesional
adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.
Penjelasan dari tugas guru ini menunjukan bahwa guru memiliki tanggungjawab
dalam peningkatan mutu pendidikan.
E.
Meningkatkan Mutu Pendidikan
Tugas seorang
guru dalam peningkatan mutu pendidikan sangat penting. Buddha dalam Nava sutta Kuddhaka Nikaya menjelaskan dengan
mengikuti seorang guru yang rendah dan bodoh yang belum memahami makna Dhamma dan iri hati, akan mendekati kematian karena tanpa
memahami Dhamma Ia akan slalu dalam keraguan. “Jika seorang pria turun ke
sungai yang airnya meluap dan mengalir deras akan terbawa oleh arus, bagaimana
dia bisa membantu orang lain?” Orang yang belum memahami Dhamma, tidak memperhatikan arti sebagaimana yang diuraikan oleh
yang terpelajar, Ia akan menjadi dirinya sendiri yang tanpa pengetahuan dan
selalu dalam keraguan, bagaimana dia bisa membuat orang lain mengerti? “Tetapi
jika (orang di sungai) mengetahui metode dan terampil dan bijak, dengan naik ke
sebuah perahu yang kuat dilengkapi dengan dayung dan kemudi, Ia dapat membantu banyak
orang”. Ia yang berpengalaman dan memiliki pikiran yang terlatih baik, terpelajar
dan diandalkan, mengetahui dengan jelas, Ia dapat membantu orang lain yang siap
serta bersedia mendengarkan untuk menerima dan memahami Dhamma. Belajar dan berlatih daalam penjelsan itu menunjukan
seorang guru harus terus berlatih dan belajar demi peningkatan mutu pendidikan.
Peningkatan mutu pendidikan diusahakan oleh seorang guru dengan selalu belajar.
Untuk meningkat mutu pendidikan khususnya pendidikan dalam agama buddha seharunya
seorang tenaga pengajar yang perofesional memiliki stertegi yang digunakan
dalam pembelajaran. Strategi yang digunakan tentunya harus berdasar pada
landasan pengetahuan yang luas dan ditunjang dengan ide-ide kreatif dan
inovatif dalam penyusunan strategi pembelajaran. Dalam Ańguttara Nikāya (Hare,
2001:97-98) Buddha menjelaskan bahwa memiliki bāhusacca atau pengetahuan
luas, kreatif, inovatif merupakan peta dalam bekerja dan mampu memahaminya
secara jelas dan terang akan membawa kepada kebijakan yang mengkondisikan
kesuksesan. Dengan memiliki kelebihan seseorang akan dipercaya karena dianggap
mampu mengkondisikan tercapainya tujuan bersama dalam kelompok. Pengetahuan luas, kreatif, inofatif merupakan kunci dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan yang dalam dunia
pendidikan bisa di kembangkan dalam strategi pendidikan. Strategi pendidikan
dapat dikembangkan dengan beberapa cara, yaitu:
1.
Perencanaan
Suatu
perencanaan mengandung tujuan, kebijaksanaan dan cara mencapai tujuan, kegiatan
yang akan dilakukan secara sistematis dan didasarkan pada perhitungan. Dalam
perencanaan Buddha mempertimbangkan situasi permasalahan dengan hambatan dan
potensinya. Ia menghindari atau membatasi ketidakpastian, dan sebaliknya
memastikan prospek perkembangan pada masa yang akan datang. Dengan bahasa kita
sekarang Ia memilih alternatif yang terbaik dan prioritas yang tepat sehingga
dapat memanfaatkan sumber daya dengan efektif sekaligus
efisien.
Setiap orang
memiliki perbedaan pendapat, masalah, kebutuhan atau keinginannya. Buddha tidak
perbedaan itu dan biasa bertanya: “Apa pendapatmu?” atau “Bagaimana
pikiranmu?” Berbagai dialog yang tercatat dalam Tipitaka dimulai dengan
pertanyaan itu. Buddha mempertimbangkan perbedaan setiap orang dengan merencanakan
suatu pertolongan yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan orang yang dididik
dalam hal ini adalah Dhamma. Pernencanaan
itu bisa diterapkan dalam bidang pendidikan secara umum. Suatu perencanaan
yang menyangkut kepentingan pihak lain memerlukan kesamaan pendapat dan
kesamaan sisi pandang. Peserta didik harus tahu mengapa Ia ingin belajar atau
diajar.
Agar kegiatan
belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik, harus ada persiapan. Kesiapan
mengajar dan kesiapan belajar sama pentingnya. Bagaimana mempersiapkan
seseorang untuk belajar, ditunjukkan oleh Buddha, misalnya dengan memberi
makan orang yang lapar sebelum Ia menyampaikan khotbah-Nya (DhpA. 203).
Kondisi belajar
selain berhubungan dengan keadaan fisik dan psikis seseorang, juga dipengaruhi
lingkungan. Faktor-faktor lingkungan perlu dipertimbangkan untuk melakukan
kegiatan pendidikan tertentu. Lingkungan memiliki pengertian luas, apakah itu
lingkungan sosial, budaya, ekonomi, atau tempat terkait dengan situasi dan kondisi.
Seperti latihan meditasi menghendaki pemilihan lingkungan yang sesuai menurut
objeknya. Hutan misalnya, menjadi tempat pilihan untuk mereka yang melatih
diri dengan menyingkir dari keduniawian (Dhp. 99). Kondisi lingkungan
ini menunjukan bahwa seorang guru juga harus mengatur, merencanakan atau
menyesuaikan pelajaran dengan suasana tempat yang mendukung kegiatan pembalajaran.
2.
Strategi Pendekatan
Setiap orang
memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Perbedaan ciri khas ini menunjukan perlunya
pendekatan dalam pendidikan beragam yang memperhatikan potensi atau kapasitas,
kebutuhan, sifat dan minat peserta didik. Setiap orang diterima sebagaimana
adanya dengan kelebihan dan kekurangan. Seperti yang diumpamakan oleh Buddha,
bermacam-macam pohon, besar, sedang atau kecil, menerima air hujan sesuai
dengan kebutuhannya untuk tumbuh berkembang. Kasus Biku Cula Panthaka
merupakan contoh bagaimana pendekatan individual memperhatikan keunikan
seseorang yang memerlukan keterampilan dalam cara mendidik. Biku yang tidak
pandai menghafal ini diajar oleh Buddha untuk duduk di bawah terik matahari,
menggosok kain putih yang bersih, mengamatinya seraya mengucapkan kata-kata
“bersih dari kekotoran”. Melihat proses kain itu menjadi kotor kena keringat
tangannya, seketika ia sampai pada pemahaman induksi kausalitas dan ketidakkekalan
(DhpA. 25). Cara mendidikpun bermacam-macam agar peserta didik mendapat
manfaat yang sebesar-besarnya (Saddharmapundarika-sutra V).
Pendidikan
diberikan secara sistematis dan bertahap. Kegiatan dimulai dari
sasaran-sasaran yang mudah dicapai, sehingga mendorong langkah-langkah
berikutnya. Bhikkhu Moggallana pernah bertanya kepada Buddha mengenai latihan
yang bertahap, yang dibandingkannya dengan bagaimana seorang murid diajar
menghitung satu-satu, dua-dua, tiga-tiga, hingga sepuluh lalu seratus. Buddha
pun menjelaskan bagaimana ajaran-Nya secara bertahap dan sistematis dapat
dipelajari dan dilaksanakan, mulai dari peraturan, mengendalikan indera,
hingga mengembangkan konsentrasi dan mencapai jhana (M. III. 1-2). Cara
yang bertahap diumpamakan seperti memperlakukan anak yang hilang, setelah kembali,
memerlukan penyesuaian diri, selangkah demi selangkah diberi kesempatan untuk
meningkatkan kedudukan atau tugas dan tanggung jawabnya (Saddharmapundarika-sutra
IV).
Keterampilan memilih
pendekatan menyangkut apa yang dinamakan upaya-kausalya. Secara harfiah
kata upaya kausalya berarti “cara untuk mencapai hal yang harus
dicapai”. Pengertian ini meliputi berbagai cara atau instrumen yang dapat
digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu kebebasan. Istilah ini juga sering
diartikan sebagai “kepandaian atau keterampilan untuk membuat yang lain
mencapai tujuan”. Keterampilan dalam cara ini dipandang merupakan salah satu
bentuk kesempurnaan dari sepuluh kesempurnaan (dasa-paramita) seorang
Bodhisattwa yang penuh dengan cinta kasih (maitri) dan kasih sayang (karuna).
Belajar tidak
hanya untuk mengetahui atau mengingat (pariyatti) tetapi juga untuk
melaksanakan (patipatti) dan mencapai penembusan (pativedha).
“Meskipun seseorang banyak membaca Kitab Suci, tetapi tidak berbuat sesuai
dengan Ajaran, orang yang lengah itu sama seperti gembala yang menghitung sapi
milik orang lain, Ia tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci.” (Dhp.
19). Pengetahuan saja tidak akan membuat orang terbebas dari
penderitaan, tetapi Ia juga harus melaksanakannya (Sn. 789).
Mengacu pada
pembicaraan Buddha dengan Kesi, strategi pendekatan dalam pendidikan
dapat dibedakan atas tiga pendekatan. Pertama, pendekatan halus/positif:
menunjukkan apa yang baik dan hasilnya yang menimbulkan kesenangan atau
keuntungan. Kedua, pendekatan keras/negatif: menunjukkan apa yang tidak baik
dan hasilnya yang menimbulkan penderitaan atau kesusahan. Ketiga, gabungan
pendekatan keras dan halus. Gagal dengan ketiga bentuk pendekatan itu, akhirnya
seorang siswa yang tidak dipedulikan atau dimasabodokan sama saja artinya
dengan dibunuh (A. II. 111). Tiga pendekatan ini menunjukan peserta
didik tidak kehilangan kebebasan, tetapi memahami konsekuensi yang akan
dihadapi atas pilihannya.
Pendekatan halus
yang lain adalah persuasi, yang bersifat mengajak melalui argumentasi atau
diskusi, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang meyakinkan. Misalnya
dalam hal mendorong umat berdana, mempertahankan kerukunan, menghormati orang
tua. Cara persuasi dipergunakan oleh Buddha ketika menuntun Ambattha untuk
menyadari bahwa tidak benar martabat manusia ditentukan oleh kelahiran atau
kastanya (D. I. 92-100). Dalam kasus Biku Nanda yang bosan menjadi biku,
sehingga Buddha memperlihatkan lima ratus bidadari kepadanya (DhpA.
13-14), agaknya dapat ditemukan cara persuasi sekaligus manipulasi. Dalam
hal ini manipulasi yang dimaksud bukan kecurangan atau dusta yang merugikan
seseorang. Manipulasi yang dimaksud adalah strategi yang digunakan untuk
menyadarkan orang lain.
Untuk
menjinakkan dan melatih gajah liar yang baru lebih mudah dengan bantuan gajah
lain yang sudah jinak dan terlatih. Gajah liar diikat pada gajah jinak yang
membimbingnya keluar dari hutan. Gajah yang diikat itu mulai dilatih bagaimana
seharusnya mengatur laku supaya diterima oleh lingkungannya yang baru (M.
III. 132). Gajah yang dibesarkan di tengah rombongan sirkus tidak bisa berbeda
dari gajah sirkus, kebiasaan itu ditularkan. Untuk menjadi pandai, Buddha
menganjurkan agar bergaul dengan orang yang pandai. “Karena itu mendapatkan
orang yang pandai, bijaksana, terpelajar, tekun, patuh dan mulia, hendaknya ia
selalu mengikuti orang seperti itu bagai bulan mengikuti peredaran bintang” (Dhp.
208).
Dari penjelasan
tentang strategi pendekatan dalam agama Buddha ini menunjukan strategi
pendekatan berpengaruh dalam peningkatan mutu penidikan. Pengaruh itu
seharusnya digunakan guru agama Buddha dalam KBM. Penggunaan strategi
pendekatan itu tentunya harus diterapkan dengan tepat karena untuk meningkatkan
minat belajar siswa selain menggunakan pendekatan guru sebaiknya juga menjadi
fasilitator, bukan pendikte. Buddha sering menempatkan diri sebagai
fasilitator, seperti dalam kasus Kisa Gotami yang diminta mencari segenggam
biji lada dari rumah orang yang tidak pernah kematian, untuk menghidupkan
anaknya yang sudah mati (DhpA. 114).
3.
Metode Pembelajaran
Penerimaan
materi pelajaran akan dipengaruhi metode pembelajaran. Penggunaan metode ceramah
sebaiknya diberikan secara sistematis. Agar mudah diingat, penyampaian materi
dapat diberi urutan nomor, dikelompokkan menurut tema dan berdasar jumlah
butir uraian seperti yang ditemukan dalam Kitab Suci Anguttara-Nikaya. Buddha sering mengulang khotbah-Nya yang penting
pada berbagai kesempatan. “Sering mengulang pelajaran membuahkan pengetahuan
yang mendalam” (A. V. 136). Selain narasi deskriptif dan analisis,
Buddha banyak menyampaikan ajaran dalam bentuk cerita dan syair. Pengungkapan
konsep mungkin menghadapi keterbatasan kata-kata, karena itu yang
dipentingkan adalah menangkap maknanya. Selain memakai sinonim, berbagai perumpamaan,
contoh-contoh, visualisasi atau peragaan dipergunakan untuk memberi penjelasan
Buddha juga mengizinkan orang yang mempelajari ajaran-Nya untuk menggunakan
bahasa masing-masing (Vin. II. 139). Di akhir pembahasan dibuat kesimpulan
yang singkat tetapi jelas. Teknik-teknik semacam ini memudahkan para umat
untuk memahami dan menghafal apa yang telah diajarkan. Selain itu teori harus
didukung oleh praktik atau
latihan.
Komunikasi yang
baik akan membawa keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Untuk itu
diperlukan tanya jawab dan dialog secara aktif. “Sering mendengarkan dan
menanyakan membuahkan kebijaksanaan” (A. V. 136). Diskusi dan debat
merupakan cara yang efektif sepanjang tidak mengabaikan aspek manfaat. Buddha
Gotama ahli dialog dan dialektika yang selalu membuat orang-orang tunduk di
kala berdebat. Ia mesti mengatasi segala perbedaan dan pertentangan pandangan zaman-Nya.
Yang menarik dari diri Buddha adalah perpaduan antara kepala yang dingin dan
hati yang hangat. Buddha bebas dari perasaan sentimental di satu pihak dan di
pihak lain tidaklah bersikap masa bodoh.
Agar memperoleh
pengertian yang benar diperlukan kesaksian orang lain dan pengamatan atau
perenungan sendiri yang setepat-tepatnya secara bijaksana (M. I. 294).
Sikap subjektif seperti suka dan tidak suka (Sn. 781), kecenderungan
karena keinginan yang mengikat, kebencian, kegelapan batin dan ketakutan (A.
II. 18) merintangi seseorang untuk memahami kebenaran apa adanya.
Buddha memberi
kesempatan bagi mereka yang ingin mengemukakan opini. “Para Biku, Aku mengizinkan,
bilamana terdapat empat atau lima orang yang menyanggah, bilamana terdapat dua
atau tiga orang mengutarakan pendapat. Bila hanya seorang yang mengambil
keputusan, tiadalah Aku berkenan” (Vin I. 115). Semangat ini dapat
ditemukan dalam berbagai metode diskusi, seperti seminar, simposium, dan
lokakarya. Tentu saja, kegiatan kelompok akan berhasil jika semua peserta
berperan secara aktif dan bermakna.
Setiap peserta
didik memerlukan pengalaman belajar mandiri maupun belajar dalam kelompok.
Tugas perorangan sebagai latihan merupakan cara yang dapat dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan. Untuk memahami permasalahan dan memecahkan masalah,
studi kasus dan studi lapangan tentu akan memberi pengalaman belajar yang
efektif.
Pengetahuan
manusia adalah segala sesuatu yang dijangkau oleh mata dan bentuk materi,
telinga dan bunyi, hidung dan bau, lidah dan rasa, badan dan objek-objek
sentuhan, pikiran dan objek-objek mental (S. IV. 15). Untuk mendapatkan
persepsi lewat indera yang sebaik-baiknya, berbagai media audio visual atau
multi media akan sangat menolong. Selain itu suasana lingkungan belajar juga
memberi pengaruh yang cukup besar.
Dalam Tipitaka juga
ada beberapa penjelasan lain berkaitan dengan strategi pendidikan. Pertama,
untuk mengajar Buddha memberi petunjuk kepada Ananda agar memenuhi lima hal,
yaitu: mengajar secara bertahap, mengajar dengan alasan atau berdasar sebab
yang mendahului sehingga dimengerti, mengajar terdorong karena cinta kasih,
mengajar tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, mengajar tanpa
merugikan diri sendiri ataupun orang lain (A. III. 184). Strategi yang
pertama ini dapat dimasukan dalam strategi perencanaan. Kedua, sekalipun
menguasai berbagai mukjizat Buddha tidak menyarankan penggunaan cara-cara magis
dan supernatural untuk mengajar. Buddha menggunakan kekuatan ajaran sebagai
keajaiban mengajar (anusasani-patihariya), yang menunjukkan alasan atau
sebab untuk dipertimbangkan, sehingga orang mau melatih diri dan menyingkirkan
apa yang buruk (D. I. 214). Strategi kedua ini bisa dimasukan dalam
strategi pendekatan. Ketiga,
Buddha mengajarkan Dharma dengan pengetahuan tinggi yang dapat dipahami (abhinnaya-dhammadesana),
bukan pengetahuan yang tidak dapat dipahami, memperlihatkan kebenaran supaya
orang lain ikut memiliki pengetahuan dan berpandangan benar. Ia mengajarkan
Dharma dengan hubungan sebab akibat (sanidana-dhammadesana), bukan
tanpa hubungan sebab akibat. Ia mengajarkan Dharma yang menakjubkan dan
praktis meyakinkan (sappatihariya-dhammadesana). Karena alasan yang
baik, kenapa Ia mengingatkan, karena alasan yang baik kenapa Ia memberi
petunjuk (A. I. 276). Strategi
ketiga ini bisa dimasukan dalam metode pembelajaran. Dari beberapa penjelasan
mengenai strategi pendidikan ini menujukan, bahwa Buddha telah mengajarkan
metode-metode pembelajaran yang sangat berguna dalam peningkatan mutu
pendidikan. Ajara-ajaran ini hendaknya di pahami dan diterapkan oleh seorng
guru pendidikan agama Buddha untuk bisa disinergikan dengan strategi pendidikan
yang didapat dari pendidikan formal moderen.
F.
Kesimpulan
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu
yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan,
pertimbangan dan kebijaksanaan. Pengajaran adalah tugas bagi guru sebagai
pembimbing, pendidik, fasilitator, dan pembaharu dalam kegiatan pendidikan
ketarap yang lebih kedepan. Tugas mengajar seorang guru harus dibekali
kopetensi yang didapat dari pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal
adalah dari bangku sekolah dan pendidikan non formal bisa didapat dari pengalaman
dan ilmu agama dalam hal ini dikhususkan agama Buddha. Bekal ilmu itu
menunjukan bahwa guru agama Buddha memiliki tanggungjawab dan kopetensi untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Hal itu seperti penjelasan Sang buddha yang tidak
menghendaki pendidikan yang menghasilkan sebarisan orang buta yang saling menuntun
(M. II. 170). Seorang guru sebaiknya memiliki lima kualitas, sebagaimana
seorang biku senior, yaitu: Ia adalah orang yang menguasai analisis logika;
menguasai analisis hubungan sebab akibat; menguasai analisis tata bahasa;
menguasai analisis segala sesuatu yang dapat dikenali; apa yang harus dilakukan
oleh para pengikut, menjalani kehidupan suci, besar atau kecil, cakap dan
aktif, berusaha meneliti persoalan; siap melakukan dan membuatnya terlaksana (A.
III. 113). Tanggungjawab dan
kopetensi inilah yang menjadi alasan bagi seorang guru pendidikan agama Buddha
untuk memajukan mutu pendidikan berdasrkan ajaran Buddha dan ilmu yang didapat
dari pendidikan formal.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan