Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu
perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Israa’ ayat 32)
Permasalahan onani/
masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh para ulama.
Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan atau yang
lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:
1. 1 Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/ anggota tubuh lainnya dari
istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena
termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang
dihalalkan oleh Allah. Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami
atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak).
2. 2. Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini
hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang
bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab jumhur
(mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i, dan pendapat terkuat dalam madzhab
Al-Imam Ahmad. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang
diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil
Al-Wadi’i.
dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri
mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak
tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mu’minuun ayat 5-7)
Perbuatan onani termasuk
dalam mencari kenikmatan syahwat yang sifatnya melanggar batasan syariat yang
dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Namun apakah
diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu kondisi dimana ia khawatir
terhadap dirinya untuk terjerumus dalam perzinaan atau khawatir jatuh sakit
jika air maninya tidak dikeluarkan?
Jumhur ulama
mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk melakukannya
dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu yang haram.
Apakah pelaku
onani/ masturbasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?
Penetapan kadar dan
sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku maksiat, apakah sifatnya dosa
besar atau dosa kecil harus berdasarkan dalil syar’i. Perbuatan zina merupakan
dosa besar yang pelakunya terkena hukum hadd. Nash-nash tentang hal itu sangat
jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun onani/
masturbasi dengan tangan sendiri atau semacamnya (bukan dengan bantuan tangan/ anggota
tubuh dari istri atau budak wanita yang dimiliki), terdapat silang pendapat di
kalangan ulama. Yang benar adalah pendapat yang menyatakan haram. Hal ini didasarkan
ayat 5-7 dari surah Al-Mu’minuun dan ayat 29-31 dari surat Al-Ma’aarij. Onani
termasuk dalam mencari kenikmatan syahwat yang haram, karena melampaui batas
syariat yang dihalalkan, yaitu kenikmatan syahwat antara suami istri atau tuan
dengan budak wanitanya.
Kesimpulannya,
masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil yang
menunjukkan hal itu. Namun masturbasi adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi.
Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai rahasia
pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah.
”Barangsiapa yang menjaga diri (iffah) maka Allah akan
menjaganya, barangsiapa yang meminta pertolongan kepada Allah maka Allah akan
menolongnya, barangsiapa yang bersabar maka Allah akan memberikan kesabaran
kepadanya dan tidaklah seseorang diberikan suatu pemberian yang lebih baik atau
lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhori, didalam
Fath no 1469)
Zina Mata
Menundukkan
pandangan di tengah bertebarnya kerusakan di sekitar kita memang bukan soal
mudah. Keimananlah yang kemudian menjadi filter terhadap apa-apa yang dilihat
oleh mata.
Di dalam Islam ada
jenis maksiat yang disebut dengan ‘zina mata’ (lahadhat). Lahadhat itu,
pandangan kepada hal-hal, yang menuju kemaksiatan. Lahadhat bukan hanya sekadar
memandang, tetapi diikuti dengan pandangan selanjutnya. Pandangan mata adalah
sumber itijah (orientasi) kemuliaan, juga sekaligus duta nafsu syahwat.
Dalam musnad Ahmad,
disebutkan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Pandangan adalah panah beracun dari panah-pandah Iblis.
Barangsiapa yang menundukkan pandangannya dari keelokkan wanita yang cantik
karena Allah, maka Allah akan mewariskan dalam hatinya manisnya iman sampai
hari kiamat”.
Melihat adalah
sumber dari segala bencana yang menimpa diri manusia. Melihat melahirkan
lamunan atau khayalan, dan khayalan melahirkan pemikiran, pikiran melahirkan
syahwat, dan syahwat melahirkan kemauan, kemauan itu lantas menguat, kemudian
menjadi tekat kuat dan akan terjadi selagi tidak ada yang menghalanginya. Dalam
hal ini ada hikmah yang mengatakan:
“Menahan pandangan
lebih ringan dari pada bersabar atas kesakitan (siksa) setelah itu”.
Syariat Islam telah
mengatur hukum pandang memandang terhadap lawan jenis yang bukan mahram. Dalam
Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 30, ditujukan kepada laki-laki yang beriman agar
menjaga pandangannya. Sementara ayat berikutnya, An-Nuur ayat 31, ditujukan
kepada perempuan yang beriman.
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi
mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS. An-Nuur ayat 30)
Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar
mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama islam)
mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua)
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua
kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. (QS. An-Nuur ayat 31)
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bahkan pernah memalingkan wajah Fadhl bin Abbas ke arah yang
lain ketika ia menatap wajah perempuan yang bukan mahramnya saat hajjatul
wada’. Ketika itu ada seorang perempuan yang meminta fatwa kepada Nabi Muhammad
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Ibnu Abbas yang meriwayatkan hadits ini
mangatakan, “...maka
Fadhl mulai mengarahkan pandangannya kepada perempuan itu, sedangkan dia adalah
seorang perempuan yang cantik. Maka Nabi pun memegang dagu Fadhl dan
memalingkan mukanya ke arah lain,” (HR Bukhari dan
Muslim).
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam saja sudah begitu hati-hati ketika menatap wajah yang bukan
mahramnya. Bagaimana dengan aurat yang lainnya? Terlebih, kemaluan yang
merupakan aurat mughollazoh (aurat besar).
Memang ada
pengecualian boleh memandang lawan jenis di luar aurat mughollazoh, yakni
ketika ada kemaslahatan yang lebih besar seperti saat khitbah atau melamar,
dalam pengobatan jika tidak ada lagi dokter perempuan, atau menjadi saksi dalam
suatu perkara di pengadilan atau transaksi jual beli.
Secara umum,
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melarang umatnya melihat dan
memperlihatkan aurat mughollazoh. Tidak saja kepada lawan jenis, bahkan sesama
jenis pun tidak dibenarkan. Seperti dalam hadits “seorang lelaki tidak boleh melihat kemaluan laki-laki dan
seorang wanita tidak boleh melihat kemaluan wanita” (HR. Muslim).
Sehingga, menonton
film porno dengan alasan apapun tidak bisa dibenarkan. Termasuk, jika tujuannya
untuk keberlangsungan hubungan suami-istri. Masih ada cara-cara halal yang
dibenarkan Islam untuk hal itu.
Jadi, zina tidak terbatas
hanya pada apa yang telah dilakukan oleh kemaluan seseorang. Namun, mata juga
bisa melakukan zina dengan melihat dan memandang sesuatu yang diharamkan
seperti melihat aurat orang lain. Apalagi melihat adegan hubungan suami istri
yang bisa jadi pelakunya bukanlah pasangan suami istri. Kemaluanlah yang
membuktikan seseorang tersebut telah berzina dan berhak mendapatkan sanksi/ hadd
bagi pelakunya.
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari
zina, dia akan mendapatkannya, tidak mustahil. Maka zinanya mata dengan
memandang (yang haram) dan zinanya lisan dengan berbicara, sementara jiwa itu
berangan-angan dan berkeinginan. Sedangkan kemaluan yang membenarkan semua itu
atau mendustakannya.” (HR.
Al-Bukhari no. 6243 kitab Al-Isti’dzan, bab Zinal Jawarih dunal Farj dan Muslim
no. 2657 kitab Al-Qadar, bab Quddira ‘ala Ibni Adam Hazhzhuhu minaz Zina wa
Ghairihi dari Abu Hurairah)
Dalam lafadz lain
disebutkan:
“Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan
diperoleh hal itu, tidak mustahil. Kedua mata itu berzina dan zinanya dengan memandang (yang haram). Kedua telinga
itu berzina dan zinanya dengan mendengarkan (yang haram). Lisan itu berzina dan
zinanya dengan berbicara (yang diharamkan). Tangan itu berzina dan zinanya
dengan memegang. Kaki itu berzina dan zinanya dengan melangkah (kepada apa yang
diharamkan). Sementara hati itu berkeinginan dan berangan-angan, sedangkan
kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Muslim no. 2657)
sabda Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: ”Janganlah
engkau ikuti pandanganmu dengan pandangan yang selanjutnya.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan di dalam shahihul jami’)
Pernyataan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
bahwa zina mata dengan memandang
kepada apa yang tidak halal merupakan dalil yang jelas tentang keharaman
perkara tersebut, sekaligus peringatan dari hal tersebut.
Al-Imam
An-Nawawi berkata: “Makna dari hadits di
atas adalah anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina, maka di antara mereka
ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan kemaluannya ke dalam
kemaluan yang haram (bukan pasangan yang sah),
dan di antara
mereka ada yang zinanya majazi dengan memandang yang haram, mendengar perbuatan
zina dan hal-hal yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di
mana tangannya meraba wanita yang bukan mahramnya atau menciumnya, atau kakinya
melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau untuk melihat zina atau untuk
menyentuh wanita non mahram atau untuk melakukan pembicaraan yang haram dengan
wanita non mahram dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya.
Maka semuanya ini
termasuk zina yang majazi. Sementara kemaluannya membenarkan semua itu atau
mendustakannya, maknanya terkadang ia merealisasikan zina tersebut dengan
kemaluannya dan terkadang ia tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan
kemaluannya ke dalam kemaluan yang haram sekalipun dekat dengannya.” (Syarhu
Shahih Muslim, 16/206)
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
tersembunyi dalam dada. (QS. Gaafir
ayat 19)
Mata yang merupakan
anugerah Allah 'Azza wa Jalla, bisa mendatangkan kemuliaan, tetapi juga bisa
mendatangkan laknat yang membinasakan. Mata yang selalu melihat fenomena kehidupan
alam dan seisinya, kemudian menimbulkan rasa syukur kepada sang Pencipta akan
mendatangkan kemuliaan dan kebahagiaan di sisi-Nya. Sebaliknya, mata yang
merupakan anugerah yang paling berharga itu, bisa mendatangkan laknat yang
membinasakan bagi manusia, bila ia menggunakan matanya untuk berbuat khianat
terhadap Rabbnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan