Hukum Onani dalam Islam
Masalah yang berkaitan dengan onani atau dalam bahasa arabnya disebut
istimna` banyak dibahas oleh para ulama. Sebagian besar ulama mengharamkannya
namun ada juga yang membolehkannya.
1. Yang mengharamkan
Umumnya para ulama yang mengharamkan onani berpegang kepada firman Allah
SWT :
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap
isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi
barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang
yang melewati batas." (Al-Mu'minun: 5-7).
Mereka memasukkan onani sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan.
Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang
berkaitan dengan anjuran untuk menikah :
Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami,"Wahai para pemuda,
apabila siapa diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka
menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum
mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung. HR Muttafaqun `alaih.
Di dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan`ani menjelaskan
bahwa dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan
alasan bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya
dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah
menyuruh untuk puasa.
Sedangkan Imam Asy-Syafi`i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi
Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran
surat Al-Mukminun ...Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.
Begitu juga dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab
Onani.
Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan
bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta`zir, tetapi
tidak seperti zina.
Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian shahabat
dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau
akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu
Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.
2. Yang membolehkan
Diantara para ulama yang membolehkan istimna` antara lain Ibnu Abbas, Ibnu
Hazm dan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah.
Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik dari zina tetapi lebih baik lagi
bila menikahi wanita meskipun budak.
Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas,"Wahai Ibnu Abbas, saya
seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku hingga
keluar mani".
Ibnu Abbas berkata,"Itu lebih baik dari zina, tetapi menikahi budak
lebih baik dari itu (onani).
Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz
11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa istimna` adalah
mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah
maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak ada.
Sebagaimana dalam firman Allah : "Dan telah Kami rinci hal-hal yang
Kami haramkan" Sedangkan onani bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang
keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada
zahir nash baik dari Al-Quran maupun Sunnah.
Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah)dan sebagian
Hanabilah (pengkikut mazhab Imam Ahmad) -sebagaimana tertera dalam Subulus
Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105-
membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum
mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani. Berbeda
dengan ulama syafi`iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa onani itu
dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh
dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Namun sebagai cataan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian
mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Bila kita periksa kitab
Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu
diharamkan.
Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua
perkara:
1. Karena takut berbuat zina.
2. Karena tidak mampu kawin.
Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan keinginan
seksual itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang
pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari
negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir
akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani)
untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan supaya dia tidak berlaku
congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.
Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang diterangkan
oleh Rasulullah s.a.w. terhadap pemuda yang tidak mampu kawin, yaitu kiranya
dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik beribadah, mengajar
bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan keyakinan terhadap
penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu'min.
Untuk itu Rasuluilah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka
kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan;
tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu
baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan