Khamis, 8 Mei 2014

ASTRO NEGARA MALAYSIAL TIDAK BERNIAT BAIK.

Kritik saya terhadap Astro Malaysia rupanya membuat gerah sejumlah orang. Saya dkirimi email, dikomentari di milis dan dikomentari di blog. Salah satu tuduhan yang dilontarkan pada saya adalah saya orang bayarannya Indovision. Mmm, saya duga sih, di luar isu Astro ini, mereka yang ada di kelompok MNC pun, sebagaimana banyak orang di industri televisi lainnya, juga tidak terlalu suka pada saya. Masalahnya sederhana: ketika saya di KPI dulu, saya sering menegur mereka, termasuk menegur Fashion Channel yang ditayangkan di Indovision. Jadi dugaan bahwa saya dibayar Indovision tak perlulah dipercaya.
Biasa-biasa sajalah. Kritik saya kepada Astro ya karena saya merasa mereka merugikan dan mempecundangi Indonesia. Sistem pertelevisian yang baik adalah suatu hal yang penting karena ini adalah sebuah industri yang memiliki nilai ekonomi luar biasa  serta memiliki pengaruh budaya, sosial dan politik yang tingi. Karena posisinya yang sangat strategis, perlu ada penataan pertelevisian yang baik pula. Masalah dengan Astro, mereka  merusak tananan di Indonesia.
Orang-orang Astro kerap berargumen bahwa mereka hanyalah korban persaingan usaha di Indonesia. Seolah-olah berbagai pemberitaan negatif mengenai mereka yang diangkat media akhir-akhir ini adalah hasil kerja yang terorkestrasi dengan rapih oleh, terutama, Indovision. Tuduhan mereka adalah karena Indovision kehilangan banyak pelangan, Indovision terpaksa bermain kotor dengan memfitnah Astro.
Cara berdebat semacam itu tentu saja tak sehat, karena mengalihkan orang dari isu sesungguhnya. Saya adalah seorang akademisi, peneliti dan pengajar ilmu komunikasi. Bagi saya yang terpenting adalah apakah sistem penyiaran di negara ini berjalan dengan baik dan benar.
Sejumlah perkembangan yang baru semakin menjelaskan ”kejahatan” Astro Malaysia. Untuk menjelaskan pernyataan itu, nampaknya kita perlu kembali merunut banyak hal:
1. Astro Malaysia berposisi monopolistis di Malaysia. Mereka tidak membiarkan ada pemain lain yang boleh bersaing dengan mereka di Malaysia — sesuatu yang dapat mereka lakukan karena kedekatan mereka dengan pemerintah Malaysia. Astro bahkan membeli sejumlah content terbaik dari stasiun-stasiun televisi free-to-air di Malaysia sehingga acara-acara itu hanya bisa disaksikan di Astro. Dengan posisi seistimewa itu, tak mengherankan bila Astro menjangkau sekitar 60% rumah di Malaysia. Bagaimanapun, itu saja sudah menunjukkan gaya berbisnis mereka yang nampaknya justru tidak percaya pada iklim kompetisi yang sehat.
2. Ketika mereka ingin masuk ke Indonesia yang menerapkan prinsip “pasar bebas”, mereka terhalang oleh dua hal. Hal pertama, satelit. Mereka mau masuk ke Indonesia dengan menggunakan satelit Malaysia, Measat-2. Di Indonesia, seharusnya hanya satelit-satelit yang berbasis Indonesia yang dapat dioperasikan untuk keperluan pay-tv. Tapi pemerintah Indonesia kemudian mengalah dan mengizinkan Astro beroperasi dengan Measat, dengan kesepakatan “resiprokal”: satelit Malaysia boleh masuk ke Indonesia, dan satelit Indonesia boleh masuk ke Malaysia. Kedua pemerintah setuju. Itu terjadi 2006 lalu. Nyatanya? Sampai sekarang janji itu tak diwujudkan pemerintah Malaysia. Ketetapan bahwa Astro berposisi monopolistis di Malaysia tetap tak berubah, sehingga kesepakatan soal satelit itu tak berarti apa-apa. Kalaupun satelit kita bisa menjangkau Malaysia, tetap tak bisa dioperasikan untuk keperluan televisi berbayar.
3. Halangan kedua adalah soal modal. UU Penyiaran Indonesia menetapkan batas maksimal saham asing di lembaga penyiaran adalah 20%. Jadi Astro hanya bisa masuk ke Indonesia dengan berkongsi sebagai partner dengan pemodal Indonesia. Ditemukanlah Lippo. Jadi yang mengurus izin penyiarannya, Direct Vision (anak perusahaan Lippo), dan yang mengurusi contentnya Astro.  Di atas kertas, saham Astro memang cuma 20% di Direct Vision.
Tapi ternyata, yang tak diketahui umum, Astro memang tak pernah berniat baik sejak awal untuk mematuhi peraturan di Indonesia. Rupanya mereka — Astro dan Lippo – bersepakat, melalui Shareholder Settlement Agreement,  bahwa setelah satu jangka waktu, kepemilikan saham Astro itu akan meningkat. Dalam skenario aslinya, Astro kemudian akan perlahan menguasai 51% saham yang semula dimiliki Lippo dengan harga yang sudah disepakati.
Sialnya, Lippo kemudian berubah pendapat. Mereka menaikkan harga saham mereka setelah — kabarnya — marah karena Astro memperoleh untung besar dengan menjual saham-saham yang mereka beli dari tangan Lippo di projek-projek lain (terutama telekomunikasi) kepada pembeli dari Timur Tengah dengan nilai yang sangat tinggi.
Astro marah dengan tindakan sepihak Lippo ini. Karena itulah mereka mundur dari kerjasama dengan Lippo dan kemudian memilih partner baru, Aora TV. Gara-gara konflik inilah, kebusukan itu terungkap.
Jadi bisa dlihat, Astro memang tak berniat baik untuk hanya memiliki saham 20 persen. Pihak Astro berdalih bahwa ketika mereka menandantangani kesepakatan dengan Lippo – soal penguasaan saham 51% itu – di awal 2005, belum ada Peraturan Pemerintah soal pembatasan modal asing. Tentu saja argumen itu lemah. UU Penyiaran lahir tahun 2002, dan di situ sudah jelas sekali tertera ketetapan soal batas maksimal modal asing hanya 20 persen.
4. Keburukan Astro yang lain adalah cara mereka berdagang. Kasus terbaik adalah soal Liga Inggris. Sekarang sudah semakin terungkap, betapa liciknya mereka. Astro membeli hak tayang Liga Inggris itu terlebih dulu sebelum tawaran itu sampai ke Indonesia. Mereka membeli hak tayang untuk tiga negara: Malaysia, Indonesia dan Brunei. Dengan hak itu mereka langsung masuk ke Indonesia tanpa memberi kesempatan bagi pemain di Indondia untuk ikut lelang. Mereka pun dengan licik memonopoli hak siar itu sehingga baik pemain pay-tv yang lain maupun free-to-air tv tak bisa menyiarkannya. Tontonan yang semula bisa disaksikan gratis oleh rakyat Indonesia, tiba-tiba saja hanya bisa diakses dengan harga 200 ribu rupiah. Ini tak ada presedennya di Indonesia. Sialnya, bangsa kita mau saja dikibuli semacam itu.
5. Kini, setelah mereka pindah ke Aora TV, kepongahan Astro semakin menjadi-jadi. KPPU misalnya sudah menyatakan bahwa Liga Inggris tak boleh dimonopoli di Aora dan harus dibagi dengan Direct Vision. Nyatanya, Astro Malaysia cuek saja dengan keputusan KPPU itu.
Jadi, barangkali memang ada soal dengan Depkominfo dan KPI kita yang nampak tak mengerti apa-apa. Tapi, jelas, Astro bukanlah korban. Mereka sendiri adalah masalah terbesar.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan


















KETURUNAN SIAM MALAYSIA.

Walaupun saya sebagai rakyat malaysia yang berketurunan siam malaysia,saya tetap bangga saya adalah thai malaysia.Pada setiap tahun saya akan sambut perayaan di thailand iaitu hari kebesaraan raja thai serta saya memasang bendera kebangsaan gajah putih.

LinkWithin