Kritik saya terhadap Astro Malaysia rupanya membuat gerah sejumlah orang. Saya dkirimi email, dikomentari di milis dan dikomentari di blog. Salah
satu tuduhan yang dilontarkan pada saya adalah saya orang bayarannya
Indovision. Mmm, saya duga sih, di luar isu Astro ini, mereka yang ada
di kelompok MNC pun, sebagaimana banyak orang di industri televisi
lainnya, juga tidak terlalu suka pada saya. Masalahnya sederhana: ketika
saya di KPI dulu, saya sering menegur mereka, termasuk menegur Fashion
Channel yang ditayangkan di Indovision. Jadi dugaan bahwa saya dibayar
Indovision tak perlulah dipercaya.
Biasa-biasa sajalah. Kritik saya
kepada Astro ya karena saya merasa mereka merugikan dan mempecundangi
Indonesia. Sistem pertelevisian yang baik adalah suatu hal yang penting
karena ini adalah sebuah industri yang memiliki nilai ekonomi luar biasa
serta memiliki pengaruh budaya, sosial dan politik yang
tingi. Karena posisinya yang sangat strategis, perlu ada penataan
pertelevisian yang baik pula. Masalah dengan Astro, mereka merusak tananan di Indonesia.
Orang-orang Astro kerap berargumen
bahwa mereka hanyalah korban persaingan usaha di Indonesia. Seolah-olah
berbagai pemberitaan negatif mengenai mereka yang diangkat media
akhir-akhir ini adalah hasil kerja yang terorkestrasi dengan rapih oleh,
terutama, Indovision. Tuduhan mereka adalah karena Indovision
kehilangan banyak pelangan, Indovision terpaksa bermain kotor dengan
memfitnah Astro.
Cara berdebat semacam itu tentu
saja tak sehat, karena mengalihkan orang dari isu sesungguhnya. Saya
adalah seorang akademisi, peneliti dan pengajar ilmu komunikasi. Bagi
saya yang terpenting adalah apakah sistem penyiaran di negara ini
berjalan dengan baik dan benar.
Sejumlah perkembangan yang baru
semakin menjelaskan ”kejahatan” Astro Malaysia. Untuk menjelaskan
pernyataan itu, nampaknya kita perlu kembali merunut banyak hal:
1. Astro Malaysia berposisi
monopolistis di Malaysia. Mereka tidak membiarkan ada pemain lain yang
boleh bersaing dengan mereka di Malaysia — sesuatu yang dapat mereka
lakukan karena kedekatan mereka dengan pemerintah Malaysia. Astro bahkan
membeli sejumlah content terbaik dari stasiun-stasiun televisi
free-to-air di Malaysia sehingga acara-acara itu hanya bisa disaksikan
di Astro. Dengan posisi seistimewa itu, tak mengherankan bila Astro
menjangkau sekitar 60% rumah di Malaysia. Bagaimanapun, itu saja sudah
menunjukkan gaya berbisnis mereka yang nampaknya justru tidak percaya
pada iklim kompetisi yang sehat.
2. Ketika mereka ingin masuk ke
Indonesia yang menerapkan prinsip “pasar bebas”, mereka terhalang oleh
dua hal. Hal pertama, satelit. Mereka mau masuk ke Indonesia dengan
menggunakan satelit Malaysia, Measat-2. Di Indonesia, seharusnya hanya
satelit-satelit yang berbasis Indonesia yang dapat dioperasikan untuk
keperluan pay-tv. Tapi pemerintah Indonesia kemudian mengalah dan
mengizinkan Astro beroperasi dengan Measat, dengan kesepakatan
“resiprokal”: satelit Malaysia boleh masuk ke Indonesia, dan satelit
Indonesia boleh masuk ke Malaysia. Kedua pemerintah setuju. Itu terjadi
2006 lalu. Nyatanya? Sampai sekarang janji itu tak diwujudkan pemerintah
Malaysia. Ketetapan bahwa Astro berposisi monopolistis di Malaysia
tetap tak berubah, sehingga kesepakatan soal satelit itu tak berarti
apa-apa. Kalaupun satelit kita bisa menjangkau Malaysia, tetap tak bisa
dioperasikan untuk keperluan televisi berbayar.
3. Halangan kedua adalah soal modal. UU
Penyiaran Indonesia menetapkan batas maksimal saham asing di lembaga
penyiaran adalah 20%. Jadi Astro hanya bisa masuk ke Indonesia dengan
berkongsi sebagai partner dengan pemodal Indonesia. Ditemukanlah Lippo.
Jadi yang mengurus izin penyiarannya, Direct Vision (anak perusahaan
Lippo), dan yang mengurusi contentnya Astro. Di atas kertas, saham Astro memang cuma 20% di Direct Vision.
Tapi ternyata, yang tak diketahui
umum, Astro memang tak pernah berniat baik sejak awal untuk mematuhi
peraturan di Indonesia. Rupanya mereka — Astro dan Lippo – bersepakat,
melalui Shareholder Settlement Agreement, bahwa setelah
satu jangka waktu, kepemilikan saham Astro itu akan meningkat. Dalam
skenario aslinya, Astro kemudian akan perlahan menguasai 51% saham yang
semula dimiliki Lippo dengan harga yang sudah disepakati.
Sialnya, Lippo kemudian berubah
pendapat. Mereka menaikkan harga saham mereka setelah — kabarnya — marah
karena Astro memperoleh untung besar dengan menjual saham-saham yang
mereka beli dari tangan Lippo di projek-projek lain (terutama
telekomunikasi) kepada pembeli dari Timur Tengah dengan nilai yang
sangat tinggi.
Astro marah dengan tindakan sepihak
Lippo ini. Karena itulah mereka mundur dari kerjasama dengan Lippo dan
kemudian memilih partner baru, Aora TV. Gara-gara konflik inilah,
kebusukan itu terungkap.
Jadi bisa dlihat, Astro memang tak
berniat baik untuk hanya memiliki saham 20 persen. Pihak Astro berdalih
bahwa ketika mereka menandantangani kesepakatan dengan Lippo – soal
penguasaan saham 51% itu – di awal 2005, belum ada Peraturan Pemerintah
soal pembatasan modal asing. Tentu saja argumen itu lemah. UU Penyiaran
lahir tahun 2002, dan di situ sudah jelas sekali tertera ketetapan soal
batas maksimal modal asing hanya 20 persen.
4. Keburukan Astro yang lain adalah
cara mereka berdagang. Kasus terbaik adalah soal Liga Inggris. Sekarang
sudah semakin terungkap, betapa liciknya mereka. Astro membeli hak
tayang Liga Inggris itu terlebih dulu sebelum tawaran itu sampai ke
Indonesia. Mereka membeli hak tayang untuk tiga negara: Malaysia,
Indonesia dan Brunei. Dengan hak itu mereka langsung masuk ke Indonesia
tanpa memberi kesempatan bagi pemain di Indondia untuk ikut lelang.
Mereka pun dengan licik memonopoli hak siar itu sehingga baik pemain
pay-tv yang lain maupun free-to-air tv tak bisa menyiarkannya. Tontonan
yang semula bisa disaksikan gratis oleh rakyat Indonesia, tiba-tiba saja
hanya bisa diakses dengan harga 200 ribu rupiah. Ini tak ada
presedennya di Indonesia. Sialnya, bangsa kita mau saja dikibuli semacam
itu.
5. Kini, setelah mereka pindah ke
Aora TV, kepongahan Astro semakin menjadi-jadi. KPPU misalnya sudah
menyatakan bahwa Liga Inggris tak boleh dimonopoli di Aora dan harus
dibagi dengan Direct Vision. Nyatanya, Astro Malaysia cuek saja dengan
keputusan KPPU itu.
Jadi, barangkali memang ada soal
dengan Depkominfo dan KPI kita yang nampak tak mengerti apa-apa. Tapi,
jelas, Astro bukanlah korban. Mereka sendiri adalah masalah terbesar.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan