surprise kepada Anda yang berpartisipasi dalam memberikan komentar terhadap isu gambar nabi Muhammad diakhir tahun.
Yaitu berupa dua buah lukisan-langka secara online.
(A). Lukisan wajah nabi Muhammad remaja
A text in which Ali (ra) describes the physical and moral beauty and
the perfect behavior of the Prophet (saas), as well as the love and
respect people feel for him.
Namun langkah Majid Majidi terbentur dengan beberapa fatwa terbaru yang dikeluarkan oleh Al-Azhar yang mengharamkan visualisasi Rasulullah saw dan para shahabat yang mulia. Koran Kuwait “Al-Wathan” menegaskan bahwa telah ada kesepakatan di antara sumber-sumber fiqih rujukan setingkat dunia Islam tentang larangan visualisasi pribadi Nabi Muhammad saw, bahkan menurut undang-undang Kuwait dianggap sebagai tindak kriminal.
Yaitu berupa dua buah lukisan-langka secara online.
Kenapa begitu bernilai? Ya, pertama-tama
karena lukisan ini langka, dan berkaitan dengan sosok Nabi yang
dimuliakan, dan yang sekaligus menghadirkan sebuah renungan paling dalam
atas kontroversinya yang terdampak, yang belum terselesaikan…
Mari kita bersama membuka hadiahnya, dimulai dengan yang pertama:
(A). Lukisan wajah nabi Muhammad remaja
Muhammad Remaja, hasil lukisan seorang artis wanita Iran: Oranous Ghasemi.
Oranous adalah seorang Muslim yang tinggal di Teheran. Ia menjual lukisan ikonik ini secara online. Tampaknya hal ini melanggar hukum Islam dan Iran. Sebagian Muslim marah karena lukisan tersebut dianggap menghujat Nabi. Namun sebagian Muslim lainnya beranggapan bahwa lukisan ini tidak menghina kenabian Muhammad, sebab si pelukis hanya menggambarkan seorang Muhammad remaja saja, yaitu sebelum dikunjungi oleh malaikat Jibril. Ini berarti bahwa lukisan tersebut – dalam konteksnya — bukanlah lukisan terhadap seorang Nabi Muhammad, melainkan seorang anak muda Muhammad. Tak ada unsur hujatan apapun yang dapat dikaitkan kepada si pelukis.
Oranous adalah seorang Muslim yang tinggal di Teheran. Ia menjual lukisan ikonik ini secara online. Tampaknya hal ini melanggar hukum Islam dan Iran. Sebagian Muslim marah karena lukisan tersebut dianggap menghujat Nabi. Namun sebagian Muslim lainnya beranggapan bahwa lukisan ini tidak menghina kenabian Muhammad, sebab si pelukis hanya menggambarkan seorang Muhammad remaja saja, yaitu sebelum dikunjungi oleh malaikat Jibril. Ini berarti bahwa lukisan tersebut – dalam konteksnya — bukanlah lukisan terhadap seorang Nabi Muhammad, melainkan seorang anak muda Muhammad. Tak ada unsur hujatan apapun yang dapat dikaitkan kepada si pelukis.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana Muslim Indonesia melihat masalah pelukisan Muhammad pribadi, sebagai manusia dan nabi?
Kita lemparkan isu ini sebagai forum diskusi bebas kita disini, secara beradab.
Kita lemparkan isu ini sebagai forum diskusi bebas kita disini, secara beradab.
Pertama-tama — kilas balik dari Al-Quran dan Hadis. Apakah teks-teks suci Islamik menyatakan bahwa penggambaran image
Muhammad atau para nabi lainnya (termasuk nabi Ibrahim, Musa dan Isa
dll) adalah terlarang? Adakah yang mengharamkannya secara shahih dan apa
alasannya? Yang kita ketahui hanyalah terbatas pada beberapa pelarangan
tradisional berkenaan dengan kenabian, dengan alasan khusus untuk
mencegah peng-idola-an Nabi. Jadi bukan gambarnya, melainkan
pengkultusannya! Tetapi karena pengidolaan demikian bisa dan telah
terjadi juga lewat pemujaan oral dan tulisan – semacam bacaan puitis
atau kaligrafi khusus — maka tentu alasan pelarangan tersebut menjadi
lemah, jauh dari ke-shahih-an.
Pada tahun 1999, Ahli seni Islam Wijdan
Ali, menulis sebuah ikhtisar ilmiah mengenai tradisi Muslim dalam
menggambarkan Muhammad. Ikhtisar ilmiah ini bisa di download di sini
dalam format pdf, berikut begitu banyak lukisan-lukisan sosok Muhammad.
Dalam karangan itu, Ali mendemonstrasikan bahwa larangan menggambar
Muhammad tidak muncul hingga akhir abad ke 16 atau 17, kendati ada
klaim-klaim palsu dari media bahwa orang-orang Muslim senantiasa
dilarang untuk membuat gambar Muhammad.
Illustration showing Mohammed (on the
right) preaching his final sermon to his earliest converts, on Mount
Ararat near Mecca; taken from a medieval-era manuscript of the
astronomical treatise The Remaining Signs of Past Centuries by the Persian scholar al-Biruni; currently housed in the collection of the Bibliotheque Nationale, Paris (Manuscrits Arabe 1489 fol. 5v). This scene was popular among medieval Islamic artists, and several nearly identical versions of this drawing (such as this one [shown in detail below] and this one) were made in the Middle Ages.
Tetapi bahkan belakangan ini, kita
mendengar bahwa Dewan Fiqih dari Muslim World League (salah satu NGO
Islamik terbesar, berkedudukan di Mekah,) mengeluarkan statemen perang
terhadap pembuatan film tentang Muhammad dan para Sahabatnya (!) bukan karena takut pengidolaan, melainkan takut akan pelecehan dan penghujatan Islam:
“Potret demikian akan menyebabkan pelecehan dan devaluasi dari tokoh-tokoh Islam, dan memakainya secara beralasan untuk mengolok-olok Islam”. (Darul Ihsan Media Desk)
“Potret demikian akan menyebabkan pelecehan dan devaluasi dari tokoh-tokoh Islam, dan memakainya secara beralasan untuk mengolok-olok Islam”. (Darul Ihsan Media Desk)
Tampak dilema terbesar Islam disini
adalah bahwa haram-halalnya sebuah penggambaran fisik Muhammad
tergantung pada rentang waktu sejarah dan kekuasaan dibaliknya, bukan
pada ke shahihan pembenaran dari ayat-ayat sucinya. Kita tahu bahwa
penggambaran sebuah pesan berawal dari otak (imaginasi) setiap manusia, yang kemudian dituangkan secara oral (lukisan-kata) dan non-oral yang umumnya dituangkan secara tulisan gambar atau tulisan-huruf (seperti yang kita saksikan pada zamannya nabi Muhammad), dimana pesan dan kesan “digambarkan” lewat goresan gambar, termasuk tulisan Arab. Dan lewat rentang sejarah yang berjalan, dunia kemudian menyaksikan lagi visualisasi dalam bentuk image film atau cinematic depictions! Jadi sebuah ide gambar Muhammad yang mau diwujudkan dalam pelbagai cara goresan, lukisan atau image
itu sesungguh-nya tidak pantas didiskriminasikan haram-halalnya
sepanjang ide-dasarnya sama baiknya! Yang jauh lebih membedakan
sesungguhnya adalah tafsir prejudices (prasangka) oleh
otoritas Muslim yang berbeda waktu, kuasa dan mood dibaliknya. Tetapi,
oleh otoritas Islam yang bersangkutan, pergeseran semacam ini sering
diartikan sebagai suatu kemajuan, ketika essensinya justru berupa suatu
kemunduran…
Kita telah melihat betapa terbukanya
deskripsi tentang Muhammad secara fisik sebelum abad 16. Tak ada pihak
Islam manapun yang mengganggu gambarnya, si pelukisnya, si penadah, atau
tempat penyimpanannya. Disamping itu dunia juga menemukan banyak
statemen dari para sahabat Nabi sendiri tentang “pelukisan” deskripsi
fisik Muhammad dalam teks tulisan Hadis dan Sirat, yang
tentu saja bermula dari oral. Banyak detail tentang kehidupannya
sehari-hari, tampang fisiknya, makanan favoritnya, pakaian yang dipakai,
senyum dan dampaknya ke sekeliling yang melihat dia, semuanya
digambarkan dalam apa yang disebut “shamail” (bentuk
luar). Bahkan ditulis dan dibingkaikan secara artistik untuk memenuhi
selera pemujaan! Jikalau sudah demikian, maka atas alasan apakah yang
masih masuk akal untuk menggantikan status gambar Muhammad yang tadinya
HALAL, kini mendadak menjadi HARAM, sepanjang spirit penggambarannya
memang tidak dimaksudkan untuk menghujat sosok yang digambari? Bukankah
setiap Muslim rindu akan Nabinya sedemikian sehingga bertubu-tubi
menaikkan shalawat nabi setiap harinya? Kita petikkan penggambaran Nabi
secara tekstual, dari otoritas sahabat Nabi yang terdekat, Ali (ra) dan
Aisyah (ra).
Ketika Ali mendeskripsikan tampang Nabi, ia berkata: “Tubuhnya
tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah, melainkan berukuran sedang
saja. Rambutnya tidak terlalu keriting maupun lurus, melainkan campuran
keduanya… Ia berkulit putih kemerahan, mempunyai mata hitam yang lebar
dan bulu mata yang panjang. Sendi-sendinya dan bidang bahunya
menonjol…Diantara kedua bahunya terdapat sebuah tanda bercak kenabian…
Ia memiliki dada yang lebih bagus ketimbang pria lainnya, mengucapkan
kata-kata jujur melebihi selainnya, mempunyai sifat teramat lemah lembut
dan keturunan yang paling terhormat. Siapa yang melihatnya berdiri akan
mengaguminya mendadak, dan siapa yang berbincang dengan dia akan
menyukainya. Mereka yang mendeskripsikan dirinya berkata bahwa mereka
belum pernah melihat seorang lainpun seperti dia, sebelum atau
sesudahnya” (Hadis Tirmidhi, no.1524).
Aisyah (ra) meriwayatkan: “Rambut
Rasulullah yang diberkati itu lebih panjang dari rambut yang mencapai
lubang telinga, tetapi lebih pendek dari bahu” (Hadis Tirmidhi).
Bahkan teks Ali (ra) tersebut dibingkaikan seperti gambar dibawah ini dan tidak ada siapapun yang memprotesnya.
(http://www.theprophetmuhammad.org/appearance.html)
Kedua – respon Muhammad tentang penggambaran tampang nabi-nabi. Bagaimana Muhammad sendiri memperlakukan “lukisan” nabi lainnya? Ini bisa dijadikan tolok ukur
kias yang shahih! Dan ternyata beliau justru ikut terlibat dalam urusan
“melukis” tampang para nabi lainnya (!) khususnya melukis sosok Musa
dan Isa Al-Masih dalam otaknya, mimpinya, dan pernyataannya. Jikalau
gambaran tampang nabi-nabi boleh dilukiskan oleh seorang nabi lainnya
untuk diinformasikan kepada umat manusia, maka masih haramkah gambaran
semacam itu bila diteruskan oleh manusia? Kenapa gambaran-gambaran
otentik tersebut bahkan samasekali tidak mengesankan orang Yahudi,
Nasrani, maupun Muslim sendiri, sehingga tidak tampak memberi dampak
apapun terhadap mereka dan kita? Jawaban yang masuk akal hanyalah: “Itu
hanyalah side-message yang tidak berdampak kepada Allah”, tak usah dibikin ribut oleh manusia dengan pelbagai fatwa yang saling tarik menarik!
Nabi saw bercerita: “Pada suatu
malam waktu saya tidur dekat Ka’bah saya bermimpi. Ketika itu saya
melihat ada seorang laki-laki kemerah-merahan warna kulitnya, amat bagus
sekali, rambutnya terurai antara bidang bahunya dengan tersisir baik,
kepalanya menitikkan air licin berkilat…dan ia bertawaf di Ka’bah. Saya
bertanya: “Siapakah ini?” Mereka menjawab: “Inilah Almasih anak Maryam”.
(HS Bukhari 1499).
Diriwayatkan dari Ibn Abbas: Nabi
berkata: “Pada suatu perjalanan malam saya ke Surga, saya melihat
tampang Musa yang tinggi, rambut yang ikal kecoklatan, seperti salah
satu lelaki dari suku Shan’awa, dan saya melihat Yesus, seorang yang
tingginya sedang-sedang dengan warna wajah yang moderat putih cenderung
kemerahan, dan rambut yang lurus lemas…” (Shahih Bukhari 4:54:462).
Diriwayatkan dari Abu Huraira: Rasul
Allah berkata, ““Pada suatu perjalanan malam saya ke Surga, saya
melihat tampang Musa yang kurus dengan rambut lurus lemas, tampak
seperti salah satu lelaki dari suku Shanua; dan saya melihat Yesus yang
berperawakan sedang dengan muka kemerahan seolah ia baru keluar dari
kamar mandi…” (Shahih Bukhari 4:55:607).
Ketiga: absennya sensitivitas timbal-balik (resiprokal) yang adil terhadap Kristiani.
Muslim selalu berkata: “Kami selalu menghormati Yesus, kenapa kalian Kristen tak menghormati Muhammad?” Inilah retorika yang amat salah dan menyesatkan banyak orang yang kurang tahu. Muslim sama sekali tidak menghormati ‘Yesus Anak Tuhan’, melainkan menghormati ‘Isa anak Maryam’. Islam menajisi Yesus sebagai Anak Allah, melecehi keilahian Yesus sampai-sampai melaknati orang Nasrani (sura 9:30, 4:171). Islam menyangkal Salib Kristus dan mengkafiri Kristen/Ahli Kitab. Sebagai orang kafir, Kristen dikenakan pelbagai ketidak-adilan, mulai dari soal mendirikan gereja, beribadat, menginjil, bernyanyi, bahkan sampai berbuat kebaikan yang dicap sebagai alat kristenisasi.
Muslim selalu berkata: “Kami selalu menghormati Yesus, kenapa kalian Kristen tak menghormati Muhammad?” Inilah retorika yang amat salah dan menyesatkan banyak orang yang kurang tahu. Muslim sama sekali tidak menghormati ‘Yesus Anak Tuhan’, melainkan menghormati ‘Isa anak Maryam’. Islam menajisi Yesus sebagai Anak Allah, melecehi keilahian Yesus sampai-sampai melaknati orang Nasrani (sura 9:30, 4:171). Islam menyangkal Salib Kristus dan mengkafiri Kristen/Ahli Kitab. Sebagai orang kafir, Kristen dikenakan pelbagai ketidak-adilan, mulai dari soal mendirikan gereja, beribadat, menginjil, bernyanyi, bahkan sampai berbuat kebaikan yang dicap sebagai alat kristenisasi.
HEBOH FILM “YESUS” BUATAN IRAN Sebuah
film Yesus yang dituturkan dari perspektif Islam telah diluncurkan di
Iran, menyebabkan berbagai reaksi dari komunitas Kristen dan Muslim.
Diramu dari sumber-sumber Al-Quran, Injil kanonik ditambah dengan Injil
Barnabas yang berada diluar Alkitab. Direktur film ini adalah orang
Iran bernama Nader Talebzadeh, melihat filmnya sebagai jawaban Islam
terhadap film sejenis “The Passion of the Christ”, karya besar Mel
Gibson, namun yang dikatakannya sebagai sebuah “kesalahan”. (Wikipedia,
The Messiah – Iranian film)
Sementara Muslim melarang pihak
non-Muslim untuk memvisualisasikan Muhammad dan para sahabatnya, namun
Muslim membiarkan dirinya menikmati film Yesus yang dikreasikan dari
pelbagai sumber yang digado-gadokan (Quran, Injil Kanonik, Injil palsu
Barnabas) yang sangat menyakitkan hati kaum Kristiani, karena
mencampur-adukkan sosok Kristus (dengan Isa Islamik dan Isa ala
Barnabas) secara tidak bertanggung jawab, kecuali menghujat. Inikah ujud
visualisasi Yesus yang dibolehkan bagi Muslim, sementara mereka
memerangi visualisasi dari pihak non-Muslim yang selalu dianggap
menghujat Muhammad?
Golden Rule absen
disini. Semua pihak yang menuntut dan memperjuangkan keadilan sejati
seharusnya memberlakukan sebuah rumusan yang paling universal: “Lakukanlah kepada orang lain apa yang Anda sendiri mau diperlakukan”.
Inilah kritik terbesar ketika Islam yang selalu menuntut penghormatan
dan keadilan, namun ia sendiri mengosongkan Golden Rule ini dari
syariatnya yang Islami! Globalisasi bangsa-bangsa yang memimpikan satu
hidup berdampingan secara damai sejahtera tanpa mengadopsi rumusan
“kerjasama-doktrinal” yang paling universal dan measurable seperti
Golden Rule ini, hanyalah dunia yang akan saling menghujat dan berperang
dalam soal-soal yang sepele sekalipun! Semisal soal gambar menggambar.
Buktinya?
Lihatlah gambar sekenanya yang di atas;
maka apapun yang dilukiskan disitu akan otomatis dianggap menghujat
jikalau saya katakan kepada Anda bahwa itu adalah gambar Muhammad!
Keempat – Fatwa yang membuat dunia terhenyak.
Dunia – Islam dan non-Islam —
dibingungkan dengan simpang siurnya ribuan fatwa dari pelbagai ulama di
pelbagai belahan dunia setiap tahun. Breaking news
tutup tahun melaporkan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh Uni Emirat Arab
saja pada tahun 2010 melebihi 350.000 fatwa, atau rata-rata 30.000
fatwa sebulan, atau 1.000 fatwa sehari. Termasuk apakah haram atau halal
mengecat tubuh dengan bahan emas, atau bolehkah saudara tiri berjabat
tangan dengan saudara mereka lainnya dari ibu yang beragama Kristen.
Juga menfatwakan larangan makan bawang putih sebelum ke masjid, karena
Muhammad terganggu dengan baunya (Shahih Bukhari 1:12:814 dll). Bahkan
untuk turnamen sepak bola (merujuk pada World Cup musim panas di Afrika Selatan), suara terompet vuvuzela juga
dikenakan fatwa, “Siapa pun yang membawa atau memperdagangkannya, harus
memastikan bahwa kekuatan suara vuvuzela tidak boleh lebih dari 100
desibel demi menghindari kerusakan orang yang mendengarnya.
(lihat gambar di atas, dan baca lebih lengkap di http://www.dailymail.co.uk/news/article-1342140/Love-vuvuzela-dont-nap-Muslim-scholars-issue-350-000-New-Year-fatwas.html#ixzz19Z1rmXgN).
Namun simpang siur fatwa dan ketetapan untuk visualisasi Muhammad juga terjadi.
Karena bermunculan fatwa-fatwa, maka sutradara asal Iran, Majid Majidi, berpacu dengan waktu untuk memproduksi film layar lebar tentang Nabi Muhammad saw, dan sejarah nabi waktu untuk memproduksi film layar lebar tentang Nabi Muhammad saw, dan sejarah nabi secara umumnya. Semua kericuhan ini turut memperlihatkan betapa penggambaran Nabi telah diprinsip-prinsipkan seolah-olah itu adalah soal hidup-matinya sebuah Islam.
Karena bermunculan fatwa-fatwa, maka sutradara asal Iran, Majid Majidi, berpacu dengan waktu untuk memproduksi film layar lebar tentang Nabi Muhammad saw, dan sejarah nabi waktu untuk memproduksi film layar lebar tentang Nabi Muhammad saw, dan sejarah nabi secara umumnya. Semua kericuhan ini turut memperlihatkan betapa penggambaran Nabi telah diprinsip-prinsipkan seolah-olah itu adalah soal hidup-matinya sebuah Islam.
HEBOH TIRU FILM YESUS: NABI MUHAMMAD DIPERANKAN OLEH AKTOR FILM MAJID MAJIDI
Namun langkah Majid Majidi terbentur dengan beberapa fatwa terbaru yang dikeluarkan oleh Al-Azhar yang mengharamkan visualisasi Rasulullah saw dan para shahabat yang mulia. Koran Kuwait “Al-Wathan” menegaskan bahwa telah ada kesepakatan di antara sumber-sumber fiqih rujukan setingkat dunia Islam tentang larangan visualisasi pribadi Nabi Muhammad saw, bahkan menurut undang-undang Kuwait dianggap sebagai tindak kriminal.
Sebelumnya, Ketua Persatuan Ulama Dunia
DR Yusuf Qardhawi telah membolehkan visualisasi adegan-adegan shahabat
nabi sesuai dengan ketentuan syariat kecuali para Nabi,
Istri-istri Nabi, Khulafa Rasyidin, dan tiga orang shahabat yang
dijamin surga (yaitu Abu Ubaidah, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin
Awwam) karena kedudukan khusus mereka di kalangan para shahabat. Namun
Mufti Besar Saudi menentang pendapatnya dengan tidak membolehkan
visualisasi para shahabat secara keseluruhan walaupun dengan karikatur
sekalipun. [abu roidah/Alarabiya.net]. Fatwa dari para Ulama — seperti
halnya dengan Keputusan Hukum dari para hakim — sering terbukti salah,
tidak masuk akal, lucu, inkonsistent, sepele atau mubazir karena tidak
relevant. Dan fatwa terhadap visualisasi Nabi bisa-bisa termasuk kedalam
total dari defisiensi itu semua!
Kelima — tampaknya semakin kita men-taboo-kan penggambaran nabi nabi, semakin kita jauh masuk dalam kegelapan spiritual dan kebodohan.
Hikmat dan perilaku santun resiprokal memang diperlukan manusia dalam penayangan, namun penggambaran nabi yang wajar dalam bentuk apapun tidak pantas disangkutkan dengan iman, rukun, ibadah, pahala, murka atau laknat yang Tuhan pedulikan. Setan-lah yang mengkisruhkan substansinya sampai keluar porsi seperti kasus “hidup-mati”. Sebaliknya para ulama Muslim agaknya justru tidak usah bersusah-susah melarang pelukisan gambar diri Muhammad. Soalnya Muhammad sendiri telah menggariskan bahwa hanya manusia baik-baik saja yang dapat menggambar dirinya dengan benar (dan itu tidak dilarang!), sebaliknya setan dan antek-anteknya tak akan mampu menyentuh gambaran tersebut. Dan ini ditegaskan berkali-kali oleh Bukhari dalam Shahihnya:
Hikmat dan perilaku santun resiprokal memang diperlukan manusia dalam penayangan, namun penggambaran nabi yang wajar dalam bentuk apapun tidak pantas disangkutkan dengan iman, rukun, ibadah, pahala, murka atau laknat yang Tuhan pedulikan. Setan-lah yang mengkisruhkan substansinya sampai keluar porsi seperti kasus “hidup-mati”. Sebaliknya para ulama Muslim agaknya justru tidak usah bersusah-susah melarang pelukisan gambar diri Muhammad. Soalnya Muhammad sendiri telah menggariskan bahwa hanya manusia baik-baik saja yang dapat menggambar dirinya dengan benar (dan itu tidak dilarang!), sebaliknya setan dan antek-anteknya tak akan mampu menyentuh gambaran tersebut. Dan ini ditegaskan berkali-kali oleh Bukhari dalam Shahihnya:
Narasi Anas: Nabi berkata, “Siapa saja yang telah melihat aku dalam mimpinya, maka pastilah ia betul melihat sosok saya, sebab tak ada Setan yang dapat memalsukan tampang saya.” (S.Bukhari 9:87:123 /124/125/126).
Akhir kata:
Setelah Muhammad wafat, tampaknya tak
ada otoritas Muslim yang dapat memutuskan apa yang dibolehkan dan apa
yang tidak boleh tentang gambar Muhammad. Namun ulama Islam selalu bisa
merujukkan dan memparalelkan isyu ini dengan kasus pengumpulan mushaf
Al-Quran sendiri, dimana tadinya Zaid bin Tsabit menolak keras ide
pengumpulan Al-Quran dalam satu mushaf dengan menolak bujukan Abu Bakar
dan Umar: “Bagaimana kalian akan melakukan suatu pekerjaan yang tidak
dilakukan oleh Rasulullah saw?” Memang Muhammad selama hidupnya tidak
melakukan dan tidak memerintahkan atau memberi contoh kepada siapapun
untuk mengumpulkan ayat-ayat lepas Quran menjadi satu mushaf komplit,
namun akhirnya apa yang ditinggalkan kosong oleh Muhammad ternyata
pantas juga untuk diisi oleh umat.
Kini, melebihi nabi-nabi lainnya,
Muhammad justru memberi contoh dengan menjadi “pelukis gambar dan
karikaturist ” nabi-nabi tertentu. Beliau adalah satu-satunya nabi yang
tidak risi bermimpi dan berimajinasi tentang wajah dan tongkrongan Nabi
Musa dan Isa misalnya.
“Saya melihat Nabi-nabi Isa, Musa,
dan Ibrahim. Isa merah kulitnya, kriting rambutnya, lebar dadanya. Dan
Musa kemerah-merahan, tinggi besar, tiada keriting rambutnya,
seolah-olah beliau dari kaum Zuth.”(HS. Bukhari no.1498).
Jikalau Muhammad tidak pantang untuk
melukiskan tampang Isa dan Musa untuk disebarkan kepada umatnya,
bukankah para ulama lebih bebas bertindak ketimbang Zaid yang akhirnya
meloloskan juga pengumpulan “mushaf-Muhammad”, kini gambar Muhammad?
Akhirnya, Muhammad pulalah yang tercatat pernah “mengekalkan” gambar Isa di Ka’bah! (namun yang kini entah bagaimana nasibnya):
Sejarawan Al-Azraqi (w. 837) setelah
mempelajari bukti-bukti penggalian arkeologis menulis sbb, ‘Mereka
memasang di Ka’bah gambar-gambar para nabi, pohon-pohon dan malaikat.
Anda bisa melihat gambar Ibrahim, Yesus dan malaikat.’ Setelah
penaklukan Mekah tahun 632 M, Muhamad memasuki daerah keramat dalam
Ka’bah itu, lalu memerintahkan diambilnya air dari sumber Zamzam. Ia
kemudian meminta selembar kain kasar dan memerintahkan agar kain
tersebut dibasahi untuk menggosok/menghilangkan semua gambar. Namun,
Muhamad menaruh tangannya pada gambar-gambar Yesus dan mengatakan
‘Hapuskan semuanya kecuali gambar-gambar dibawah tangan saya.’’ (Al-Azraqi, Akhbar Makkah, Vol 1, p.165).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan