Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum shalat di masjid yang di dalamnya terdapat makam.
Jawaban Syaikh:
Shalat di masjid yang ada makamnya, bisa digolongkan menjadi dua:
Pertama:
Makam tersebut lebih dulu
ada sebelum masjid. Maksudnya, masjid itu di bangun di atas kuburan.
Maka, masjid ini wajib di tinggalkan dan tidak boleh shalat di sana.
Adapun orang yang membangunnya wajib menghancurkan masjid itu, jika dia
tidak mau, maka penguasa kaum Muslimin berkewajiban menghancurkan masjid
itu.
Kedua:
Masjid lebih dulu ada
sebelum makam. Maksudnya, ada mayit yang dikuburkan di sana setelah
terbangunnya sebuah masjid. (Jika demikian keadaanya), maka makam
tersebut wajib digali dan mayit diangkat, dan dimakamkan di tempat
pemakamam umum. Sedangkan mengenai masjidnya, maka bisa dipakai shalat,
dengan syarat, makam tidak berada didepan orang yang shalat, karena Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam melarang shalat menhadap kuburan.
Adapun mengenai makam Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam yang dimasukkan kedalam masjid Nabawi, maka
sebagaimana diketahui, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak dimakamkan
di dalam masjid Nabawi. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dimakamkan
di rumahnya yang terpisah dengan Masjid Nabawi. Pada masa pemerintahan
Walid bin Abdul Malik, dia mengirimkan surat kepada Gubernur Madinah,
yaitu Umar bin Abdul Aziz pada tahun 88 hijriyah, supaya menghancurkan
(merenovasi) Masjid Nabawi dan memasukkan kamar para istri Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam (ke dalam Masjid).
Umar bin Abdul Aziz
mengumpulkan masyarakat dan para ulama ahli fiqih, lalu Umar membacakan
surat dari Amiril Mu’minin, yaitu al Walid. (Setelah mendengarnya),
mereka merasa keberatan. Mareka mengatakan: “Membiarkannya dalam kondisi
asli lebih banyak faidahnya.”
Dan diriwayatkan, bahwa Sa’d
bin Musayyib mengingkari pelebaran masjid, (jika) sampai memasukkan
tempat tinggal ‘Aisyah radhiallahu anha. Seakan dia khawatir, (perbuatan
ini termasuk) menjadikan kuburan sebagai masjid. Lalu Umar bin Abdul
Aziz menyampaikan perihal ini dengan surat kepada Amirul Mukminan al
Walid.
Al Walid membalasnya dan
memerintahkannya agar melaksanakan perintahnya, maka Umar tidak memiliki
peran dalam hal ini. (Dari uraian ini), anda dapat mengetahui, bahwa
makam Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidak diletakkan di masjid, dan
tidak dibangun masjid di atasnya. Maka disini, tidak ada hujjah
(argument) bagi seseorang untuk memperbolehkan menguburkan di masjid,
atau membangun masjid di atas makam. Dalam hadist yang sah dari Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
bersabda:
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashara, mereka telah menjadikan kuburan para Nabi mereka menjadi masjid.” (HR. Bukhari, Muslim)
Beliau
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menyampaikan hal ini, padahal beliau
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjelang ajal, sebagai peringatan kepada
umatnya dari perbuatan yang menyamai Yahudi dan Nashara. Dan tatkala
Ummu Salamah radhiallahu anha menceritakan kepada beliau Shalallahu
‘Alaihi Wassalam tentang gereja yang dilihat di habasyah, dan tentang
gambar-gambar yang ada di dalamnya, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam bersabda:
“Mereka
ini, jika ada orang shalih di antara mereka yang meninggal, mereka
membangun masjid di atas kuburannya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk di sisi Allah.” (HR.Bukhari, Muslim)
Dan diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu, bahwasanya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Sesungguhnya
di antara seburuk-buruk manusia ialah, orang yang mendapatkan hari
kiamat sedangkan mereka dalam keadaan hidup dan orang yang menjadikan
kuburan sebagai masjid.” (HR. Ahmad,dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yg baik)
Dan
seorang mukmin, (tentu) tidak akan mau mengikuti jalan orang-orang
Yahudi dan Nashara, dan tidak akan mau menjadi makhluk terburuk.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan