Tanya: Bagaimana hukumnya menikahi wanita yang sedang hamil? Sahkah nikahnya? Dan kepada siapa nasabnya anak yang dilahirkan?
Jawab: Pernikahan adalah suatu akad yang di dalamnya mencakup bolehnya mengambil kenikmatan antara suami istri menurut syariat Islam. Lebih dari itu pernikahan merupakan sunnah Rasul. Oleh karenanya ia merupakan salah satu bentuk ibadah apabila dimotivasi oleh sunnah Rasul tersebut.
Setiap insan yang sehat sudah pasti ingin membina rumah tangga dengan jalan melangsungkan pernikahan. Tak seorang pun mengingkari dalam diri manusia terdapat hajah atau syahwat jinsiyah (kebutuhan atau nafsu bioligis) yang sengaja diberikan oleh Allah untuk menjaga perkembangbiakan manusia (tannasul) sebagai syarat proses imarah al-ard (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan, dan untuk menghindari penyakit jasmani serta ruhani, dan penyakit masyarakat.
Pernikahan itu diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir batin, suatu keadaan yang sering disebut dengan sakinah penuh mawadah dan rahmah, sehingga gagasan tentang “rumahku surgaku di dunia” telah menjadi nyata.
Permasalahannya menjadi agak rumit tatkala wanita yang mau dinikahi ternyata hamil, bolehkah dilangsungkan pernikahan? Sah atau tidakkah?
Kata-kata “sang wanita sedang hamil” adalah memberi pemahaman umum, boleh jadi, wanita hamil itu masih punya suami. Boleh jadi juga wanita itu suaminya meninggal, boleh jadi wanita itu diceraikan oleh suaminya. Boleh jadi juga wanita itu belum pernah nikah yang sah
Oleh karena itu, ada 4 (empat) jawaban yang terperinci sebagai berikut; Pertama: apabila wanita hamil itu masih punya suami, sudah barang tentu tidak sah nikahnya dengan orang lain. Selain tidak sah juga bisa dipukul oleh suaminya. Kedua: apabila wanita hamil itu suaminya meninggal, maka setelah melahirkan baru sah dinikahi. Ketiga: apabila wanita hamil itu diceraikan oleh suaminya, itupun baru boleh dinikahi (sah) setelah ia melahirkan. Berdasarkan firman Allah,artinya: “Dan wanita-wanita yang hamil, iddah (masa menunggu) mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. At-talag:4). Keempat: apabila wanita hamil itu belum menikah, atau hamil akibat berbuat zina, maka boleh (sah) dinikahi karena tidak ada iddahnya, lantaran belum pernah nikah. Kasus keempat itu yang sering terjadi di masyarakat kita sekarang, yang merupakan musibah secara umum, dan pertanyaan di atas diduga kuat mengarah pada kasus itu.
Di sebutkan dalam Kitab Hasyiyatul Bajuri II/169 ,artinya: “jika seorang laki-laki menikahi wanita yang tengah hamil akibat zina, maka pastilah hukumnya sah. Boleh menyetubuhinya sebelum melahirkannya, menurut qaul yang paling shahih.”
Dan disebutkan dalam Kitab Muhadz-dzab II/46,artinya: “Dan hukumnya boleh (sah) menikahi wanita hamil akibat dari perbuatan zina, karena hamilnya tidak bisa ditujukan nasabnya kepada siapapun, maka adanya seperti tidak adanya.”
Adapun anak yang dilahirkan itu, dapat dilihat dari jangka waktu antara pernikahan dan melahirkan. Jika jarak antara nikah dan lahir ada 6 (enam) bulan dua detik, maka di tentukan nasabnya kepada ayahnya. Akan tetapi, jika jarak antara nikah dan anak yang lahir akibat zina itu kurang dari 6 (enam) bulan, maka anak itu ditentukan nasabnya pada ibunya. (Bughiyatul Mustarsidin:242)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan