Perkenalkan
nama saya Nendi umur 29 tahun, saya bekerja di sebuah hotel berbintang
tiga di kota “B”. Seperti kebanyakan orang bekerja yang kadang membuat
kita jenuh, untuk mengatasinya aku sering mengunjungi situs XXX ini,
sampai akhirnya saya terobsesi untuk menulis cerita ini.
Cerita
ini berawal dari pulang kemalaman dengan seorang sekretaris teman
sekantor di bagian lain, namanya Vivi berperawakan sintal dengan kulit
putih dan tinggi badan yang sedang-sedang saja sekitar 165 cm.
Sebetulnya Vivi bukanlah tipe orang yang ramah walaupun dia seorang
sekretaris, mungkin karena om-nyalah dia ada di posisi tersebut. Oh ya,
Vivi juga sudah menikah kira-kira satu setengah tahun yang lalu, dan
saya pernah beberapa kali ketemu dengan suaminya.
Pagi
itu pada saat jam masuk kantor aku berpapasan dengannya di pintu
masuk, seperti biasa kita saling tersenyum dan mengucapkan selamat pagi.
Ah lucu juga kita yang sudah kenal beberapa tahun masih melakukan
kebiasaan seperti itu, padahal untuk hitungan waktu selama tiga tahun
kita harus lebih akrab dari itu, tapi mau bagaimana lagi karena Vivi
orangnya memang seperti itu jadi akupun terbawa-bawa, aku sendiri
bertanya-tanya apakah sifatnya yang seperti itu hanya untuk menjaga
jarak dengan orang-orang di lingkungan kerja atau memang dia punya
pembawaan seperti itu sejak lahir.
Mungkin
saat itu aku sedang ketiban mujur, tepat di pintu masuk entah apa
penyebabnya tiba-tiba saja Vivi seperti akan terjatuh dan refleks aku
meraih tubuhnya dengan maksud untuk menahan supaya dia tidak
benar-benar terjatuh, tapi tanpa sengaja tanganku menyentuh sesuatu di
bagian dadanya. Setelah dapat berdiri dengan sempurna Vivi memandang ke
arahku sambil tersenyum, ya ampun menurutku itu merupakan sesuatu yang
istimewa mengingat sifatnya yang kuketahui selama ini.
“Terima kasih Pak nendi, hampir saja aku terjatuh.”
“Oh, nggak apa-apa, maaf barusan tidak sengaja.”
“Tidak apa-apa.”
Seperti
itulah dialog yang terjadi pagi itu. Walaupun nggak mau mikirin terus
kejadian tersebut tapi aku tetap merasa kurang enak karena telah
menyentuh sesuatu pada tubuhnya walaupun nggak sengaja, waktu kutengok
ke arah meja kerjanya melalui kaca pintu ruanganku dia juga kelihatannya
kepikiran dengan kejadian tersebut, untung waktu masuk kerja masih
empat puluh lima menit lagi jadi belum ada orang, seandainya pada saat
itu sudah banyak orang mungkin dia selain merasa kaget juga akan merasa
malu.
Aku
kembali melakukan rutinitas keseharian menggeluti angka-angka yang
yang nggak ada ujungnya. Sudah kebiasaanku setiap tiga puluh menit
memandang gambar panorama yang kutempel dikaca pintu ruanganku untuk
menghindari kelelahan pada mata, tapi ternyata ada sesuatu yang lain di
seberang pintu ruanganku pada hari itu, aku melihat Vivi sedang
memandang ke arah yang sama sehingga pandangan kami bertemu. Lagi, dia
tersenyum kearahku, aku malah jadi bertanya-tanya ada apa gerangan
dengan cewek itu, aku yang geer atau memang dia jadi lain hari ini, ah
mungkin hanya pikiranku saja yang ngelantur.
Jam
istirahat makan seperti biasa semua orang ngumpul di EDR untuk makan
siang, dan suatu kebetulan lagi waktu nyari tempat duduk ternyata kursi
yang kosong ada di sebelah Vivi, akhirnya aku duduk disana dan
menyantap makanan yang sudah kuambil. Setelah selesai makan, kebiasaan
kami ngobrol ngalor-ngidul sambil menunggu waktu istirahat habis, karena
aku duduk disebelah dia jadi aku ngobrol sama dia, padahal sebelumnya
aku males ngobrol sama dia.
“Gimana kabar suaminya vi?” aku memulai percakapan
“Baik pak.”
“Trus gimana kerjaannya? masih di tempat yang dulu?”
“Sekarang sedang meneruskan studi di amerika, baru berangkat satu bulan yang lalu.”
“Oh begitu, baru tahu aku.”
“Ingin lebih pintar katanya pak.”
“Ya baguslah kalau begitu, kan nantinya juga untuk mesa depan berdua.”
“Iya pak.”
Setelah
jam istirahat habis semua kembali ke ruangan masing-masing untuk
meneruskan kerjaan yang tadi terhenti. Akupun kembali hanyut dengan
kerjaanku.
Pukul
setengah tujuh aku bermaksud beres-beres karena penat juga kerja
terus, tanpa sengaja aku nengok ke arah pintu ruanganku ternyata Vivi
masih ada di mejanya. Setelah semua beres akupun keluar dari ruangan dan
bermaksud untuk pulang, aku melewati mejanya dan iseng aku nyapa dia.
“Kok tumben hari gini masih belum pulang?”
“Iya pak, ini baru mau pulang, baru beres, banyak kerjaan hari ini”
Aku
merasakan gaya bicaranya lain hari ini, tidak seperti hari-hari
sebelumnya yang kalau bicara selalu kedengaran resmi, yang menimbulkan
rasa tidak akrab.
“Ya udah kalo begitu kita bareng aja.” ajakku menawarkan.
“Tidak usah pak, biar aku pulang sendiri saja.”
“Nggak apa-apa, ayo kita bareng, ini udah terlalu malam.”
“Baik Pak kalau begitu.”
Sambil berjalan menuju tempat parkir kembali kutawarkan jasa yang walaupun sebetulnya niatnya hanya iseng saja.
“Gimana kalo vivi bareng aku, kita kan searah.”
“Nggak usah pak, biar aku pakai angkutan umum atau taksi saja.”
“Lho, jangan gitu, ini udah malem, nggak baik perempuan jalan sendiri malem-malem.”
“Baik kalau begitu pak.”
Di
sepanjang jalan yang dilalui kami tidak banyak bicara sampai akhirnya
aku perhatikan dia agak lain, dia kelihatan murung, kenapa ini cewek.
“Lho kok kelihatannya murung, kenapa?” tanyaku penasaran.
“Nggak apa-apa pak.”
“Nggak apa-apa kok ngelamun begitu, perlu teman buat ngobrol?” tanyaku memancing.
“Nggak ah pak, malu.”
“Kok malu sih, nggak apa-apa kok, ngobrol aja aku dengerin, kalo bisa dan perlu mungkin aku akan bantu.”
“Susah mulainya pak, soalnya ini terlalu pribadi.”
“Oh begitu, ya kalo nggak mau ya nggak usah, aku nggak akan maksa.”
“Tapi sebetulnya memang aku perlu orang untuk teman ngobrol tentang masalah ini.”
“Ya udah kalo begitu obrolin aja sama aku, rahasia dijamin kok.”
“Ini soal suami aku pak.”
“Ada apa dengan suaminya?”
“Itu yang bikin aku malu untuk meneruskannya.”
“Nggak usah malu, kan udah aku bilang dijamin kerahasiaannya kalo vivi ngobrol ke aku.”
“Anu, aku sering baca buku-buku mengenai hubungan suami istri.”
“Trus kenapa?”
“aku baca, akhir dari hubungan badan antara suami istri yang bagus adalah orgasme yang dialami oleh keduanya.”
“Trus letak permasalahannya dimana?”
“Mengenai orgasme, aku sampai dengan saat ini aku hanya sempat membacanya tanpa pernah merasakannya.”
Aku
sama sekali nggak pernah menduga kalo pembicaraannya akan mengarah
kesana, dalam hati aku membatin, masa sih kawin satu setengah tahun sama
sekali belum pernah mengalami orgasme? timbul niatku untuk beramal:-)
“Masa sih vi, apa betul kamu belum pernah merasakan orgasme seperti yang barusan kamu bilang?”
“Betul
pak, kebetulan aku ngobrolin masalah ini dengan bapak, jadi setidaknya
bapak bisa memberi masukan karena mungkin ini adalah masalah
laki-laki.”
“Ya,
gimana ya, sekarang kan suami vivi lagi nggak ada, seharusnya waktu
suami vivi ada barengan pergi ke ahlinya untuk konsultasi masalah itu”
“Pernah
beberapa kali aku ajak suami aku, tapi menolak dan akhirnya kalau aku
singgung masalah itu hanya menimbulkan pertengkaran diantara kami.”
Tanpa
terasa jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, dan tanpa terasa
pula kami sudah sampai didepan rumah Vivi, Aku bermaksud mengantar dia
sampai depan pintu rumahnya.
“Tidak usah pak, biar sampai sini saja.”
“Nggak apa-apa, takut ada apa-apa biar aku antar sampai depan pintu.”
Dasar,
kakiku menginjak sesuatu yang lembek ditanah dan hampir saja
terpeleset karena penerangan di depan rumahnya agak kurang. Setelah
sampai di teras rumahnya kulihat kakiku, ternya yang kunjak tadi adalah
sesuatu yang kurang enak untuk disebutkan, sampai-sampai sepatuku
sebelah kiri hampir setengahnya kena.
“Aduh Pak nendi, gimana dong itu kakinya.”
“Nggak apa-apa, nanti aku cuci kalo udah nyampe rumah.”
“Dicuci disini aja pak, nanti nggak enak sepanjang jalan kecium baunya.”
“Ya udah, kalo begitu aku ikut ke toilet.”
Setelah
membersihkan kaki aku diperliahkan duduk di ruang tamunya, dan
ternyata disana sudah menunggu segelas kopi hanngat. Sambil menunggu
kakiku kering kami berbincang lagi.
“Oh ya vi, mengenai yang kamu ceritakan tadi di jalan, gimana cara kamu mengatasinya?”
“aku sendiri bingung Pak harus bagaimana.”
Mendengar jawaban seperti itu dalam otakku timbul pikiran kotor lelaki.
“Gimana kalau besok-besok aku kasih apa yang kamu pengen?”
“Yang aku mau yang mana pak.”
“Lho, itu yang sepanjang jalan kamu bilang belum pernah ngalamin.”
“Ah bapak bisa aja.”
“Bener kok, aku bersedia ngasih itu ke kamu.”
Termenung
dia mendengar perkataanku tadi, melihat dia yang sedang menerawang aku
berpikir kenapa juga harus besok-besok, kenapa nggak sekarang aja
selagi ada kesempatan.
Kudekati
dia dan kupegang tangannya, tersentak juga dia dari lamunannya sambil
menatap kearahku dengan penuh tanda tanya. Kudekatkan wajahku ke
wajahnya dan kukecup pipi sebelah kanannya, dia diam tidak bereaksi. Ku
kecup bibirnya, dia menarik napas dalam entah apa yang ada dipikirannya
dan tetap diam, kulanjutkan mencium hidungnya dan dia memejamkan mata.
Ternyata
napsu sudah menggerogoti kepalaku, kulumat bibirnya yang tipis dan
ternyata dia membalas lumatanku, bibir kami saling berpagut dan kulihat
dia begitu meresapi dan menikmati adegan itu. Kitarik tangannya untuk
duduk disebelahku di sofa yang lebih panjang, dia hanya mengikuti
sambil menatapku. Kembali kulumat bibirnya, lagi, dia membalasnya dengan
penuh semangat.
Dengan
posisi duduk seperti itu tanganku bisa mulai bekerja dan bergerilya.
Kuraba bagian dadanya, dia malah bergerak seolah-olah menyodorkan
dadanya untuk kukerjain. Kuremas dadanya dari luar bajunya, tangan
kirinya membuka kancing baju bagian atasnya kemudian membimbing tangan
kananku untuk masuk kedalam BHnya. Ya ampun bener-bener udah nggak
tahan dia rupanya.
Kulepas
tangan dan bibirku dari tubuhnya, aku berpindah posisi bersandar pada
pegangan sofa tempatku duduk dan membuka kalkiku lebar-lebar. Kutarik
dia untuk duduk membelakangiku, dari belakang kubuka baju dan BHnya
yang saat itu sudah nempel nggak karuan, kuciumi leher bagian belakang
Vivi dan tangan kiri kananku memegang gunung di dadanya masing-masing
satu, dia bersandar ketubuhku seperti lemas tidak memiliki tenaga untuk
menopang tubuhnya sendiri dan mulai kuremas payudaranya sambil terus
kuciumi tengkuknya.
Setelah
cukup lama meremas buah dadanya tangan kiriku mulai berpindah kebawah
menyusuri bagian perutnya dan berhenti di tengah selangkangannya, dia
melenguh waktu kuraba bagian itu. Kusingkap roknya dan tanganku
langsung masuk ke celana dalamnya, kutemukan sesuatu yang hangat-hangat
lembab disana, sudah basah rupanya. Kutekan klitorisnya dengan jari
tengah tangan kiriku.
“Ohh .. ehh ..”
Aku
semakin bernapsu mendengan rintihannya dan kumasukkan jariku ke
vaginanya, suaranya semakin menjadi. Kukeluar masukkan jariku disana,
tubuhnya semakin melenting seperti batang plastik kepanasan, terus
kukucek-kucek semakin cepat tubuhnya bergetar menerima perlakuanku. Dua
puluh menit lamanya kulakukan itu dan akhirnya keluar suara dari
mulutnya.
“Udah dulu pak, aku nggak tahan pengen pipis.”
“Jangan ditahan, biarkan aja lepas.”
“Aduh pak, nggak tahan, vivi mau pipis .. ohh .. ahh.”
Badanya semakin bergetar, dan akhirnya.
“Ahh .. uhh.”
Badanya mengejang beberapa saat sebelum akhirnya dia lunglai bersender kedadaku.
“Gimana vi rasanya?”
“Enak pak.”
Kulihat air matanya berlinang.
“Kenapa kamu menangis vi.”
Dia diam tidak menyahut.
“Kamu nyesel udah melakukan ini?” tanyaku.
“Bukan pak.”
“Lantas?”
“aku bahagia, akhirnya aku mendapatkan apa yang aku idam-idamkan selama ini yang seharusnya datang dari suami aku.”
“Oh begitu.”
Kami
saling terdiam beberapa saat sampai aku lupa bahwa jari tengah tangan
kiriku masih bersarang didalam vaginanya dan aku cabut perlahan, dia
menggeliat waktu kutarik jari tanganku, dan aku masih tercenung dengan
kata-kata terakhir yang terlontar dari mulutnya, benar rupanya .. dia
belum pernah merasakan orgasme.
“Mau ke kamar mandi pak?”
Tiba-tiba suara itu menyadarkanku dari lamunan ..
“Oh ya, sebelah mana kamar mandinya?”
“Sebelah sini pak”, sahutnya sambil menunjukkan jalan menuju kamar mandi.
Dia
kembali ke ruang tamu sementara aku mencuci bagian tangan yang tadi
sudah melaksanakan tugas sebagai seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan. Tak habisnya aku berpikir, kenapa orang berumah tangga sudah
sekian lama tapi si perempuan baru mengalami orgasme satu kali saja dan
itupun bukan oleh suaminya.
Selesai dari kamar mandi aku kembali ke ruang tamu dan kutemukan dia sedang melihat acara di televisi, tapi kulihat
dari wajahnya seakan pikirannya sedang menerawang, entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu.
“Vi, udah malam nih, saya pulang dulu ya ..”
Terhenyak dia dan menatapku ..
“Emm, pak, mau nggak malam ini nemanin vivi?”
Kaget
juga aku menerima pertanyaan seperti itu karena memang tidak pikiran
untuk menginap dirumahnya malam ini, tapi aku tidak mau mengecewakan
dia yang meminta dengan wajah mengharap.
“Waktu kan masih banyak, besok kita ketemu lagi di kantor, dan kapan-kapan kita masih bisa ketemu diluar kantor.”
Dia berdiri dan menghampiriku ..
“Terima kasih ya pak, vivi sangat bahagia malam ini, saya harap bapak tidak bosan menemani saya.”
“Kita kan kenal sudah lama, saya selalu bersedia untuk membantu kamu dalam hal apapun.”
“Sekali lagi terima kasih, boleh kalau mau pulang sekarang dan tolong sampaikan salam saya buat ibu.”
Akhirnya aku pulang dengan terus dihinggapi pertanyaan didalam pikiranku, kenapa dia bisa begitu, kasihan sekali dia.
Seperti
biasa esoknya aku masuk kantor pagi-pagi sekali karena memang selalu
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, kupikir belum ada siapa-siapa
karena biasanya yang sudah ada saat aku datang adalah office boy, tapi
ternyata pagi itu aku disambut dengan senyuman vivi yang sudah duduk
di meja kerjanya. Tidak seperti biasa, pada hari-hari sebelumnya aku
selalu melihat vivi dalam penampilan yang lain dari pagi ini, sekarang
dia terlihat berseri dan terkesan ramah dan akrab.
“Pagi vi.”
“Pagi pak.”
“Gimana, bisa tidur nyenyak tadi malam?”
“Ah bapak, bisa aja, tadi malam saya tidur pulas sekali.”
“Ya sudah, saya tinggal dulu ya, selamat bekerja.”
“Iya pak.”
Aku
meneruskan langkahku menuju ruang kerjaku yang memang tidak jauh dari
meja kerjanya, dari dalam ruangan kembali aku menengokkan wajah ke
arahnya, ternyata dia masih menatapku sambil tersenyum.
Tidak
seperti biasanya, aku merasakan hari ini bekerja merupakan sesuatu
yang membosankan, suntuk rasanya menghadapi pekerjaan yang memang dari
hari ke hari selalu saja ada sesuatu yang harus diulang, akhirnya aku
menulis cerita ini. HP didalam saku celanaku berbunyi, ada SMS yang
masuk, kubuka SMS tersebut yang rupanya datang dari cewek diseberang
ruanganku yang tadi pagi menatapku sampai aku masuk ke ruangan ini .. ya
dia, vivi.
“Pak, nanti mlm ada acara gak? kalo tidak bisa gak bapak menuhin janji bapak tadi malam.”
Begitulah
isi SMS yang kuterima, aku berpikir agresif juga nih cewek pada
akhirnya. Kuangkan telepon yang ada diatas meja kerjaku dan kutekan
nomor extensin dia.
“Kenapa gitu vi, mau ngajak kemana?”
“Eh bapak, kirain siapa, enggak, vivi udah nyediain makan malam di rumah, bapak bisa kan makan malam sama vivi nanti malam?”
“Boleh, kalau gitu nanti pulang saya tunggu di ruang parkir ya.”
“Iya pak, ma kasih.”
Sore
hari aku terkejut karena waktu pulang sudah terlewat sepuluh menit,
bergegas kubereskan ruanganku dan berlari menuju ruang parkir. Disana
vivi sudah menungguku, tapi dia tersenyum waktu melihatku datang,
tadinya kupikir dia akan kecewa, tapi syukurlah kelihatanyya dia tidak
kecewa.
“Maaf jadi nunggu ya vi, harus beres-beres sesuatu dulu.”
“Nggak apa-apa pak, vivi juga barusan ada yang harus diselesaikan dulu dengan neni.”
“Yo.” kataku sambil membukkan pintu untuk dia, dan dia masuk kedalam mobil kemudian duduk disebelahku.
Diperjalanan
kami ngobrol kesana kemari, dan tanpa terasa akhirnya kami masuk ke
komplek perumahan dimana vivi tinggal lalu kami turun menuju ke
rumahnya. Dia membuka pintu depan rumahnya dengan susah, rupanya ada
masalah dengan kunci pintu tersebut. Aku tidak berusaha membantunya,
karena dari belakang baru kuperhatikan kali ini kalau bagian tengah
belakang milik vivi menarik sekali, lingkarannya tidak terlalu besar,
tapi aku yakin laki-laki akan suka bila melihatnya dalam keadaan
setengah berjongkok seperti itu.
Akhirnya
pintu terbuka juga dan dia mempersilakan aku masuk, dan kamipun masuk.
Setelah mempersilakan aku untuk duduk, dia pergi ke kamarnya, setelah
itu dia kembali lagi dengan pakaian yang sudah digantinya, dia tidak
langsung menghampiriku tapi terus melangkah ke arah dapur dan kembali
dengan segelas air putih dan segelas kopi, lalu dia menyodorkan kopi
tersebut kepadaku.
“Wah enak sekali nih hari gini minum kopi, kamu kok nggak minum kopi juga vi?”
“Saya nggak pernah minum kopi pak, nggak boleh sama si mas.”
“Oh gitu.”
“Pak mobilnya dimasukin garasi aja ya, biar vivi yang mindahin.”
“Bolah, sekalian saya mau ikut ke kamar mandi dulu, badan rasanya nggak enak kalau masih ada keringatnya.”
“Handuknya ada di kamar mandi pak.”
Dia
berdiri sambil menerima kunci mobil yang kuserahkan sedangkan aku
ngeloyor ke kamar mandi untuk terus membersihkan badan yang memang
rasanya agak nggak enak setelah barusan diperjalanan dihadapkan ke
kondisi jalan yang cukup macet tidak seperti biasa.
Keluar dari kamar mandi kudapati vivi kelihatan sedikit bingung, kutanya dia,
“Kenapa vi, kok seperti yang bingung begitu ..”
“Anu
pak, barusan ada telepon dari restoran yang saya pesani untuk makan
malam, katanya nggak bisa nganter makanan yang dipesan karena
kendaraannya nggak ada.”
“Ya sudah nggak apa-apa, kita kan bisa bikin makanan sendiri, punya apa yang bisa dimasak?”
“Adu pa, vivi jadi malu.”
“Udah nggak apa-apa kok, malah jadi bagus kita bisa masak barengan.”
Kataku
sambil tersenyum, vivi melangkahkan kakinya menuju dapur dan kuikuti,
sampai didapur dia membuka lemari es yang ternyata hanya ada sedikit
makanan yang siap masak disana. Akhirnya kami masak masakan seadanya
sambil berbincang kesana kemari.
Tanpa
sengaja aku perhatikan postur tubuh vivi yang terlihat lain dengan
pakaian yang dikenakan sekarang, pakaian yang sedikir agak ketat
menyebabkan lekuk-lekuk tubuhnya terlihat jelas, sungguh bentuk tubuh
yang sempurna untuk wanita seusia dia. Tanpa sadar kuhampiri dia dan
dari belakang kupeluk dia yang sedang melakukan tugasnya sebagai ibu
rumah tangga, dia menoleh kearahku dan tersenyum, kudekatkan bibirku ke
bibirnya dan dia menyambutnya, awalnya hanya ciuman biasa sampai
akhirnya kami saling berpagutan disini, ya di dapur miliknya.
Berlanjut
terus pergulatan bibir tersebut, kuraba buah dadanya dan kuremas dari
luar bajunya. Tangan vivi bergerak membuka kancing baju bagian depan
dilanjutkan dengan menyingkapkan BH yang dia pakai, dengan demikian
tanganku kiri kanan lebih leluasa meremasnya. Beberapa saat kemudian
kulepaskan bibirku dari bibirnya dan kuarahkan ke buah dadanya yang
terlihat sungguh indah dengan warna puting yang kemerahan, kujilat
puting yang sebelah kanan dan dia menarik nafas dalam menerima perlakuan
itu, akhirnya kukulum puting itu dan kuhisap dalam-dalam sambil tangan
kananku tetap meremas dadanya yang sebelah kiri.
Tangan
kiriku kugerakkan ke arah pantatnya, dan kuremas pantat yang kenyal
itu. Kumasukkan tangan itu ke dalam rok yang dia pakai dan disana
kuraba ada sesuatu yang hangat dan sedikit basah dan kuraba-raba bagian
itu terus menerus. Rupanya dia tidak tahan menerima sikapku itu,
tangannya bergerak membuka resleting roknya dan melorotkannya kebawah.
Aku hentikan kegiatan bibirku di buah dadanya lalu bubuka celana
dalamnya dan kutemukan bulu indah yang tidak terlalu banyak disana
kusingkapkan sedikit dan kuarahkan bibirku kesana dan kujilat bagian
kecil yang menonjol disana.
Suara lenguhan dari bibirnya sudah tidak terbayangkan lagi, akan memperpanjang cerita kalau saya tuliskan disini.
“Oh, pak, saya belum pernah merasakan ini, oh ..”
Aku
terus melanjutkan kegiatan lidahku diselangkangannya sambil terus
memasukkan lidah ini kedalam gua lembab yang berbau khas milik wanita.
Lenguhan demi lenguhan terus keluar dari mulutnya sampai akhirnya
kurasakan tubuhnya mengejang dan bergetar dengan mengeluarkan teriakan
yang tidak bisa ditahan dari mulutnya, dia sudah sampai ke puncak
kenikmatan sentuhan seorang lelaku seperti aku ini, dan akhirnya
kuhentikan kegiatanku itu lalu berdiri menghadap dia, danpa kuduga dia
mencium bibirku.
“Pak kita ke kamar ya.”
Dia
menuntunku masuk ke kamar tidurnya, kamar itu terlihat rapi, lalu kami
duduk dipinggir tempat tidur dan kembali saling berpagutan disana. Dia
bangkit berdiri dihadapanku seraya bertanya.
“Boleh saya buka pakaian bapak?”
Aku
hanya tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut, lalu dia membuka
seluruh pakaian yang kukenakan sampai ke celana dalamku. Dia memegang
senjataku yang dia dapati dibalik celana dalam yang baru saja terbuka,
lalu dia menciumnya dan menjilatinya, nikmat sekali rasanya.
“Dari dulu saya ingin melakukan ini, tapi suami saya nggak pernah mau diperlakukan begini.”
Dia
berkata begitu sambil kembali meneruskan kegiatannya menjilati senjata
milikku, tanpa kuduga dia lanjutkan kegiatannya tadi dengan mengulum
dan menyedot batang kemaluanku, dan rasanya lebih nikmat dari yang tadi
kurasakan. Akhirnya dia berhenti berlaku seperti itu dan berkata.
“Pak, tidurin vivi ya.”
Tanpa
menunggu permintaan itu terulang aku baringkan tubuhnya diatas tempat
tidur, aku ciumi sekujur tubuhnya yang dibalas dengan gelinjangan tubuh
mulus itu, akhirnya setelah sekian lama kucoba masukkan kemaluanku
kedalam lubang senggama yang memang sudah basah dari sejak tadi, dan
“Ahh ..” itulah yang keluar dari mulut vivi, sungguh nikmat sekali
rasanya memasuki tubuh yang telanjang ini, dan satu lagi, lubang
kemaluannya masih terasa cukup sempit dan menggigit, terbersit lam
pikiranku sebuah pertanyaan, sebesar apa milik suaminya sampai lubang
ini masih terasa sempit seperti ini.
Kuperhatikan
jam yang ada di dinding kamarnya menunjukkan bahwa aku sudah mengeluar
masukkan kemaluanku kedalam tubuhnya selama dua puluh menit dan
akhirnya kembali kurasakan tubuhnya mengejang sambil mengeluarkan
suara-suara aneh dari mulutnya, akhirnya dia menggelepar sambil memeluk
tubuhku erat-erat seolah tidak ingin lepas dari tubuhnya, karena
pelukannya itu aku jadi terhenti dari kegiatanku.
Beberapa
saat kemudian vivi melepaskan pelukannya dan terkulai lemas, tapi aku
melihat sebuah senyuman puas diwajahnya dan itu membuat aku merasa puas
karena malam ini dia sudah dua kali mendapatkan apa yang selama ini
belum pernah dia dapatkan dari suaminya.
“Gimana vi?”
“Aduh, vivi lemas tapi tadi itu nikmat sekali ..”
“Vivi mau coba gaya yang lain?”
“Emm ..”
Kubangunkan
tubuhnya dan kugerakkan untuk membelakangiku, kudorong pundaknya
dengan pelan sampai dia menungging dihadapanku, kumasukkan kejantananku
kedalam lubang senggamanya dan dia mengeluarkan teriakan kecil.
“Aduh .. Pak enak sekali, dorong terus pak, vivi belum pernah merasakan kenikmatan seperti ini ..”
Aku
keluar masukkan kemaluanku ini kedalam tubuhnya dengan irama yang
semakin lama semakin kupercepat, lama juga aku melakukan itu sampai
akhirnya dia berkata “Pak vivi mau pipis lagi ..”, semakin kupercepat
gerakanku karena kurasakan ada sesuatu yang mendorong ingin keluar dari
dalam tubuhku.
Dalam kondisi lemas dan masih menungging vivi
menerima gerakan maju mundur dariku, mungkin dia tahu kalau aku
sebentar lagi mencapai klimaks, dan akhirnya menyemburlah cairan dari
kemaluanku masuk semua kedalam tubuhnya. Beberapa saat kemudian aku
merasakan tubuhku lemas bagai tak bertulang dan kucabut senjataku dari
lubang milik vivi.
Aku
terbaring disampingnya setelah melepaskan nikmat yang diada tara, dia
tersenyum puas sambil menatapku dan memelukku, lalu kami tertidur
dengan perasaan masing-masing. Dalam tidur aku memimpikan kegiatan yang
barusan kami lakukan dan waktu hampir pagi aku terbangun kudapati vivi
masih terpejam dengan wajah yang damai sambil masih memelukku,
kulepaskan pelukkannya dan dia terbangun, lalu kami meneruskan kegiatan
yang tadi malam terpotong oleh tidur sampai akhirnya kami berdua bangun
dan menuju kamar mandi dalam keadaan masing-masing telanjang bulat
tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh kami.
Dikamar
mandi kami melakukannya lagi, dan kembali dia mengucapkan kata-kata
yang tidak habis aku bisa mengerti “Vivi belum pernah melakukan seperti
ini sebelumnya ..”.
Akhirnya
kami berangkat kerja dari rumah vivi, sengaja masih pagi agar tidak
ada orang di kantor yang melihat kedatangan kami berdua untuk
menghindari sesuatu yang kami berdua tidak inginkan.
Sampai
saya menulis cerita ini, masih tetap terngiang kata-katanya yang
sering mengucapkan kata-kata “Vivi belum pernah melakukan seperti ini
sebelumnya ..” setiap saya berhubungan dengan dia dengan gaya yang lain.
Berawal
dari situlah kami sering melakukan hubungan suami istri, dan itu
selalu kami lakukan atas permintaan dari dia, aku sendiri tidak pernah
memintanya karena aku tidak mau dia punya pikiran seolah-olah aku
mengeksploitir dia. Dan sekarang vivi yang kukenal jauh berbeda dari
vivi yang dulu, dia menjadi orang yang ramah dan selalu tersenyum kepada
semua orang dilingkungannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan