ADA beberapa istilah masturbasi, antara lain
onani atau rancap, yang berarti melakukan suatu rangsangan organ seks sendiri
dengan cara menggesek-gesekkan tangan atau benda lain hingga mengeluarkan
sperma dan mencapai orgasme. Dalam ajaran Islam, masturbasi dikenal dengan nama
; al-istimna`, al-istima`bilkaff, nikah al-yad, al-I`timar, atau `adtus
sirriyah. Sedangkan masturbasi yang dilakukan oleh wanita disebut al-ilthaf.
Para ilmuwan dan psikolog modern mengatakan, masturbasi tidak
merusak kesehatan, jika tidak dilakukan secara berlebihan. Meskipun demikian
pada dasarnya masturbasi bukan usaha normal untuk memenuhi nafsu syahwat.
Bahkan jika menjadi suatu kebiasaan, akan banyak mendatangkan bahaya dan
kerugian bagi pelakunya.
Tujuan utama masturbasi adalah mencari kepuasan atau melepas keinginan nafsu seksual dengan jalan tidak bersenggama. Akan tetapi masturbasi tidak dapat memberikan kepuasan yang sebenarnya. Berbeda dengan bersenggama yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis dalam ikatan perkawinan yang syah. Mereka mengalami kesenangan, kebahagiaan, keasyikan bersama dan penyerahan menyeluruh.
Dalam masturbasi satu-satunya sumber rangsangan adalah khayalan
imaji diri sendiri. Itulah yang
menciptakan suatu gambaran erotis dalam pikiran. Masturbasi merupakan
rangsangan yang sifatnya lokal pada anggota kelamin. Akibatnya masturbasi tidak
bekerja sebagai suatu kebajikan. Hubungan seks yang normal dapat menimbulkan
rasa bahagia dan gembira, sedangkan masturbasi malah menciptakan depresi
emosional dan psikologis. Oleh karena itu memuaskan diri dengan masturbasi
bertentangan dengan kehidupan seksual yang normal.
Menurut penelitian, mereka yang biasanya melakukan masturbasi
berumur antara tiga belas hingga dua puluh tahun. Pada umumnya yang melakukan
masturbasi adalah mereka yang belum kawin, menjanda, menduda atau orang-orang
yang kesepian atau dalam pengasingan.
Anak laki-laki lebih banyak melakukan masturbasi daripada anak
perempuan. Penyebabnya antara lain, pertama, nafsu seksual anak perempuan tidak
datang melonjak dan eksplosit. Kedua, perhatian anak perempuan tidak tertuju
kepada masalah senggama karena mimpi seksual dan mengeluarkan sperma (ihtilam)
lebih banyak dialami laki-laki. Mimpi erotis yang menyebabkan orgasme pada
perempuan terjadi jika perasaan itu telah dialaminya dalam keadaan terjaga.
Masalah yang berkaitan dengan onani atau dalam bahasa arabnya disebut istimna‘ banyak dibahas oleh para ulama. Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada juga yang membolehkannya.
1. Yang mengharamkan
Umumnya para ulama yang mengharamkan onani berpegang kepada firman Allah SWT:
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas." (Al-Mu‘minun: 5-7).
Mereka memasukkan onani sebagai perbuatan tidak menjaga kemaluan.
Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah:
Rasulullah SAW telah bersabda kepada kepada kami,"Wahai para pemuda, apabila siapa diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung. HR Muttafaqun ‘alaih.
Di dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan‘ani menjelaskan bahwa dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan alasan bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk puasa.
Sedangkan Imam Asy-Syafi‘i mengharamkan onani dalam kitab Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat Al-Quran surat Al-Mukminun ...Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.
Begitu juga dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani.
Imam Ibnu Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta‘zir, tetapi tidak seperti zina.
Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.
2. Yang membolehkan
Diantara para ulama yang membolehkan istimna‘ antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Hanafiyah dan sebagian Hanabilah.
Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik dari zina tetapi lebih
baik lagi bila menikahi wanita meskipun budak.
Ada seorang pemuda mengaku kepada Ibnu Abbas,"Wahai Ibnu
Abbas, saya seorang pemuda dan melihat wanita cantik. Aku mengurut-urut
kemaluanku hingga keluar mani". Ibnu Abbas berkata,"Itu lebih baik
dari zina, tetapi menikahi budak lebih baik dari itu (onani).
Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad berpendapat bahwa istimna‘ adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang memegang kemaluannya maka keluarlah maninya. Sedangkan nash yang mengharamkannya secara langsung tidak ada.
Sebagaimana dalam firman Allah: "Dan telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan" Sedangkan onani bukan termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal. Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari Al-Quran maupun Sunnah.
Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah)dan sebagian Hanabilah (pengkikut mazhab Imam Ahmad) -sebagaimana tertera dalam Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12 halaman 105- membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda yang belum mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani. Berbeda dengan ulama syafi‘iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa onani itu dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh dikeluarkan, seperti memotong daging lebih.
Namun sebagai cataan bahwa ada dua pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi membolehkannya. Bila kita periksa kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4 halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan.
Ulama-ulama Hanafiah juga memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:
1. Karena takut berbuat zina.
2. Karena tidak mampu kawin.
Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut.
Tetapi yang lebih baik dari itu semua, ialah seperti apa yang
diterangkan oleh Rasulullah s.a.w. Terhadap pemuda yang tidak mampu kawin,
yaitu kiranya dia mau memperbanyak puasa, dimana puasa itu dapat mendidik
beribadah, mengajar bersabar dan menguatkan kedekatan untuk bertaqwa dan
keyakinan terhadap penyelidikan (muraqabah) Allah kepada setiap jiwa seorang mu‘min.
Untuk itu Rasuluilah s.a.w. Bersabda sebagai berikut:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Riwayat Bukhari).
Sedangkan dari sisi kesehatan, umumnya para dokter mengatakan bahwa onani itu tidak berbahaya secara langsung. Namun untuk lebih jelasnya silahkan langsung kepada para dokter yang lebih menguasai bidang ini.
Cara mengatasi Onani dan Masturbasi
1. Biasanya anak remaja melakukan masturbasi jika punya kesempatan melakukannya. Kesempatan itulah sebenarnya yang jadi persoalan utama. Agar tidak bermasturbasi, hendaklah dia (anak) jangan diberi kesempatan untuk melakukannya. Kalau bisa, hilangkan kesempatan itu. Masturbasi biasanya dilakukan di tempat-tempat yang sunyi, sepi dan menyendiri. Maka, jangan biarkan anak untuk mendapatkan kesempatan menyepi sendiri. Usahakan agar dia tidak seorang diri dan tidak kesepian. Beri dia kesibukan dan pekerjaan menarik yang menyita seluruh perhatiannya, sehingga ia tidak teringat untuk pergi ke tempat sunyi dan melakukan masturbasi.
2 Berolahraga.
Sebenarnya energi seksual juga merupakan energi. Melakukan
kegiatan fisik seperti olah raga yang menguras keringat dapat mengurangi energi
berlebih dalam diri kita. Dengan kata lain, hasrat yang kita rasakan itu
merupakan energi yang terkumpul dalam tubuh, jadi jika kita alirkan energi
tersebut untuk berolahraga, insyaallah hasrat tersebut akan berkurang.
7. Bagi Anda yang telah dewasa dan ingin menghentikan/menghindar dari kebiasaan masturbasi, maka berkumpulah lebih sering dengan orang lain. Apabila pada siang hari Anda merasakan dorongan untuk melakukan masturbasi, hendaklah segera bangkit dari ranjang atau kursi Anda. Bergabunglah dengan orang lain, lalu bercakap-cakaplah dengan mereka. Apabila dorongan itu muncul pada waktu-waktu akan tidur, tulislah sesuatu atau bacalah buku. Lakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiran kepada hal-hal lain.
Yang lebih penting dari itu adalah memperkuat daya kemauan. Usaha itu hanya mungkin terwujud apabila seseorang secara jujur dan tulus hendak melepaskan diri dari kebiasaan buruk itu. Berdoalah kepada Tuhan untuk menolong Anda mengatasi kebiasaan ini, pusatkan perhatian pada ajaran agama. Selain itu berjuanglah untuk menumbuhkan semangat ketakwaan, di antaranya dengan memperbanyak puasa - seperti anjuran Rasulullah saw kepada pemuda yang belum mampu kawin. Puasa dapat mendidik kita beribadah, menumbuhkan kesabaran dan menguatkan kecekatan kita dalam bertakwa dan meningkatkan keyakinan akan bantuan Allah kepada setiap jiwa orang Mukmin. Seperti sabda Rasulullah yang artinya; "Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu sudah mempunyai kemampuan (untuk kawin), maka kawinlah, sebab itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Akan tetapi, barang siapa belum mampu (untuk kawin), maka hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung."(HR Bukhari).
K.H. Ahmad Azhar Basir, M.A. setelah mengkaji pandangan dari
para ahli fikih, berpendapat, masturbasi pada dasarnya bukan usaha yang normal
untuk memenuhi nafsu syahwat. Bahkan jika menjadi kebiasaan, akan banyak
mendatangkan kerugian bagi pelakunya. Karena itu, pada dasarnya hukum
masturbasi adalah makruh. Jika masturbasi nyata-nyata mengakibatkan
kecenderungan timbulnya kerusakan bagi yang bersangkutan, maka hukumnya haram.
Nabi Muhammad saw. melarang orang melakukan perbuatan yang merugikan, baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Sedangkan, masturbasi yang
dilakukan untuk menghindari perbuatan zina, hukumnya mubah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan