Orang Melayu mengaku identitas kepribadiannya yang utama adalah
adat-istiadat Melayu, bahasa Melayu, dan agama Islam. Dengan demikian,
seseorang yang mengaku dirinya orang Melayu harus beradat-istiadat
Melayu, berbahasa Melayu, dan beragama Islam. Dari tiga ciri utama
kepribadian orang Melayu tersebut, yang menjadi pondasi pokok adalah
agama Islam, karena agama Islam menjadi sumber adat-istiadat Melayu.
Oleh karena itu, adat-istiadat Melayu Riau bersendikan syarak dan syarak
bersendikan kitabullah. Dalam bahasa Melayu berbagai ungkapan, pepatah,
perumpamaan, pantun, syair, dan sebagainya menyiratkan norma
sopan-santun dan tata pergaulan orang Melayu.
1. Pendahuluan
Orang Melayu menetapkan identitasnya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam. Dalam makalah ini, penulis akan mengemukakan beberapa hal pokok yang berkaitan dengan adat istiadat Melayu Riau.
Seperti diketahui bersama, segala hal yang bersangkutan dengan adat-istiadat Melayu belum banyak ditulis atau dicatat dengan jelas. Sejak dulu segala ketentuan adat-istiadat disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Saat ini ketentuan adat yang disampaikan hanya terbatas pada adat sopan-santun saja. Untuk dapat memahami adat-istiadat yang berlaku dalam pergaulan, perlu diketahui sumbernya terlebih dahulu, yaitu adat yang disebut “adat yang sebenar adat”. Sebelumnya, akan dibahas pengertian adat.
Buku yang membahas tentang adat sangat banyak, baik yang ditulis oleh ahli Indonesia sendiri maupun ahli asing. Kata adat juga tercantum dalam kamus-kamus Indonesia (baca: Melayu) dan ensiklopedi-ensiklopedi. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa semua buku itu belum dapat menjelaskan adat secara tuntas dan fundamental.
2. Pengertian “Adat” Secara Umum
Banyak orang keliru mengartikan adat, terutama generasi muda. Adat diartikan sama dengan kebiasaan lama dan kuno. Kalau mendengar kata adat, maka yang terbayang dalam khayalan adalah orang tua berpakaian daerah, upacara perkawinan, atau upacara-upacara lainnya. Oleh karena itu, jangan heran jika media massa pun sering keliru, sehingga pakaian daerah disebut pakaian adat atau rumah yang berbentuk khas daerah disebut rumah adat. Tegasnya, apa yang berbentuk tradisional dianggap adat.
Dalam Ensiklopedi Umum, kata “adat” diartikan sebagai:
Aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah yang terbentuk di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah-laku anggota masyarakatnya. Di Indonesia, aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia itu menjadi aturan hukum yang mengikat dan disebut hukum adat (Yayasan Kanisius, 1973).
Pengertian adat di sini sangat terbatas, karena hanya berupa aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan. Hal ini berbeda dengan pendapat Prof. Dr. J. Prins yang mengatakan, “De adat overheerste tot voor kort alle terrein van het leven juist wat de plichtenleer idealiter beoogt te doen” (Prins, 1954). Pendapat Prins ini lebih mendekati pengertian yang sebenarnya, karena ia mengatakan bahwa adat meliputi semua segi kehidupan dan hanya untuk jangka waktu yang singkat.
Ensiklopedi Indonesia memberikan uraian yang lebih panjang, tetapi sulit untuk diambil kesimpulan. Kata adat berasal dari bahasa Arab urf dan Islam telah memberikan corak khusus dalam ketentuan-ketentuan adat dalam lingkungan pemeluk agama Islam.
Pengertian adat di Riau sendiri adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah-laku dan hubungan antara anggota masyarakat dalam segala segi kehidupan. Oleh karena itu, adat merupakan hukum tidak tertulis dan sekaligus sebagai sumber hukum. Sebelum hukum Barat masuk ke Indonesia, adat adalah satu-satunya hukum rakyat yang kemudian disempurnakan dengan hukum Islam, sehingga disebut “adat bersendikan syarak”. Menyatunya adat Melayu dengan hukum syarak diperkirakan terjadi setelah Islam masuk ke Malaka pada akhir abad ke-14, sebagaimana diungkapkan Tonel (1920):
Adat Melayu pada mulanya berpangkal pada adat-istiadat Melayu yang digunakan dalam negeri Tumasik, Bintan, dan Malaka. Pada zaman Malaka, adat itu menjadi Islam karena rajanya pun telah memeluk Islam.
Ketentuan-ketentuan hukum syarak telah dianggap sebagai adat yang dipatuhi oleh anggota masyarakat, sehingga sukar untuk membedakan ketentuan-ketentuan yang berasal dari adat murni dan ketentuan-ketentuan yang berasal dari hukum syarak.
3. Adat Dalam Masyarakat Melayu Riau
Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Riau bersumber dari Malaka dan Johor, karena dahulu Malaka, Johor, dan Riau merupakan Kerajaan Melayu dan adatnya berpunca dari istana, seperti disebutkan Tonel (1920) dalam bagian lain seperti berikut:
Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam dan syariat Islam. Adat-istiadat itulah yang turun-temurun berkembang sampai ke negeri Johor, negeri Riau, negeri Indragiri, negeri Siak, negeri Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala adat yang tidak bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi. Sejak itu, adat-istiadat Melayu disebut adat bersendi syarak yang berpegang kepada kitab Allah dan sunah Nabi.
Dalam bagian lain juga dikatakan:
Adapun negeri Indragiri setelah Raja Narasinga masuk Islam sebab dimenantukan oleh Sultan Mahmudsyah, Sultan Malaka, maka raja itu pun dirajakan di Indragiri. Mulanya ia ditolak oleh orang Indragiri, namun karena kedatangan orang Talang di sana yang mengangkatnya sebagai raja, maka mufakatlah mereka membuat perjanjian. Perjanjian itu menyatakan bahwa orang Talang mengaku sebagai rakyat Indragiri. Raja pun memberi tahu mereka tentang adat Melayu, sehingga mereka mufakat untuk memakai adat itu kala mereka hidup di dalam negeri Indragiri. Di dalam kampungnya, mereka tetap memakai adat mereka. Dengan demikian asal mula adat di negeri Siak dan negeri Pelalawan itu adalah dari Johor jua. Apabila Raja Kecik menjadikan dirinya raja di negeri Siak yang disebut Buantan, maka adat itulah yang dipakainya, yang kemudian diwariskan ke semua anak cucunya, dan daerah taklukannya (Tonel, 1920).
Walaupun kutipan-kutipan di atas diambil dari naskah tulisan tangan yang belum diterbitkan, tetapi keterangan tersebut dapat dipercaya, karena kenyataan yang dijumpai memang demikian.
Adat Melayu di Riau dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu adat sebenar adat, adat yang diadatkan, dan adat yang teradat.
a. Adat Sebenar Adat
Yang dimaksud dengan “adat sebenar adat” adalah prinsip adat Melayu yang tidak dapat diubah-ubah. Prinsip tersebut tersimpul dalam “adat bersendikan syarak”. Ketentuan-ketentuan adat yang bertentangan dengan hukum syarak tidak boleh dipakai lagi dan hukum syaraklah yang dominan. Dalam ungkapan dinyatakan:
Adat berwaris kepada Nabi
Adat berkhalifah kepada Adam
Adat berinduk ke ulama
Adat bersurat dalam kertas
Adat tersirat dalam sunah
Adat dikungkung kitabullah
Itulah adat yang tahan banding
Itulah adat yang tahan asak
Adat terconteng di lawang
Adat tak lekang oleh panas
Adat tak lapuk oleh hujan
Adat dianjak layu diumbut mati
Adat ditanam tumbuh dikubur hidup
Kalau tinggi dipanjatnya
Bila rendah dijalarnya
Riaknya sampai ke tebing
Umbutnya sampai ke pangkal
Resamnya sampai ke laut luas
Sampai ke pulau karam-karaman
Sampai ke tebing lembak-lembakan
Sampai ke arus yang berdengung
Kalau tali boleh diseret
Kalau rupa boleh dilihat
Kalau rasa boleh dimakan
Itulah adat sebenar adat
Adat turun dari syarak
Dilihat dengan hukum syariat
Itulah pusaka turun-temurun
Warisan yang tak putus oleh cencang
Yang menjadi galang lembaga
Yang menjadi ico dengan pakaian
Yang digenggam di peselimut
Adat yang keras tidak tertarik
Adat lunak tidak tersudu
Dibuntal singkat, direntang panjang
Kalau kendur berdenting-denting
Kalau tegang berjela-jela
Itulah adat sebenar adat
Dari ungkapan di atas jelas terlihat betapa bersebatinya adat Melayu dengan ajaran Islam. Dasar adat Melayu menghendaki sunah Nabi dan Al Quran sebagai sandarannya. Prinsip itu tidak dapat diubah, tidak dapat dibuang, apalagi dihilangkan, itulah yang disebut “adat sebenar adat”.
b. Adat yang Diadatkan
“Adat yang diadatkan” adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu kurun waktu dan adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan dengan peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan adat. Perubahan terjadi karena menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa, seperti kata pepatah “Sekali air bah, sekali tepian beralih”. Dalam ungkapan disebutkan:
Adat yang diadatkan
Adat yang turun dari raja
Adat yang datang dari datuk
Adat yang cucur dari penghulu
Adat yang dibuat kemudian
Putus mufakat adat berubah
Bulat kata adat berganti
Sepanjang hari ia lekang
Beralih musim ia layu
Bertuhan angin ia melayang
Bersalin baju ia tercampak
Adat yang dapat dibuat-buat
(Nyanyian Panjang dan Bilang Undang)
Panuti H. M. Sujiman (1983) menyebutkan syarat dan sifat manusia yang baik dan ideal berdasarkan pandangan adat Melayu adalah sebagai berikut:
Adapun syarat menjadi raja sekurang-kurangnya memenuhi empat perkara, pertama tua hati betul, kedua bermuka manis, ketiga berlidah fasih, dan keempat bertangan murah. Demikian syarat bagi semua raja. Hukum terdiri atas empat perkara juga, pertama hukum yang adil, kedua hukum mengasihani, ketiga hukum kekerasan, dan keempat berani.
Selanjutnya petuah-petuah yang diajarkan oleh Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas juga memberikan bimbingan bagi anggota masyarakat Melayu tentang seharusnya orang Melayu bersikap dan bertingkah-laku sesuai dengan yang diinginkan oleh adat Melayu. Gurindam Dua Belas memuat dua belas pasal. Sebagai gambaran, berikut kutipan pasalnya:
Pasal lima
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
sangat memeliharakan yang sia-sia
Jika hendak mengenal orang yang mulia
Lihat kepada kelakuan dia
Jika hendak mengenal orang berilmu
bertanya dan belajar tidaklah jemu
Jika hendak mengenal orang yang berakal
di dalam dunia mengambil bekal
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat kepada ketika bercampur dengan orang ramai
Pasal dua belas
Raja bermufakat dengan menteri
seperti kebun berpagar duri
Betul hati kepada raja
tanda jadi sembarang kerja
Hukum adil kepada rakyat
tanda raja beroleh inayat
Kasihkan orang yang berilmu
tanda rahmat atas dirimu
Hormat akan orang pandai
tanda mengenal kasa dan cindai
Selanjutnya para penguasa (raja) mengatur hak dan kewajiban para kawula menurut tingkat sosial mereka. Hak-hak istimewa raja dan para pembesar diatur dan diwujudkan dalam bentuk rumah, bentuk dan warna pakaian, kedudukan dalam upacara-upacara, dan larangan bagi rakyat biasa untuk memakai atau mempergunakan jenis yang sama. Dengan demikian tercipta ketentuan-ketentuan yang berisi suruhan dan pantangan. Di samping itu juga tercipta kelas-kelas dalam masyarakat yang pada umumnya terdiri dari raja dan anak raja-raja, orang baik-baik, dan orang kebanyakan. Stratifikasi sosial dalam masyarakat Melayu itu telah menciptakan hak dan kewajiban yang berbeda bagi tiap-tiap tingkatan, sebagaimana kutipan berikut:
Pasal menyatakan, adat Raja-raja Melayu yang tidak boleh dipakai oleh orang luar yaitu, rumah yang bersayap layang atau jamban dan pagar kampung yang di atasnya tertutup; rumah beranak keluang dan rumah yang tengahnya berpintu sama; geta yang bersulur bayung lima, tilam berulas kuning, dan memakai bantal yang bersibar kuning; tikar berhuma kuning dan baju pandakpun, yaitu baju lepas kuning; tilam pandak dan tudung hidangan kuning; sapu tangan tuala kuning; memakai kain yang tipis berbayang-bayang; tidak boleh memakai payung di depan istana raja dan tidak boleh berhasut pada majelis balai raja; tiada boleh membuang sapu tangan kepala di hadapan raja; tidak boleh duduk bertelekan di hadapan raja; tiada boleh melintangkan keris ketika menghadap raja; tidak boleh memakai hulu keris panjang yang tutupnya berkunam; tidak boleh membawa senjata yang tidak bersarung ke hadapan raja besar; di hadapan raja jangan banyak tertawa-tawa dan berkipas-kipas; jangan menyangkutkan kain, baju, atau sapu tangan di atas bahu di hadapan raja; tatkala duduk pada majelis, jangan menentang kepada raja; jika raja menyorongkan sesuatu (makanan atau piala minuman), hendaknya segera disambut dan diletakkan ke bawah, kemudian disembah kewah duli seraya duduk undur pada tempat kita sambil memberi hormat. Baru kita minum atau makan. Sebenarnya tidak seperti itu adabnya, melainkan makanlah dengan laku yang sederhana. Jika menerima pakaian dari baginda sendiri atau dibawa oleh pegawainya, hendaknya pakailah pakaian itu di hadapan majelis baginda, serta memberi hormat kepada raja. Jika tidak kita pakai pun boleh, akan tetapi menurut Melayu disebut kurang adab (Sujiman, 1983).
Contoh lain penulis kutip dari kitab Babul Qawaa‘id (1901) dari Kerajaan Siak Sri Indrapura:
Pasal empat
Kuasa melarang orang yang hendak menghadap Sri Paduka Sultan jikalau orang itu naik sahaja tidak memberi tahu kepada Penghulu Balai waktu Sri Paduka Sultan bersemayam.
Pasal lima
Kuasa melarang dengan keras kepada sekalian orang besar- besar, datuk-datuk, pegawai-pegawai, jurutulisjurutulis yang bekerja datang ke balai tiada memakai baju kot, seluar pentalon, sepatu, dan kupiah.
Pasal tujuh
Jikalau hamba rakyat atau siapa juga tiada dikecualikan orangnya hendak menghadap atau datang ke balai tiada boleh berkain gumbang seperti yang tersebut dalam “Ingat Jabatan” bahagian yang kesebelas pada pasal lima, maka jika berkain gumbang kuasa Penghulu Balai menghalaunya dikecuali jikalau orang terkejut di tengah jalan karena hendak meminta pertolongan kepada polisi apa-apa kesusahannya.
Ungkapan-ungkapan yang dikemukakan di atas adalah “adat yang diadatkan”. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa adat mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan kemajuan zaman. Seorang tokoh ideal di zaman Malaka ialah orang yang telah memenuhi empat sifat dan empat syarat. Empat sifat dan empat syarat itu di zaman Kerajaan Riau telah disempurnakan oleh Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas yang terdiri dari dua belas pasal dan tiap-tiap pasal menggambarkan beberapa sifat baik dan tidak baik. Ukuran sopan-santun pada zaman Kerajaan Malaka telah berkembang pada zaman Kerajaan Siak Sri Indrapura yang menetapkan bahwa semua pejabat kerajaan diharuskan berpakaian sesuai perkembangan zaman, yaitu baju kot dan seluar pantalon.
Dalam perjalanan sejarah adat-istiadat Melayu, “adat yang diadatkan” mengalami berbagai perubahan dan variasi. Hampir dapat dipastikan bahwa adat ini merupakan adat yang paling banyak ragamnya, sesuai dengan wilayah tumbuh dan berkembangnya. “Adat yang diadatkan” yang terdapat di daerah Riau beragam, karena di daerah Riau pernah terdapat kerajaan-kerajaan yang tersebar dari kepulauan sampai ke hulu-hulu sungai. Setiap kerajaan tentu mempunyai corak dan variasinya yang disesuaikan dengan kondisi dan latar belakang sejarah, serta pengaruh yang masuk ke sana.
Jika “adat yang diadatkan” di seluruh wilayah Provinsi Riau dibahas secara mendalam, akan dijumpai perbedaan dan persamaan antara kerajaan-kerajaan tersebut. Akan tetapi, perbedaannya hanya terbatas dalam masalah “tingkat adat” saja, sedangkan “adat sebenar adat” tetap sama. Demikian pula dengan ketentuan-ketentuan dalam upacara, seperti dalam upacara nikah kawin, upacara yang menyangkut daur hidup, dan sebagainya.
c. Adat yang Teradat
Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik, sebagai pedoman dalam menentuhan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga merupakan kebiasaan turun-temurun. Oleh karena itu, “adat yang teradat” ini pun dapat berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang. Tingkat adat nilai-nilai baru yang berkembang ini kemudian disebut sebagai tradisi. Dalam ungkapan disebutkan:
Adat yang teradat
Datang tidak bercerita
Pergi tidak berkabar
Adat disarung tidak berjahit
Adat berkelindan tidak bersimpul
Adat berjarum tidak berbenang
Yang terbawa burung lalu
Yang tumbuh tidak ditanam
Yang kembang tidak berkuntum
Yang bertunas tidak berpucuk
Adat yang datang kemudian
Yang diseret jalan panjang
Yang betenggek di sampan lalu
Yang berlabuh tidak bersauh
Yang berakar berurat tunggang
Itulah adat sementara
Adat yang dapat dialih-alih
Adat yang dapat ditukar salin
Pelanggaran terhadap adat ini sanksinya tidak seberat kedua tingkat adat yang disebutkan di atas. Jika terjadi pelanggaran, maka orang yang melanggar hanya ditegur atau dinasihati oleh pemangku adat atau orang-orang yang dituakan dalam masyarakat. Namun, si pelanggar tetap dianggap sebagai orang yang kurang adab atau tidak tahu adat. Ketentuan adat ini biasanya tidak tertulis, sehingga pengukuhannya dilestarikan dalam ungkapan yang disebut “pepatah adat” atau “undang adat”. Apabila terjadi kasus, maka diadakan musyawarah. Dalam musyawarah digunakan “ungkapan adat” yang disebut “bilang undang”. Hal ini dijelaskan dalam ungkapan berikut:
Rumah ada adatnya
Tepian ada bahasanya
Tebing ditingkat dengan undang
Negeri dihuni dengan lembaga
Kampung dikungkung dengan adat
Kayu besar berkayu kecil
Kayu kecil beranak laras
Laut seperintah raja
Rantau seperintah datuk
Luhak seperintah penghulu
Ulayat seperintah batin
Anak rumah tangga rumah
Berselaras tangga turun
Bertelaga tangga naik
Pusaka banyak pusaka
Pusaka di atas tumbuh
Hilang adat karena dibuat
Hilang lembaga karena diikat
Selanjutnya “bilang undang” itu mempunyai sifat-sifat petunjuk, seperti yang tersirat dalam ungkapan berikut:
Hukum sipalu palu ular
Ular dipalu tidak mati
Kayu pemalu tidak patah
Rumput dipalu tidak layu
Tanah terpalu tidak lembang
Hukum jatuh benar terletak
Gelak berderai timbal balik
Undang menarik rambut dalam tepung
Rambut ditarik tidak putus
Tepung tertarik tidak berserak
Minta wasiat kepada yang tua
Minta petuah kepada yang alim
Minta akal kepada yang cerdik
Minta daulat kepada raja
Minta suara kepada enggang
Minta kuat kepada gajah
Yang hesat diampelas
Yang berbongkol ditarah
Yang keruh dijernihkan
Yang kusut diuraikan
Dari uraian dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan adat yang lebih dikenal sebagai hukum tidak tertulis telah diwariskan dalam bentuk undang-undang, ungkapan, atau pepatah-petitih.
4. Adat-Istiadat Dalam Pergaulan Orang Melayu Di Riau
Bertolak dari dasar pemikiran diadakannya Seminar Kebudayaan Melayu ini, penulis mencoba mengemukakan pemikiran sebagai sumbangan dalam penyempurnaan tata-pergaulan nasional. Berikut satu alenia yang menjadi dasar pemikiran tersebut:
Interaksi sosial antara sesama warga negara dalam masyarakat majemuk itu menuntut kerangka rujukan (term of reference) maupun mekanisme pengendali yang mampu memberikan arah dan makna kehidupan bermasyarakat, yaitu kebudayaan yang dapat menjembatani pergaulan sesama warga negara secara efektif.
Adat-istiadat yang merupakan pola sopan-santun dalam pergaulan orang Melayu di Riau sebenarnya sudah lama menjadi pola pergaulan nasional sesama warga negara. Bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa nasional Indonesia mengikutsertakan pepatah, ungkapan, peribahasa, pantun, seloka, dan sebagainya yang hidup dalam masyarakat Melayu menjadi milik nasional dan dipahami oleh semua warga negara Indonesia. Ajaran, tuntunan, dan falsafah yang diajarkan melalui pepatah, peribahasa, dan sebagainya itu telah membudaya di seluruh Indonesia, sehingga tidak mudah untuk mengidentifikasi pepatah dan peribahasa yang berasal dari Melayu dan yang bukan dari Melayu.
Dalam masyarakat Melayu di Riau, sikap dan tingkah-laku yang baik telah diajarkan sejak dari buaian hingga dewasa. Sikap itu diajarkan secara lisan dan dikembangkan melalui tulisan-tulisan. Raja Ali Haji, pujangga besar Riau telah banyak meninggalkan ajaran-ajaran seperti Gurindam Dua Belas, Samaratul Muhimmah, dan manuskrip-manuskrip lainnya.
Sopan-santun dalam pergaulan sesama masyarakat menyangkut beberapa hal, yaitu tingkah-laku, tutur-bahasa, kesopanan berpakaian, serta sikap menghadapi orang tua/orang sebaya, orang yang lebih muda, para pembesar, dan sebagainya. Tingkah-laku yang terpuji adalah yang bersifat sederhana. Pola hidup sederhana yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia sejalan dengan sifat ideal orang Melayu. Sebagaimana penggalan dalam kitab Adat Raja-raja Melayu:
Syahdan maka lagi adalah yang dikehendaki oleh istiadat orang Melayu itu dan dibilang orang yang majelis yaitu apabila ada ia mengada ia atas sesuatu kelakuan melainkan dengan pertengahan jua adanya. Yakni daripada segala kelakuan dan perbuatan dan pakaian dan perkataan dan makanan dan perjalanannya, sekalian itu tiada dengan berlebih-lebihan dan dengan kekurangan, melainkan sekaliannya itu diadakan dengan keadaan yang sederhana jua adanya. Maka orang itulah yang dibilang anak yang majelis. Tambahan pula dengan adab pandai ia menyimpan dirinya. Maka tambah-tambahlah landib atau sindib adanya, seperti kata hukuman, “Hendaklah kamu hukumkan kerongkongan kamu tatkala dalam majelis makan, dan hukumkan matamu tatkala melihat perempuan, dan tegahkan lidahmu dan pada banyak perkataan yang siasia dan tulikan telingamu dan pada perkataan-perkataan yang keji-keji”. Maka apabila sampailah seseorang kepada segala syarat ini ia itulah orang yang majelis namanya (Sujiman, 1983).
Kesederhanaan memang sudah menjadi sifat dasar orang Melayu sehingga terkadang karena “salah bawa” menjadi sangat berlebihan. Kesederhanaan ini membawa sifat ramah dan toleransi yang tinggi dalam pergaulan. Kesederhanaan ini digambarkan pula dalam pepatah “Mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah, “Ibarat padi, kian berisi kian runduk” .
Gotong-royong dan seia sekata sangat dianjurkan. Banyak pepatah dan ungkapan yang menjadi falsafah hidup orang Melayu bertahan sampai sekarang, seperti misalnya:
Berat sama dipikul
Ringan sama dijinjing
Ke bukit sama mendaki
Ke lurah sama menurun
Hati gajah sama dilapah
Hati tungau sama dicecah
Hidup jelang-menjelang
Sakit jenguk-menjenguk
Lapang sama berlegar
Sempit sama berhimpit
Lebih beri-memberi
Kalau berjalan beriringan
Yang dulu jangan menunjang
Yang tengah jangan membelok
Yang di belakang jangan menumit
Yang lupa diingatkan
Yang bengkok diluruskan
Yang tidur dijagakan
Yang salah tegur-menegur
Yang rendah angkat-mengangkat
Yang tinggi junjung-menjunjung
Yang tua memberi wasiat
Yang alim memberi amanat
Yang berani memberi kuat
Yang berkuasa memberi daulat
Kuat lidi karena diikat
Kuat hati karena mufakat
Ungkapan-ungkapan yang menyangkut kebersamaan masih sangat banyak, karena masalah gotong royong dan kerukunan bersama merupakan masalah penting dalam pergaulan orang Melayu. Ungkapan-ungkapan itu antara lain tercermin dalam.
a. Tutur-Kata
Dalam bertutur dan berkata, banyak dijumpai nasihat, karena kata sangat berpengaruh bagi keselarasan pergaulan, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Pengertian “bangsa” yang dimaksud di sini adalah “orang baik-baik” atau orang berderajat yang juga disebut “orang berbangsa”. Orang baik-baik tentu mengeluarkan kata-kata yang baik dan tekanan suaranya akan menimbulkan simpati orang. Orang yang menggunakan kata-kata kasar dan tidak senonoh, dia tentu orang yang “tidak berbangsa” atau derajatnya rendah.
Bahasa selalu dikaitkan dengan budi, oleh karena itu selalu disebut “budi bahasa”. Dengan demikian, ketinggian budi seseorang juga diukur dari kata-katanya, seperti ungkapan:
Hidup sekandang sehalaman
tidak boleh tengking-menengking
tidak boleh tindih-menindih
tidak boleh dendam kesumat
Pantang membuka aib orang
Pantang merobek baju di badan
Pantang menepuk air di dulang
Hilang budi karena bahasa
Habis daulat karena kuasa
Pedas lada hingga ke mulut
Pedas kata menjemput maut
Bisa ular pada taringnya
Bisa lebah pada sengatnya
Bisa manusia pada mulutnya
Bisa racun boleh diobat
Bisa mulut nyawa padannya
Oleh karena kata dan ungkapan memegang peran penting dalam pergaulan, maka selalu diberikan tuntunan tentang kata dan ungkapan agar kerukunan tetap terpelihara. Tinggi rendah budi seseorang diukur dari cara berkata-kata. Seseorang yang mengeluarkan kata-kata yang salah akan menjadi aib baginya, seperti kata pepatah “Biar salah kain asal jangan salah cakap”.
b. Sopan-Santun Berpakaian
Dari pepatah “Biar salah kain asal jangan salah cakap” juga tercermin bahwa salah kain juga merupakan aib. Dalam masyarakat Melayu, kesempurnaan berpakaian menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya budaya seseorang. Makin tinggi kebudayaannya, akan semakin sempurna pakaiannya. Selain itu, sopan-santun berpakaian menurut Islam telah menyatu dengan adat.
Orang yang sopan, pakaiannya akan sempurna, tidak bertelanjang dada, dan lututnya tidak terbuka, seperti dinyatakan dalam ungkapan:
Elok sanggam menutup malu
Sanggam dipakai helat jamu
Elok dipakai berpatut-patut
Letak tidak membuka aib
Orang Melayu sejak dahulu sudah mengenal mode, terbukti dengan adanya berbagai jenis pakaian, baik pakaian pria maupun wanita. Demikian pula perhiasan sebagai pelengkap berpakaian. Melayu mengenal penutup kepala bagi lakilaki yang disebut “tengkolok” atau “tanjak” dengan 42 jenis ikatan.
Pakaian daerah atau pakaian tradisonal Melayu bermacam-macam dan cara memakainya pun disesuaikan dengan keperluan. Cara berpakaian untuk ke pasar, ke masjid, bertandang ke rumah orang, atau ke majelis perjamuan dan upacara ada etikanya sendiri-sendiri. Sebagai intermezo, penulis sajikan beberapa ungkapan mengenai pakaian (Effendy, 1985):
Seluar panjang semata kaki
Goyang bergoyang ditiup angin
Kibarnya tidak lebih sejengkal
Pesaknya tidak dalam amat
Elok sanggam menutup malu
Kalau melangkah tidak menyemak
Kalau duduk tidak menyesak
Kaki diberi awan-awanan
Berkelingking berbenang emas
Bayang membayang pucuk rebung
Tabur bertabur tampuk manggis
Elok dipakai dalam majelis
Sanggam dipakai helat jamu
Patut bertempat nikah kawin
Peratama disebut teluk belanga
Tebuk leher bertulang belut
Cengkam dijalin menjari lipan
Buah baju tunggal-tunggalan
Kalau bulat menelur burung
Kalau bertangkai memudung petai
Atau bermata bagai cincin
Labuhnya sampai segenggam tangan
Lebar dapat kipas berkipas
Lapang tidak menyangkut ranting
Kedua kain tenun-tenunan
Bertabuh berkepala emas
Tabur berserak bunga hutan
Kepala pekat berpucuk rebung
Dipakai dalam helat jamu
Dalam mejelis yang patut-patut
Kalau dibuat kain samping
Kepala kain sebelah kanan
Atau membelit kepala belakang
Kalau dipakai labuh-labuhan
Kepala terletak di belakang
Seperti yang telah penulis ungkapkan pada bagian depan, Kerajaan Siak Sri Indrapura telah menetapkan cara berpakaian bagi para pejabat yang bekerja di balai (kantor) dan cara berpakaian rakyat yang datang ke balai dalam Babul Qawa‘id. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pergaulan orang Melayu di Riau, kesopanan berpakaian tidak boleh diabaikan.
c. Adab dalam Pergaulan
Kerangka acuan adab dan sopan-santun dalam pergaulan adalah norma Islam yang sudah melembaga menjadi adat. Di dalamnya terdapat berbagai pantangan, larangan, dan hal-hal yang dianggap “sumbang”. Pelanggaran dalam hal ini menimbulkan aib besar dan si pelanggar dianggap tidak beradab.
Terdapat beberapa sumbang, yaitu sumbang dipandang mata, sumbang sikap, dan sumbang kata yang pada umumnya disebut “tidak baik”. Karakter anggota masyarakat dibentuk oleh norma-norma ini. Dengan demikian tercipta pola sikap dalam pergaulan, seperti sikap terhadap orang tua, terhadap ibu bapak, terhadap penguasa atau pejabat, terhadap orang sebaya, terhadap orang yang lebih muda, antara pria dan wanita, bertamu ke rumah orang, dalam upacara, dan sebagainya. Banyak ungkapan yang kita jumpai di dalam masyarakat Melayu yang digunakan sebagai tuntunan, di antaranya sebagai berikut (Effendy, 1985):
Guru kencing berdiri
Murid kencing berlari
Kalau menyengat kupiah imam
Akan melintang kupiah makmum
Berseloroh sama sebaya
Berunding sama setara
Bergelut di halaman
Berunding di rumah
Berbuat baik berpada-pada
Berbuat jahat jangan sekali
Yang patut dipatutkan
Yang tua dituakan
Yang berbangsa dibangsakan
Yang berbahasa dibahasakan
Kalau lepas ke halaman orang
Berkata dulu agak sepatah
Memberi tahu orang di rumah
Entah orang salah duduk
Entah orang salah tegak
Entah orang salah kain
Kalau betina turun di tangga
Surut selangkah kita dahulu
Jangan bersinggung turun naik
Kalau haus di kampung orang
Haus boleh minta air
Lapar boleh minta nasi
Tapi terbatas hingga di pintu
Sebelah kaki berjuntai
Sebelah boleh di atas bendul
Di mana bumi dipijak
Di situ langit dijunjung
Di mana air disauk
Di situ ranting dipatah
Karena begitu banyaknya ungkapan, maka tidak mungkin jika semuanya dikemukakan di sini. Yang jelas, dalam masyarakat Melayu Riau etika pergaulan sangat dipentingkan.
1. Pendahuluan
Orang Melayu menetapkan identitasnya dengan tiga ciri pokok, yaitu berbahasa Melayu, beradat-istiadat Melayu, dan beragama Islam. Dalam makalah ini, penulis akan mengemukakan beberapa hal pokok yang berkaitan dengan adat istiadat Melayu Riau.
Seperti diketahui bersama, segala hal yang bersangkutan dengan adat-istiadat Melayu belum banyak ditulis atau dicatat dengan jelas. Sejak dulu segala ketentuan adat-istiadat disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Saat ini ketentuan adat yang disampaikan hanya terbatas pada adat sopan-santun saja. Untuk dapat memahami adat-istiadat yang berlaku dalam pergaulan, perlu diketahui sumbernya terlebih dahulu, yaitu adat yang disebut “adat yang sebenar adat”. Sebelumnya, akan dibahas pengertian adat.
Buku yang membahas tentang adat sangat banyak, baik yang ditulis oleh ahli Indonesia sendiri maupun ahli asing. Kata adat juga tercantum dalam kamus-kamus Indonesia (baca: Melayu) dan ensiklopedi-ensiklopedi. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa semua buku itu belum dapat menjelaskan adat secara tuntas dan fundamental.
2. Pengertian “Adat” Secara Umum
Banyak orang keliru mengartikan adat, terutama generasi muda. Adat diartikan sama dengan kebiasaan lama dan kuno. Kalau mendengar kata adat, maka yang terbayang dalam khayalan adalah orang tua berpakaian daerah, upacara perkawinan, atau upacara-upacara lainnya. Oleh karena itu, jangan heran jika media massa pun sering keliru, sehingga pakaian daerah disebut pakaian adat atau rumah yang berbentuk khas daerah disebut rumah adat. Tegasnya, apa yang berbentuk tradisional dianggap adat.
Dalam Ensiklopedi Umum, kata “adat” diartikan sebagai:
Aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah yang terbentuk di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah-laku anggota masyarakatnya. Di Indonesia, aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia itu menjadi aturan hukum yang mengikat dan disebut hukum adat (Yayasan Kanisius, 1973).
Pengertian adat di sini sangat terbatas, karena hanya berupa aturan-aturan tentang beberapa segi kehidupan. Hal ini berbeda dengan pendapat Prof. Dr. J. Prins yang mengatakan, “De adat overheerste tot voor kort alle terrein van het leven juist wat de plichtenleer idealiter beoogt te doen” (Prins, 1954). Pendapat Prins ini lebih mendekati pengertian yang sebenarnya, karena ia mengatakan bahwa adat meliputi semua segi kehidupan dan hanya untuk jangka waktu yang singkat.
Ensiklopedi Indonesia memberikan uraian yang lebih panjang, tetapi sulit untuk diambil kesimpulan. Kata adat berasal dari bahasa Arab urf dan Islam telah memberikan corak khusus dalam ketentuan-ketentuan adat dalam lingkungan pemeluk agama Islam.
Pengertian adat di Riau sendiri adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah-laku dan hubungan antara anggota masyarakat dalam segala segi kehidupan. Oleh karena itu, adat merupakan hukum tidak tertulis dan sekaligus sebagai sumber hukum. Sebelum hukum Barat masuk ke Indonesia, adat adalah satu-satunya hukum rakyat yang kemudian disempurnakan dengan hukum Islam, sehingga disebut “adat bersendikan syarak”. Menyatunya adat Melayu dengan hukum syarak diperkirakan terjadi setelah Islam masuk ke Malaka pada akhir abad ke-14, sebagaimana diungkapkan Tonel (1920):
Adat Melayu pada mulanya berpangkal pada adat-istiadat Melayu yang digunakan dalam negeri Tumasik, Bintan, dan Malaka. Pada zaman Malaka, adat itu menjadi Islam karena rajanya pun telah memeluk Islam.
Ketentuan-ketentuan hukum syarak telah dianggap sebagai adat yang dipatuhi oleh anggota masyarakat, sehingga sukar untuk membedakan ketentuan-ketentuan yang berasal dari adat murni dan ketentuan-ketentuan yang berasal dari hukum syarak.
3. Adat Dalam Masyarakat Melayu Riau
Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Riau bersumber dari Malaka dan Johor, karena dahulu Malaka, Johor, dan Riau merupakan Kerajaan Melayu dan adatnya berpunca dari istana, seperti disebutkan Tonel (1920) dalam bagian lain seperti berikut:
Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam dan syariat Islam. Adat-istiadat itulah yang turun-temurun berkembang sampai ke negeri Johor, negeri Riau, negeri Indragiri, negeri Siak, negeri Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala adat yang tidak bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi. Sejak itu, adat-istiadat Melayu disebut adat bersendi syarak yang berpegang kepada kitab Allah dan sunah Nabi.
Dalam bagian lain juga dikatakan:
Adapun negeri Indragiri setelah Raja Narasinga masuk Islam sebab dimenantukan oleh Sultan Mahmudsyah, Sultan Malaka, maka raja itu pun dirajakan di Indragiri. Mulanya ia ditolak oleh orang Indragiri, namun karena kedatangan orang Talang di sana yang mengangkatnya sebagai raja, maka mufakatlah mereka membuat perjanjian. Perjanjian itu menyatakan bahwa orang Talang mengaku sebagai rakyat Indragiri. Raja pun memberi tahu mereka tentang adat Melayu, sehingga mereka mufakat untuk memakai adat itu kala mereka hidup di dalam negeri Indragiri. Di dalam kampungnya, mereka tetap memakai adat mereka. Dengan demikian asal mula adat di negeri Siak dan negeri Pelalawan itu adalah dari Johor jua. Apabila Raja Kecik menjadikan dirinya raja di negeri Siak yang disebut Buantan, maka adat itulah yang dipakainya, yang kemudian diwariskan ke semua anak cucunya, dan daerah taklukannya (Tonel, 1920).
Walaupun kutipan-kutipan di atas diambil dari naskah tulisan tangan yang belum diterbitkan, tetapi keterangan tersebut dapat dipercaya, karena kenyataan yang dijumpai memang demikian.
Adat Melayu di Riau dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu adat sebenar adat, adat yang diadatkan, dan adat yang teradat.
a. Adat Sebenar Adat
Yang dimaksud dengan “adat sebenar adat” adalah prinsip adat Melayu yang tidak dapat diubah-ubah. Prinsip tersebut tersimpul dalam “adat bersendikan syarak”. Ketentuan-ketentuan adat yang bertentangan dengan hukum syarak tidak boleh dipakai lagi dan hukum syaraklah yang dominan. Dalam ungkapan dinyatakan:
Adat berwaris kepada Nabi
Adat berkhalifah kepada Adam
Adat berinduk ke ulama
Adat bersurat dalam kertas
Adat tersirat dalam sunah
Adat dikungkung kitabullah
Itulah adat yang tahan banding
Itulah adat yang tahan asak
Adat terconteng di lawang
Adat tak lekang oleh panas
Adat tak lapuk oleh hujan
Adat dianjak layu diumbut mati
Adat ditanam tumbuh dikubur hidup
Kalau tinggi dipanjatnya
Bila rendah dijalarnya
Riaknya sampai ke tebing
Umbutnya sampai ke pangkal
Resamnya sampai ke laut luas
Sampai ke pulau karam-karaman
Sampai ke tebing lembak-lembakan
Sampai ke arus yang berdengung
Kalau tali boleh diseret
Kalau rupa boleh dilihat
Kalau rasa boleh dimakan
Itulah adat sebenar adat
Adat turun dari syarak
Dilihat dengan hukum syariat
Itulah pusaka turun-temurun
Warisan yang tak putus oleh cencang
Yang menjadi galang lembaga
Yang menjadi ico dengan pakaian
Yang digenggam di peselimut
Adat yang keras tidak tertarik
Adat lunak tidak tersudu
Dibuntal singkat, direntang panjang
Kalau kendur berdenting-denting
Kalau tegang berjela-jela
Itulah adat sebenar adat
Dari ungkapan di atas jelas terlihat betapa bersebatinya adat Melayu dengan ajaran Islam. Dasar adat Melayu menghendaki sunah Nabi dan Al Quran sebagai sandarannya. Prinsip itu tidak dapat diubah, tidak dapat dibuang, apalagi dihilangkan, itulah yang disebut “adat sebenar adat”.
b. Adat yang Diadatkan
“Adat yang diadatkan” adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu kurun waktu dan adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan dengan peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan adat. Perubahan terjadi karena menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa, seperti kata pepatah “Sekali air bah, sekali tepian beralih”. Dalam ungkapan disebutkan:
Adat yang diadatkan
Adat yang turun dari raja
Adat yang datang dari datuk
Adat yang cucur dari penghulu
Adat yang dibuat kemudian
Putus mufakat adat berubah
Bulat kata adat berganti
Sepanjang hari ia lekang
Beralih musim ia layu
Bertuhan angin ia melayang
Bersalin baju ia tercampak
Adat yang dapat dibuat-buat
(Nyanyian Panjang dan Bilang Undang)
Panuti H. M. Sujiman (1983) menyebutkan syarat dan sifat manusia yang baik dan ideal berdasarkan pandangan adat Melayu adalah sebagai berikut:
Adapun syarat menjadi raja sekurang-kurangnya memenuhi empat perkara, pertama tua hati betul, kedua bermuka manis, ketiga berlidah fasih, dan keempat bertangan murah. Demikian syarat bagi semua raja. Hukum terdiri atas empat perkara juga, pertama hukum yang adil, kedua hukum mengasihani, ketiga hukum kekerasan, dan keempat berani.
Selanjutnya petuah-petuah yang diajarkan oleh Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas juga memberikan bimbingan bagi anggota masyarakat Melayu tentang seharusnya orang Melayu bersikap dan bertingkah-laku sesuai dengan yang diinginkan oleh adat Melayu. Gurindam Dua Belas memuat dua belas pasal. Sebagai gambaran, berikut kutipan pasalnya:
Pasal lima
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia
sangat memeliharakan yang sia-sia
Jika hendak mengenal orang yang mulia
Lihat kepada kelakuan dia
Jika hendak mengenal orang berilmu
bertanya dan belajar tidaklah jemu
Jika hendak mengenal orang yang berakal
di dalam dunia mengambil bekal
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai
Lihat kepada ketika bercampur dengan orang ramai
Pasal dua belas
Raja bermufakat dengan menteri
seperti kebun berpagar duri
Betul hati kepada raja
tanda jadi sembarang kerja
Hukum adil kepada rakyat
tanda raja beroleh inayat
Kasihkan orang yang berilmu
tanda rahmat atas dirimu
Hormat akan orang pandai
tanda mengenal kasa dan cindai
Selanjutnya para penguasa (raja) mengatur hak dan kewajiban para kawula menurut tingkat sosial mereka. Hak-hak istimewa raja dan para pembesar diatur dan diwujudkan dalam bentuk rumah, bentuk dan warna pakaian, kedudukan dalam upacara-upacara, dan larangan bagi rakyat biasa untuk memakai atau mempergunakan jenis yang sama. Dengan demikian tercipta ketentuan-ketentuan yang berisi suruhan dan pantangan. Di samping itu juga tercipta kelas-kelas dalam masyarakat yang pada umumnya terdiri dari raja dan anak raja-raja, orang baik-baik, dan orang kebanyakan. Stratifikasi sosial dalam masyarakat Melayu itu telah menciptakan hak dan kewajiban yang berbeda bagi tiap-tiap tingkatan, sebagaimana kutipan berikut:
Pasal menyatakan, adat Raja-raja Melayu yang tidak boleh dipakai oleh orang luar yaitu, rumah yang bersayap layang atau jamban dan pagar kampung yang di atasnya tertutup; rumah beranak keluang dan rumah yang tengahnya berpintu sama; geta yang bersulur bayung lima, tilam berulas kuning, dan memakai bantal yang bersibar kuning; tikar berhuma kuning dan baju pandakpun, yaitu baju lepas kuning; tilam pandak dan tudung hidangan kuning; sapu tangan tuala kuning; memakai kain yang tipis berbayang-bayang; tidak boleh memakai payung di depan istana raja dan tidak boleh berhasut pada majelis balai raja; tiada boleh membuang sapu tangan kepala di hadapan raja; tidak boleh duduk bertelekan di hadapan raja; tiada boleh melintangkan keris ketika menghadap raja; tidak boleh memakai hulu keris panjang yang tutupnya berkunam; tidak boleh membawa senjata yang tidak bersarung ke hadapan raja besar; di hadapan raja jangan banyak tertawa-tawa dan berkipas-kipas; jangan menyangkutkan kain, baju, atau sapu tangan di atas bahu di hadapan raja; tatkala duduk pada majelis, jangan menentang kepada raja; jika raja menyorongkan sesuatu (makanan atau piala minuman), hendaknya segera disambut dan diletakkan ke bawah, kemudian disembah kewah duli seraya duduk undur pada tempat kita sambil memberi hormat. Baru kita minum atau makan. Sebenarnya tidak seperti itu adabnya, melainkan makanlah dengan laku yang sederhana. Jika menerima pakaian dari baginda sendiri atau dibawa oleh pegawainya, hendaknya pakailah pakaian itu di hadapan majelis baginda, serta memberi hormat kepada raja. Jika tidak kita pakai pun boleh, akan tetapi menurut Melayu disebut kurang adab (Sujiman, 1983).
Contoh lain penulis kutip dari kitab Babul Qawaa‘id (1901) dari Kerajaan Siak Sri Indrapura:
Pasal empat
Kuasa melarang orang yang hendak menghadap Sri Paduka Sultan jikalau orang itu naik sahaja tidak memberi tahu kepada Penghulu Balai waktu Sri Paduka Sultan bersemayam.
Pasal lima
Kuasa melarang dengan keras kepada sekalian orang besar- besar, datuk-datuk, pegawai-pegawai, jurutulisjurutulis yang bekerja datang ke balai tiada memakai baju kot, seluar pentalon, sepatu, dan kupiah.
Pasal tujuh
Jikalau hamba rakyat atau siapa juga tiada dikecualikan orangnya hendak menghadap atau datang ke balai tiada boleh berkain gumbang seperti yang tersebut dalam “Ingat Jabatan” bahagian yang kesebelas pada pasal lima, maka jika berkain gumbang kuasa Penghulu Balai menghalaunya dikecuali jikalau orang terkejut di tengah jalan karena hendak meminta pertolongan kepada polisi apa-apa kesusahannya.
Ungkapan-ungkapan yang dikemukakan di atas adalah “adat yang diadatkan”. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa adat mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan kemajuan zaman. Seorang tokoh ideal di zaman Malaka ialah orang yang telah memenuhi empat sifat dan empat syarat. Empat sifat dan empat syarat itu di zaman Kerajaan Riau telah disempurnakan oleh Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas yang terdiri dari dua belas pasal dan tiap-tiap pasal menggambarkan beberapa sifat baik dan tidak baik. Ukuran sopan-santun pada zaman Kerajaan Malaka telah berkembang pada zaman Kerajaan Siak Sri Indrapura yang menetapkan bahwa semua pejabat kerajaan diharuskan berpakaian sesuai perkembangan zaman, yaitu baju kot dan seluar pantalon.
Dalam perjalanan sejarah adat-istiadat Melayu, “adat yang diadatkan” mengalami berbagai perubahan dan variasi. Hampir dapat dipastikan bahwa adat ini merupakan adat yang paling banyak ragamnya, sesuai dengan wilayah tumbuh dan berkembangnya. “Adat yang diadatkan” yang terdapat di daerah Riau beragam, karena di daerah Riau pernah terdapat kerajaan-kerajaan yang tersebar dari kepulauan sampai ke hulu-hulu sungai. Setiap kerajaan tentu mempunyai corak dan variasinya yang disesuaikan dengan kondisi dan latar belakang sejarah, serta pengaruh yang masuk ke sana.
Jika “adat yang diadatkan” di seluruh wilayah Provinsi Riau dibahas secara mendalam, akan dijumpai perbedaan dan persamaan antara kerajaan-kerajaan tersebut. Akan tetapi, perbedaannya hanya terbatas dalam masalah “tingkat adat” saja, sedangkan “adat sebenar adat” tetap sama. Demikian pula dengan ketentuan-ketentuan dalam upacara, seperti dalam upacara nikah kawin, upacara yang menyangkut daur hidup, dan sebagainya.
c. Adat yang Teradat
Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik, sebagai pedoman dalam menentuhan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga merupakan kebiasaan turun-temurun. Oleh karena itu, “adat yang teradat” ini pun dapat berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang. Tingkat adat nilai-nilai baru yang berkembang ini kemudian disebut sebagai tradisi. Dalam ungkapan disebutkan:
Adat yang teradat
Datang tidak bercerita
Pergi tidak berkabar
Adat disarung tidak berjahit
Adat berkelindan tidak bersimpul
Adat berjarum tidak berbenang
Yang terbawa burung lalu
Yang tumbuh tidak ditanam
Yang kembang tidak berkuntum
Yang bertunas tidak berpucuk
Adat yang datang kemudian
Yang diseret jalan panjang
Yang betenggek di sampan lalu
Yang berlabuh tidak bersauh
Yang berakar berurat tunggang
Itulah adat sementara
Adat yang dapat dialih-alih
Adat yang dapat ditukar salin
Pelanggaran terhadap adat ini sanksinya tidak seberat kedua tingkat adat yang disebutkan di atas. Jika terjadi pelanggaran, maka orang yang melanggar hanya ditegur atau dinasihati oleh pemangku adat atau orang-orang yang dituakan dalam masyarakat. Namun, si pelanggar tetap dianggap sebagai orang yang kurang adab atau tidak tahu adat. Ketentuan adat ini biasanya tidak tertulis, sehingga pengukuhannya dilestarikan dalam ungkapan yang disebut “pepatah adat” atau “undang adat”. Apabila terjadi kasus, maka diadakan musyawarah. Dalam musyawarah digunakan “ungkapan adat” yang disebut “bilang undang”. Hal ini dijelaskan dalam ungkapan berikut:
Rumah ada adatnya
Tepian ada bahasanya
Tebing ditingkat dengan undang
Negeri dihuni dengan lembaga
Kampung dikungkung dengan adat
Kayu besar berkayu kecil
Kayu kecil beranak laras
Laut seperintah raja
Rantau seperintah datuk
Luhak seperintah penghulu
Ulayat seperintah batin
Anak rumah tangga rumah
Berselaras tangga turun
Bertelaga tangga naik
Pusaka banyak pusaka
Pusaka di atas tumbuh
Hilang adat karena dibuat
Hilang lembaga karena diikat
Selanjutnya “bilang undang” itu mempunyai sifat-sifat petunjuk, seperti yang tersirat dalam ungkapan berikut:
Hukum sipalu palu ular
Ular dipalu tidak mati
Kayu pemalu tidak patah
Rumput dipalu tidak layu
Tanah terpalu tidak lembang
Hukum jatuh benar terletak
Gelak berderai timbal balik
Undang menarik rambut dalam tepung
Rambut ditarik tidak putus
Tepung tertarik tidak berserak
Minta wasiat kepada yang tua
Minta petuah kepada yang alim
Minta akal kepada yang cerdik
Minta daulat kepada raja
Minta suara kepada enggang
Minta kuat kepada gajah
Yang hesat diampelas
Yang berbongkol ditarah
Yang keruh dijernihkan
Yang kusut diuraikan
Dari uraian dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan adat yang lebih dikenal sebagai hukum tidak tertulis telah diwariskan dalam bentuk undang-undang, ungkapan, atau pepatah-petitih.
4. Adat-Istiadat Dalam Pergaulan Orang Melayu Di Riau
Bertolak dari dasar pemikiran diadakannya Seminar Kebudayaan Melayu ini, penulis mencoba mengemukakan pemikiran sebagai sumbangan dalam penyempurnaan tata-pergaulan nasional. Berikut satu alenia yang menjadi dasar pemikiran tersebut:
Interaksi sosial antara sesama warga negara dalam masyarakat majemuk itu menuntut kerangka rujukan (term of reference) maupun mekanisme pengendali yang mampu memberikan arah dan makna kehidupan bermasyarakat, yaitu kebudayaan yang dapat menjembatani pergaulan sesama warga negara secara efektif.
Adat-istiadat yang merupakan pola sopan-santun dalam pergaulan orang Melayu di Riau sebenarnya sudah lama menjadi pola pergaulan nasional sesama warga negara. Bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa nasional Indonesia mengikutsertakan pepatah, ungkapan, peribahasa, pantun, seloka, dan sebagainya yang hidup dalam masyarakat Melayu menjadi milik nasional dan dipahami oleh semua warga negara Indonesia. Ajaran, tuntunan, dan falsafah yang diajarkan melalui pepatah, peribahasa, dan sebagainya itu telah membudaya di seluruh Indonesia, sehingga tidak mudah untuk mengidentifikasi pepatah dan peribahasa yang berasal dari Melayu dan yang bukan dari Melayu.
Dalam masyarakat Melayu di Riau, sikap dan tingkah-laku yang baik telah diajarkan sejak dari buaian hingga dewasa. Sikap itu diajarkan secara lisan dan dikembangkan melalui tulisan-tulisan. Raja Ali Haji, pujangga besar Riau telah banyak meninggalkan ajaran-ajaran seperti Gurindam Dua Belas, Samaratul Muhimmah, dan manuskrip-manuskrip lainnya.
Sopan-santun dalam pergaulan sesama masyarakat menyangkut beberapa hal, yaitu tingkah-laku, tutur-bahasa, kesopanan berpakaian, serta sikap menghadapi orang tua/orang sebaya, orang yang lebih muda, para pembesar, dan sebagainya. Tingkah-laku yang terpuji adalah yang bersifat sederhana. Pola hidup sederhana yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia sejalan dengan sifat ideal orang Melayu. Sebagaimana penggalan dalam kitab Adat Raja-raja Melayu:
Syahdan maka lagi adalah yang dikehendaki oleh istiadat orang Melayu itu dan dibilang orang yang majelis yaitu apabila ada ia mengada ia atas sesuatu kelakuan melainkan dengan pertengahan jua adanya. Yakni daripada segala kelakuan dan perbuatan dan pakaian dan perkataan dan makanan dan perjalanannya, sekalian itu tiada dengan berlebih-lebihan dan dengan kekurangan, melainkan sekaliannya itu diadakan dengan keadaan yang sederhana jua adanya. Maka orang itulah yang dibilang anak yang majelis. Tambahan pula dengan adab pandai ia menyimpan dirinya. Maka tambah-tambahlah landib atau sindib adanya, seperti kata hukuman, “Hendaklah kamu hukumkan kerongkongan kamu tatkala dalam majelis makan, dan hukumkan matamu tatkala melihat perempuan, dan tegahkan lidahmu dan pada banyak perkataan yang siasia dan tulikan telingamu dan pada perkataan-perkataan yang keji-keji”. Maka apabila sampailah seseorang kepada segala syarat ini ia itulah orang yang majelis namanya (Sujiman, 1983).
Kesederhanaan memang sudah menjadi sifat dasar orang Melayu sehingga terkadang karena “salah bawa” menjadi sangat berlebihan. Kesederhanaan ini membawa sifat ramah dan toleransi yang tinggi dalam pergaulan. Kesederhanaan ini digambarkan pula dalam pepatah “Mandi di hilir-hilir, berkata di bawah-bawah, “Ibarat padi, kian berisi kian runduk” .
Gotong-royong dan seia sekata sangat dianjurkan. Banyak pepatah dan ungkapan yang menjadi falsafah hidup orang Melayu bertahan sampai sekarang, seperti misalnya:
Berat sama dipikul
Ringan sama dijinjing
Ke bukit sama mendaki
Ke lurah sama menurun
Hati gajah sama dilapah
Hati tungau sama dicecah
Hidup jelang-menjelang
Sakit jenguk-menjenguk
Lapang sama berlegar
Sempit sama berhimpit
Lebih beri-memberi
Kalau berjalan beriringan
Yang dulu jangan menunjang
Yang tengah jangan membelok
Yang di belakang jangan menumit
Yang lupa diingatkan
Yang bengkok diluruskan
Yang tidur dijagakan
Yang salah tegur-menegur
Yang rendah angkat-mengangkat
Yang tinggi junjung-menjunjung
Yang tua memberi wasiat
Yang alim memberi amanat
Yang berani memberi kuat
Yang berkuasa memberi daulat
Kuat lidi karena diikat
Kuat hati karena mufakat
Ungkapan-ungkapan yang menyangkut kebersamaan masih sangat banyak, karena masalah gotong royong dan kerukunan bersama merupakan masalah penting dalam pergaulan orang Melayu. Ungkapan-ungkapan itu antara lain tercermin dalam.
a. Tutur-Kata
Dalam bertutur dan berkata, banyak dijumpai nasihat, karena kata sangat berpengaruh bagi keselarasan pergaulan, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Pengertian “bangsa” yang dimaksud di sini adalah “orang baik-baik” atau orang berderajat yang juga disebut “orang berbangsa”. Orang baik-baik tentu mengeluarkan kata-kata yang baik dan tekanan suaranya akan menimbulkan simpati orang. Orang yang menggunakan kata-kata kasar dan tidak senonoh, dia tentu orang yang “tidak berbangsa” atau derajatnya rendah.
Bahasa selalu dikaitkan dengan budi, oleh karena itu selalu disebut “budi bahasa”. Dengan demikian, ketinggian budi seseorang juga diukur dari kata-katanya, seperti ungkapan:
Hidup sekandang sehalaman
tidak boleh tengking-menengking
tidak boleh tindih-menindih
tidak boleh dendam kesumat
Pantang membuka aib orang
Pantang merobek baju di badan
Pantang menepuk air di dulang
Hilang budi karena bahasa
Habis daulat karena kuasa
Pedas lada hingga ke mulut
Pedas kata menjemput maut
Bisa ular pada taringnya
Bisa lebah pada sengatnya
Bisa manusia pada mulutnya
Bisa racun boleh diobat
Bisa mulut nyawa padannya
Oleh karena kata dan ungkapan memegang peran penting dalam pergaulan, maka selalu diberikan tuntunan tentang kata dan ungkapan agar kerukunan tetap terpelihara. Tinggi rendah budi seseorang diukur dari cara berkata-kata. Seseorang yang mengeluarkan kata-kata yang salah akan menjadi aib baginya, seperti kata pepatah “Biar salah kain asal jangan salah cakap”.
b. Sopan-Santun Berpakaian
Dari pepatah “Biar salah kain asal jangan salah cakap” juga tercermin bahwa salah kain juga merupakan aib. Dalam masyarakat Melayu, kesempurnaan berpakaian menjadi ukuran bagi tinggi rendahnya budaya seseorang. Makin tinggi kebudayaannya, akan semakin sempurna pakaiannya. Selain itu, sopan-santun berpakaian menurut Islam telah menyatu dengan adat.
Orang yang sopan, pakaiannya akan sempurna, tidak bertelanjang dada, dan lututnya tidak terbuka, seperti dinyatakan dalam ungkapan:
Elok sanggam menutup malu
Sanggam dipakai helat jamu
Elok dipakai berpatut-patut
Letak tidak membuka aib
Orang Melayu sejak dahulu sudah mengenal mode, terbukti dengan adanya berbagai jenis pakaian, baik pakaian pria maupun wanita. Demikian pula perhiasan sebagai pelengkap berpakaian. Melayu mengenal penutup kepala bagi lakilaki yang disebut “tengkolok” atau “tanjak” dengan 42 jenis ikatan.
Pakaian daerah atau pakaian tradisonal Melayu bermacam-macam dan cara memakainya pun disesuaikan dengan keperluan. Cara berpakaian untuk ke pasar, ke masjid, bertandang ke rumah orang, atau ke majelis perjamuan dan upacara ada etikanya sendiri-sendiri. Sebagai intermezo, penulis sajikan beberapa ungkapan mengenai pakaian (Effendy, 1985):
Seluar panjang semata kaki
Goyang bergoyang ditiup angin
Kibarnya tidak lebih sejengkal
Pesaknya tidak dalam amat
Elok sanggam menutup malu
Kalau melangkah tidak menyemak
Kalau duduk tidak menyesak
Kaki diberi awan-awanan
Berkelingking berbenang emas
Bayang membayang pucuk rebung
Tabur bertabur tampuk manggis
Elok dipakai dalam majelis
Sanggam dipakai helat jamu
Patut bertempat nikah kawin
Peratama disebut teluk belanga
Tebuk leher bertulang belut
Cengkam dijalin menjari lipan
Buah baju tunggal-tunggalan
Kalau bulat menelur burung
Kalau bertangkai memudung petai
Atau bermata bagai cincin
Labuhnya sampai segenggam tangan
Lebar dapat kipas berkipas
Lapang tidak menyangkut ranting
Kedua kain tenun-tenunan
Bertabuh berkepala emas
Tabur berserak bunga hutan
Kepala pekat berpucuk rebung
Dipakai dalam helat jamu
Dalam mejelis yang patut-patut
Kalau dibuat kain samping
Kepala kain sebelah kanan
Atau membelit kepala belakang
Kalau dipakai labuh-labuhan
Kepala terletak di belakang
Seperti yang telah penulis ungkapkan pada bagian depan, Kerajaan Siak Sri Indrapura telah menetapkan cara berpakaian bagi para pejabat yang bekerja di balai (kantor) dan cara berpakaian rakyat yang datang ke balai dalam Babul Qawa‘id. Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pergaulan orang Melayu di Riau, kesopanan berpakaian tidak boleh diabaikan.
c. Adab dalam Pergaulan
Kerangka acuan adab dan sopan-santun dalam pergaulan adalah norma Islam yang sudah melembaga menjadi adat. Di dalamnya terdapat berbagai pantangan, larangan, dan hal-hal yang dianggap “sumbang”. Pelanggaran dalam hal ini menimbulkan aib besar dan si pelanggar dianggap tidak beradab.
Terdapat beberapa sumbang, yaitu sumbang dipandang mata, sumbang sikap, dan sumbang kata yang pada umumnya disebut “tidak baik”. Karakter anggota masyarakat dibentuk oleh norma-norma ini. Dengan demikian tercipta pola sikap dalam pergaulan, seperti sikap terhadap orang tua, terhadap ibu bapak, terhadap penguasa atau pejabat, terhadap orang sebaya, terhadap orang yang lebih muda, antara pria dan wanita, bertamu ke rumah orang, dalam upacara, dan sebagainya. Banyak ungkapan yang kita jumpai di dalam masyarakat Melayu yang digunakan sebagai tuntunan, di antaranya sebagai berikut (Effendy, 1985):
Guru kencing berdiri
Murid kencing berlari
Kalau menyengat kupiah imam
Akan melintang kupiah makmum
Berseloroh sama sebaya
Berunding sama setara
Bergelut di halaman
Berunding di rumah
Berbuat baik berpada-pada
Berbuat jahat jangan sekali
Yang patut dipatutkan
Yang tua dituakan
Yang berbangsa dibangsakan
Yang berbahasa dibahasakan
Kalau lepas ke halaman orang
Berkata dulu agak sepatah
Memberi tahu orang di rumah
Entah orang salah duduk
Entah orang salah tegak
Entah orang salah kain
Kalau betina turun di tangga
Surut selangkah kita dahulu
Jangan bersinggung turun naik
Kalau haus di kampung orang
Haus boleh minta air
Lapar boleh minta nasi
Tapi terbatas hingga di pintu
Sebelah kaki berjuntai
Sebelah boleh di atas bendul
Di mana bumi dipijak
Di situ langit dijunjung
Di mana air disauk
Di situ ranting dipatah
Karena begitu banyaknya ungkapan, maka tidak mungkin jika semuanya dikemukakan di sini. Yang jelas, dalam masyarakat Melayu Riau etika pergaulan sangat dipentingkan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan