Hukum alam menghendaki
bahwa sebuah pemancar, betapapun besar daya pancarnya, memiliki
jarak jangkau yang terbatas. RCTI misalnya, meskipun daya pancarnya
sudah cukup besar (60 ribu watt) tetapi di kota Merak yang jaraknya
hanya sekitar seratus kilometer dari Jakarta, siaran RCTI sudah
sulit diterima dengan jelas. Kalau begitu bagaimana mungkin seseorang
yang berada di Irian yang jaraknya lebih dari seribu kilometer dari
Jakarta mampu menangkap siaran RCTI? Kenyataannya, banyak masyarakat
di Irian yang bisa menerima siaran RCTI dengan baik. Lalu bagaimana
caranya?
Caranya ialah
dengan menggunakan Stasiun Relay. Setiap stasiun TV swasta nasional
memiliki perangkat Up-Link yang berfungsi untuk memancarkan siarannya
ke arah satelit. Kemudian oleh satelit siaran itu dipancarkan balik
ke bumi dengan wilayah cakupan (foot print) yang sangat luas. Sinyal
yang dipancarkan oleh satelit ini kemudian dengan mudah bisa ditangkap
dengan menggunakan peralatan yang disebut TVRO (Television Receive
Only).
Satu set TVRO
terdiri dari: Antena Parabola, LNB, dan Satellite Receiver. Berhubung
bagian yang paling menonjol adalah antena parabolanya, maka orang
awam sering menyebut TVRO dengan sebutan Parabola saja. Pertanyaannya
kemudian adalah: mengapa untuk menerima siaran TV itu harus menggunakan
Parabola? Ya, karena sinyal dari satelit yang sampai di bumi sangatlah
lemah, sehingga perlu antena yang besar untuk menangkapnya. Antena
yang besar ini kemudian didesain sedemikian rupa sehingga sinyal
yang ditangkap dapat dikumpulkan ke satu titik yang disebut dengan
titik api. Di titik api inilah kemudian sinyal yang masih lemah
ini diperkuat lagi menggunakan sebuah amplifier.
Amplifier yang
digunakan noisenya harus sangat rendah. Amplifier yang seperti ini
disebut Low Noise Amplifier (LNA). Tapi mengapa harus low noise?
Karena setiap amplifier disusun dari rangkaian penguat yang bertingkat-tingkat.
Di setiap tingkat akan selalu muncul noise yang berasal dari dalam
penguat itu sendiri. Noise yang muncul di tingkat pertama pasti
akan diperkuat oleh penguat tingkat kedua, ketiga dan seterusnya.
Jadi makin besar noise yang dihasilkan dari dalam penguat itu sendiri
akan menjadi besar pula di tingkat paling akhir. Oleh karena itu
noise yang muncul haruslah sangat rendah. Jika tidak, yang diperkuat
bukannya sinyal input, tetapi malah noise itu sendiri. Jadi dengan
amplifier yang low noise sinyal input bisa diperkuat dengan sedikit
sekali tambahan noise. Kini sudah banyak LNA dengan noise yang sangat
rendah (20 derajad Kelvin) sementara faktor penguatannya sangat
besar (60 dB). Gain yang besar dan noise yang rendah merupakan syarat
ideal untuk sebuah LNA.
Setalah sinyal
dari satelit yang lemah tadi diperkuat oleh LNA, maka sinyal menjadi
cukup kuat untuk di geser frekuensinya. Ssinyal dari satelit yang
semula frekuensinya 3,7 - 4,2 GHz (C-band) digesar frekuensinya
menjadi 950 - 1.450 kHz (L-band) dengan menggunakan osilator lokal
5.15 GHz. Penggesaran
frekuensi dari
C-band ke L-band ini dilakukan di dalam blok LNA, sehingga rangkaian
LNA berikut rangkaian penggeseran frekuensi ini kemudian disebut
dengan Low Noise Blok Amplifier (disingkat menjadi LNB). Pengeseran
frekuensi dari C-band ke L-band dimaksudkan agar sinyal tersebut
dapat disalurkan melalui kabel coaxial yang lebih panjang. Melalui
kabel coaxial inilah sinyal tersebut kemudian dihubungkan ke pesawat
penerima satelit atau IRD (Integrated Receiver Decoder). Penerima
satelit umumnya diletakkan di dalam ruang (indoor) sedangkan LNB
diletakkan di luar ruang (outdoor). Itulah sebabnya diperlukan kabel
coaxial yang cukup panjunga untuk menghubungkan keduanya. Di dalam
pesawat penerima, sinyal diperkuat lagi, digeser frekuensinya lagi
dan di-demodulasi sehingga akhirnya menghasilkan sinyal audio dan
video. Sinyal audio-video inilah yang kemudian di masukkan ke input
pemancar dan selanjutnya dipancarkan agar bisa diterima oleh pesawat
penerima televisi biasa. Itulah secara garis besar cara kerja dari
sebuah Stasiun Relay TV.
Gambar (1): Diagram
stasiun relay TV melalui satelit
Jangkauan Pemancar
TV tidak seluas jangkauan satelit. Pemancar TV rata-rata hanya bisa
menjangkau wilayah dalam radius sekitar 100 km, sedangkan satelit
bisa menjangkau wilayah ribuan kilometer persegi. Satelit Palapa-D
misalnya, bisa menjangkau seluruh Indonesia dan bahkan negara-negara
tetangga seperti: Malaysia, Singapura, Brunei, Philipina, Thailand,
Papua Nugini dan sebagian wilayah Australia.
Itulah sebabnya TV nasional yang siaranya juga di up-link ke satelit
bisa diterima di negara-negara tersebut dengan menggunakan TVRO.
Bila materi
siaran memiliki hak cipta, misalnya film-film Hollywood, sedangkan
hak siar yang dimiliki oleh stasiun TV hanya untuk wilayah Indonesia
saja, maka materi siaran itu tidak boleh disiarkan ke negara-negara
tetangga. Padahal pancaran sinyal dari satelit sudah pasti akan
menjangkau negara-negara tetangga itu. Itulah sebabnya khusus untuk
materi siaran yang memiliki hak cipta seperti itu, sinyal up link
sengaja diacak (scrambled). Akibatnya siaran tersebut tidak bisa
diterima oleh TVRO biasa. Hanya pesawat penerima (IRD) yang dilengkapi
dengan fasilitas anti acak (de-scrambling) saja yang bisa menerimanya.
Dengan kata lain hanya stasiun relay TV saja yang bisa menerima
siaran itu, karena IRD-nya sudah dilengkapi dengan kartu de-scrambling.
Stasiun relay kemudian akan memancarkan materi siaran itu ke wilayah
jangkauannya. Jadi wilayah-wilayah yang berada di luar jangkauannya
tidak akan bisa menerima materi siaran itu meskipun sudah memiliki
parabola (TVRO). Demikian juga di negara-negara tetangga. Walaupun
sudah memiliki parabola (TVRO) tetapi negara-negara tetangga tetap
tidak bisa menerima siaran itu karena sinyalnya di acak.
saya rasa lebih baik anda jual parabola secara internet
BalasPadam