Anak
merupakan salah satu anugerah terbesar yang dikaruniakan Allah SWT
kepada seluruh umat manusia. Kehadiran seorang anak dalam sebuah rumah
tangga akan menjadi generasi penerus keturunan dari orang tuanya.
Rasulullah SAW dalam sebuah riwayat
pernah berkata, ''Sesungguhnya, setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini
dalam keadaan suci (fithrah, Islam). Dan, karena kedua orang tuanyalah, anak itu akan menjadi seorang yang beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.''
Penjelasan
ini menegaskan bahwa sesungguhnya setiap anak yang dilahirkan itu
laksana sebuah kertas putih yang polos dan bersih. Ia tidak mempunyai
dosa dan kesalahan serta keburukan yang membuat kertas itu menjadi
hitam. Namun, karena cara mendidik orang tuanya, karakter anak bisa
berwarni-warni: berperangai buruk, tidak taat kepada kedua orang tuanya,
dan tidak mau berbakti kepada Allah SWT.
Dalam Alquran atau hadis Nabi Muhammad SAW, telah diterangkan tentang
tata cara mendidik anak. Di antaranya adalah harus taat dan patuh kepada
kedua orang tuanya, tidak menyekutukan Allah, tidak membantah
perintah-Nya, tidak berbohong, dan sebagainya. [Lihat QS 9:23, 17:23,
17:24, 29:8, 31:15, 37:102, 2:83, 4:36, 6:151, 12:99, 12:100, 17:23,
17:24, 19:14, 19:32, 29:8, 31:14, 46:15].
Apabila telah dewasa, seorang anak berkewajiban untuk memberi nafkah
kepada kedua orang tuanya [2:215, 30:38], anak juga berkewajiban
memberikan nasihat kepada orang tua [QS 19:42, 19:43, 19:44, 19:45],
mendoakannya [QS 14:41, 17:23, 17:24, 19:47, 26:86, 31:14, 71:28], serta
memelihara dan merawatnya ketika mereka sudah tua [QS 17:23, 17:24,
29:8, 31:14, 31:15, 46:15].
Pendidikan Anak
Berkenaan dengan cara mendidik anak ini, Abdullah Nashih Ulwan
merumuskan tata cara mendidik anak dengan baik dan benar. Sesuai dengan
tuntunan Alquran dan sunah Rasulullah SAW. Secara lengkap, ia
menuliskannya dalam sebuah kitab yang berjudulTarbiyah al-Awlad fi al-Islam(Pendidikan Anak Menurut Islam).
Secara umum, isi kitab ini sangat mendasar, padat, komprehensif, dan
lengkap dengan petunjuk praktis dalam mendidik dan membimbing seorang
anak agar menjadi anak yang saleh.
Secara lebih khusus lagi, setidaknya ada dua persoalan inti dari karya
Abdullah Nashih Ulwan ini. Pertama, visinya tentang makna pendidikan.
Menurut Ulwan, pendidikan bukan sekadar perlakuan tertentu yang
diberikan kepada anak untuk mencapai sebuah tujuan.
Kedua,
visi tentang pendidikan anak. Dalam pandangan Ulwan, setiap anak
memiliki kehidupan sosial, biologis, intelektual, psikis, dan seks.
Dalam kehidupan sosial, setiap anak pasti terlibat dengan berbagai
pihak, seperti orang tua, guru, tema, tetangga, dan orang dewasa. Dan,
anak tidak dengan sendirinya dapat berhubungan dengan berbagai pihak itu
sesuai atau selaras dengan tuntunan Alquran dan sunah (Islam). Karena
itulah, kata Ulwan, setiap anak memerlukan bimbingan dan nasihat agar
mereka bisa berjalan dengan lurus.
Pernikahan
Dari
kedua visi yang dimaksudkan Ulwan, terutama pada visi pertama mengenai
pendidikan, ia memulainya dengan bab pernikahan. Tentu, ada pertanyaan
besar, mengapa masalah pernikahan ditempatkan pada urutan pertama
mengenai pendidikan anak dalam kitab ini?
Bagi Ulwan, pernikahan adalah awal mula terjadinya hubungan dan
interaksi antara seorang suami dan istri dalam melanjutkan garis
keturunan. Ulwan tidak membatasi pernikahan itu pada hubungan ragawi
antara seorang pria dan wanita belaka. Ia lebih menyingkap makna
pernikahan dalam rangka keberadaan atau eksistensi manusia, menyangkut
kemaslahatan hidup pasangan suami istri.
Kemaslahatan
hidup yang damai, indah, tenteram, dan bahagia baru bisa diwujudkan
dari sebuah pernikahan. Sebab, dari pernikahan akan terjadi peningkatan
tanggung jawab, baik sebagai seorang suami dan istri maupun sebagai
pasangan ayah dan ibu (orang tua). Karena itulah, jelas Ulwan, sebelum
menikah, seorang suami atau istri harus mencari pasangan yang berasal
dari keluarga yang baik, taat beragama, kaya, dan gagah (tampan,
cantik). Tujuannya agar dapat terwujud keluarga yangsakinah, mawaddah, wa rahmah.
Sebuah pernikahan sangat berkaitan erat
dengan keturunan (anak). Anak merupakan pelanjut (penerus) eksistensi
sebuah keluarga. Karena itu, Islam mengajarkan pula agar sebelum menikah
hendaknya dapat diketahui keluarga pasangan mempunyai keturunan yang
banyak (mudah melahirkan, tidak mandul).
Abdullah
Nashih Ulwan menempatkan pernikahan sebagai prasyarat untuk
menyelenggarakan pendidikan anak secara Islami. Prasyarat lainnya adalah
kasih sayang yang harus tercermin pada seluruh perilaku orang tua dalam
berhubungan dengan anak yang sekaligus dipersepsikan oleh anak sebagai ungkapan kasih sayang dari orang tuanya.
Sejak dini
Ulwan menambahkan, prasyarat pendidikan harus dimulai sejak dini.
Ketika anak masih berada dalam kandungan, seorang ibu harus rajin
mengajarkan akhlak yang positif. Selanjutnya, ketika anak telah
dilahirkan ke dunia, langkah awal adalah dengan dilantunkannya kalimat
tauhid (azan pada telinga kanan dan iqamat di telinga kiri). Kemudian,
orang tua berkewajiban untuk memberikan nama yang baik pada anak,
melakukan akikah (pemotongan hewan dan rambut anak), mengkhitankannya,
dan menyekolahkannya.
Hal
tersebut, kata pengarang kitab ini, merupakan manifestasi dari
kepedulian orang tua terhadap anak dalam mendidiknya, yang dimulai sejak
dari kandungan, saat kelahiran, hingga ia mulai beranjak dewasa. Dan,
pendidikan pada anak ini harus dilakukan secara simultan dan
berkesinambungan, tanpa henti.
Belajar dari Kehidupan
Menurut
Abdullah Nashih Ulwan, ketika seorang anak telah lahir, mulai saat
itulah pendidikan pada anak diberikan secara lebih intensif. Sebab,
pendidikan yang kurang dari kedua orang tuanya dapat membuat anak
terpengaruh dengan lingkungannya.
Mengutip kata-kata Dorothy Law Nolte, setiap anak akan belajar dari
kehidupannya. Berikut pandangan Dorothy Law Nolte bila anak dibesarkan
dengan berbagai sikap dari kehidupan.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Mengembangkan Kepribadian dan Jiwa Sosial Anak
Sebagaimana
dikatakan Dorothy Law Notle, seorang anak akan senantiasa belajar dari
kehidupannya. Bila kehidupannya mengajarkan sesuatu yang baik, anak pun
akan turut menjadi baik. Sebaliknya, bila lingkungan dan kehidupannya
mengajarkan anak perbuatan buruk, sikap dan tindakan kesehariannya pun
akan buruk pula.
Dalam kitabTarbiyah al-Awlad fi Al-Islamkarya Abdullah Nashih
Ulwan, pendidikan anak khususnya tentang kepribadian dan jiwa sosial
anak sangat penting. Sebab, dari kepribadian dan jiwa sosialnya akan
terbentuk karakter anak tersebut.
Dalam
visinya tentang pendidikan anak, Ulwan membagi cara pendidikan anak
dalam beberapa hal. Di antaranya adalah kehidupan biologis, intelektual,
psikis, sosial, dan seks. Dalam kehidupan biologis, orang tua
berkewajiban memerhatikan kesehatan mental dan jiwa anak. Anak berhak
mendapatkan makanan, minuman, tempat tidur, pakaian, olahraga, dan
kesegaran jasmani dari kedua orang tuanya.
Sementara itu, dalam kehidupan intelektual, orang tua berkewajiban
memasukkan anak pada lembaga pendidikan (sekolah) yang sesuai dengan
kemampuan anak. Anak memiliki akal sehat untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan (ilmu). Potensi ini memberikan dorongan kepada anak untuk
mengembangkan diri dan kepribadiannya.
Dari sisi kehidupan psikis, Ulwan menyoroti sifat negatif dan positif
yang sering dijumpai pada anak. Sifat negatif di antaranya malu tidak
pada tempatnya, takut, rendah diri, marah, hasut, iri hati, dan lain
sebagainya.Sifat negatif ini akan diimbangi oleh sifat positif, seperti rasa cinta dan kasih sayang serta keadilan.
Kehidupan sosial
Dalam
kehidupan sosial, Ulwan memandang bahwa setiap anak akan terlibat dalam
kehidupan pihak lain (orang tua, teman, guru, tetangga, dan
masyarakat). Dan, ia sangat bergantung pada kehidupannya itu.
Dalam pandangan Ulwan, segi kehidupan sosial anak itu meliputi semangat
persaudaraan, kasih sayang, toleransi, pemaaf, berpegang pada keyakinan
(kebenaran), dan tanggung jawab.
Kemudian, dalam pergaulan sehari-hari, anak akan belajar kaidah
kehidupan, seperti etika makan, minum, tidur, belajar, hormat pada orang
tua, teman, tetangga, orang yang lebih dewasa, dan lainnya.
Yang tak kalah pentingnya dari kehidupan sosial ini adalah pendidikan
seks. Menurut Ulwan, yang dimaksud pendidikan seks adalah masalah
mengajarkan, memberi pengertian, dan menjelaskan masalah-masalah yang
menyangkut kehidupan seks, naluri, dan perkawinan pada anak sejak
akalnya tumbuh dan siap memahami hal-hal di atas. Hal itu diajarkan
sesuai dengan tuntunan Alquran atau sunah Rasulullah SAW.
Dalam
pandangan Ulwan, ada beberapa cara dalam mengajarkan pendidikan seks
pada anak. Ia membagi cara pengajaran pendidikan seks pada anak dalam
beberapa tingkatan.
(1) Untuk anak berusia 7-10 tahun, anak
diajari tentang sopan santun dan meminta izin masuk rumah orang lain
dan santun cara memandang.
(2) Pada usia 10-11 tahun, ketika anak
memasuki masa pubertas, anak harus dijauhkan dari hal-hal yang dapat
membangkitkan hawa nafsu dan birahinya.
(3) Pada usia 14-16 tahun, yang disebut
dengan usia remaja, anak harus diajari etika bergaul dengan lawan jenis
bila ia sudah matang untuk menempuh perkawinan.
(4) Setelah melewati masa remaja, yang
disebut dengan masa pemuda, anak harus diajari etika menahan diri bila
ia tidak mampu kawin. Rasulullah SAW mengajarkan berpuasa.
(5) Pada usia yang sudah cukup, segeralah menikahkan anak.
Bolehkah
mengajarkan pendidikan seks pada anak sejak usia dini? Pertanyaan ini
kerap diajukan masyarakat mengenai pendidikan seks pada anak. Mereka
khawatir bila pendidikan seks diajarkan sejak dini, setiap anak akan
mencoba melakukannya. Apalagi, tidak setiap saat anak berada dalam
pengawasan.
Menurut Ulwan, boleh saja mengajarkan pendidikan seks pada anak sejak
usia dini. Namun, harus dengan cara yang benar dan hati-hati.
Menurutnya, ada pendidikan seks yang boleh diajarkan sejak dini dan ada
yang tidak perlu disampaikan.Karena itu, jelas Ulwan, dibutuhkan kehati-hatian orang tua dalam mengajarkan pendidikan seks.