Apakah orang yang bunuh diri jenazahnya juga harus dishalatkan dan dikirimkan doa?
Dari: Nofri
Jawapan:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Bunuh diri termasuk dosa yang sangat besar, karena pelakunya diancam oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk disiksa di neraka dengan cara sebagaimana dia membunuh jiwanya. Padahal orang yang melakukan bunuh diri sampai mati, tidak ada lagi kesempatan bertaubat baginya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Meskipun demikian, pelaku bunuh diri tidaklah dihukumi keluar dari islam. Artinya, meskipun dia mati suul khotimah, namun dia tetap muslim, sehingga jenazahnya tetap wajib disikapi sebagaimana layaknya jenazah seorang muslim. Dia wajib dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.
Hanya saja, ada satu yang membedakan, dianjurkan bagi pemuka agama dan masyarkat, seperti ulama setempat atau pemerintah desa setempat, agar tidak turut menshalati jenazah ini secara terang-terangan, sebagai hukuman sosial dan pelajaran berharga bagi masyarakat.
Diantara dalil yang menunjukkan hal ini,
Dari Jabir bin Samurah radhiallahu ’anhu, beliau menceritakan,
An-Nawawi mengatakan,
Syaikhul Islam mengatakan,
Maksud beliau dengan “dia tidak mau menshalati jenazah orang fasik secara terang-terangan” adalah dalam rangka mengingatkan masyarakat terhadap bahaya perbuatan tersebut dan “tetap mendoakan secara diam-diam”, dalam rangka menunaikan hak sesama muslim.
Dari: Nofri
Jawapan:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Bunuh diri termasuk dosa yang sangat besar, karena pelakunya diancam oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk disiksa di neraka dengan cara sebagaimana dia membunuh jiwanya. Padahal orang yang melakukan bunuh diri sampai mati, tidak ada lagi kesempatan bertaubat baginya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ في
نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيها أَبَدًا،
وَمَنْ تَحَسَّى سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ في يَدِهِ
يَتَحَسَّاهُ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فيها أَبَدًا، وَمَنْ
قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَديدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ في يَدِهِ يَجَأُ بِها في
بَطْنِهِ في نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيها أَبَدًا
“Siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung hingga mati maka di
neraka jahanam dia akan menjatuhkan dirinya, kekal di dalamnya
selamanya. Siapa yang menegak racun sampai mati, maka racun itu akan
diberikan di tangannya, kemudian dia minum di neraka jahanam, kekal di
dalamnya selamanya. Siapa yang membunuh dirinya dengan senjata tajam
maka senjata itu akan diberikan di tangannya kemudian dia tusuk perutnya
di neraka jahanam, kekal selamanya.” (HR. Bukhari 5778 dan Muslim 109)Meskipun demikian, pelaku bunuh diri tidaklah dihukumi keluar dari islam. Artinya, meskipun dia mati suul khotimah, namun dia tetap muslim, sehingga jenazahnya tetap wajib disikapi sebagaimana layaknya jenazah seorang muslim. Dia wajib dimandikan, dikafani, dishalati, dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin.
Hanya saja, ada satu yang membedakan, dianjurkan bagi pemuka agama dan masyarkat, seperti ulama setempat atau pemerintah desa setempat, agar tidak turut menshalati jenazah ini secara terang-terangan, sebagai hukuman sosial dan pelajaran berharga bagi masyarakat.
Diantara dalil yang menunjukkan hal ini,
Dari Jabir bin Samurah radhiallahu ’anhu, beliau menceritakan,
أُتِي النبي صلى الله عليه وسلم برجل قتل نفسه بمشاقص فلم يصل عليه
Pernah dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang jenazah korban bunuh diri dengan anak panah, dan beliau tidak bersedia menshalatinya. (HR. Muslim 978).An-Nawawi mengatakan,
عن مالك وغيره أن الإمام يجتنب الصلاة على مقتول في حد وأن
أهل الفضل لا يصلون على الفساق زجرا لهم وعن الزهري لا يصلى على مرجوم
ويصلى على المقتول في قصاص
Imam Malik dan yang lainnya berpendapat bahwa hendaknya pemuka
masyarakat tidak menshalati orang yang mati karena dihukum, dan para
pemuka agama tidak menshalati orang fasik, sebagai peringatan bagi
msyarakat. Sementara Az-Zuhri berpendapat, pemuka masyarakat tidak
menshalati orang yang mati dirajam, namun menshalati orang yang mati
sebagai qishas. (Syarh Shahih Muslim, 7/47 – 48)Syaikhul Islam mengatakan,
ومن امتنع من الصلاة على أحدهم – أي : الغال والقاتل
والمدين – زجراً لأمثاله عن مثل فعله كان حسناً ، ولو امتنع في الظاهر ودعا
له في الباطن ليجمع بين المصلحتين : كان أولى من تفويت إحداهما
Orang yang tidak mau menshalati jenazah yang mati karena korupsi,
qishas, dan punya utang, sebagai bentuk peringatan bagi yang lain agar
tidak melakukan semacam itu, termasuk sikap yang baik. Dan andaikan dia
tidak mau menshalati secara terang-terangan, namun tetap mendoakan
secara diam-diam, sehingga bisa menggabungkan dua sikap paling maslahat,
tentu itu pilihan terbaik dari pada meninggalkan salah satu. (al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah, hlm. 78)Maksud beliau dengan “dia tidak mau menshalati jenazah orang fasik secara terang-terangan” adalah dalam rangka mengingatkan masyarakat terhadap bahaya perbuatan tersebut dan “tetap mendoakan secara diam-diam”, dalam rangka menunaikan hak sesama muslim.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan