[Al-Islam 494] Saat ini, RUU HMPA
Bidang Perkawinan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Tahun 2010 di DPR. Kemunculan RUU ini telah mengundang
pro-kontra. Pasalnya, dalam RUU tersebut nyata-nyata terkandung klausul
pemidanaan (kriminalisasi) bagi pelaku nikah siri, poligami dan nikah
kontrak; mereka bisa diancam hukuman penjara maksimal 3 bulan dan denda 5
juta rupiah. Mereka yang pro (setuju), misalnya, adalah Ketua Mahkamah
Konsitusi (MK) Mahfud MD. Alasannya, ia meyakini pernikahan bawah tangan
(nikah siri) dan kawin kontrak merugikan pihak perempuan. (Jambi-independent.co.id, 15/2/10).
Sebelumnya, Ketua MUI KH Ma’ruf Amin menyatakan,
"Nikah di bawah tangan kalau memenuhi syarat rukunnya itu sudah sah.
Tetapi bisa juga haram," kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin. Menurut KH
Ma’ruf, label haram akan berlaku bila ada korban yang ditimbulkan akibat
dilakukannya nikah siri. "Biasanya, korban itu adalah anak atau istri
yang haknya tidak terlindungi. Mereka menjadi tidak memiliki hak waris
dan sebagainya," ujar dia (Vivanews, 16/2/10).
Sebaliknya, menurut Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI
Asrorun Niam, hukuman yang pantas bagi pelaku pernikahan siri cukup
dengan sanksi administratif, bukan pidana (Voa-islam.com, 15/2/10).
Mendudukkan Persoalan
Dalam kasus nikah kontrak (muth’ah), pemidanaan atas pelakunya tentu wajar belaka. Sebab, dalam pandangan syariah Islam nikah kontrak (nikah muth’ah) haram. Keharaman nikah muth’ah ini telah disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama.
Sebaliknya, pemidanaan atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) tentu bermasalah. Pertama:
Selama ini nikah siri (nikah di bawah tangan) yang dipahami masyarakat
adalah pernikahan yang absah secara agama tetapi tidak tercatat di
lembaga pencatat pernikahan (KUA). Jika memenuhi syarat dan rukunnya
secara syar’i, nikah siri model ini jelas tetap sah. Demikian pula dengan poligami yang telah memenuhi syarat-syarat sah secara syar’i.
Karena itu, pemidanaan atas pelaku nikah siri (termasuk poligami)
bertentangan dengan hukum syariah. Lain halnya jika kedua model praktik
pernikahan itu tidak memenuhi standar syar’i.
Kedua: Pemberlakuan hukum pidana atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) yang absah secara syar’i
juga akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Pasalnya, selama ini
sebagian masyarakat telah mempraktikan kedua bentuk pernikahan tersebut
selama puluhan tahun. Mereka melakukannya paling tidak karena salah satu
dari empat alasan berikut: (1) alasan agama (misal: takut terjerumus ke
dalam perzinaan, sementara untuk meresmikan pernikahan lewat KUA tidak
mudah); (2) alasan administrasi (misal: mahalnya biaya nikah lewat KUA;
sulitnya prosedur untuk poligami secara resmi [bahkan untuk PNS ada PP
No. 45/1990 yang nyata-nyata mencegah mereka untuk memiliki istri lebih
dari satu]); (3) alasan ekonomi (misal: banyak wanita mau dipoligami
asal dipenuhi nafkahnya dan tidak dicerai); (4) alasan tradisi (misal:
banyak tokoh agama [ulama/kiai/ustad], khususnya di pesantren-pesantren,
yang memiliki istri lebih dari satu; selain karena memang halal secara syar’i,
ada kebanggaan tersendiri bagi orangtua yang memiliki anak gadis jika
putrinya itu dipersunting oleh sang tokoh karena jaminan keilmuan dan
keshalihannya, selain karena status sosialnya di masyarakat).
Ketiga: Pemidanaan atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) yang absah secara syar’i
patut dipertanyakan motifnya. Pasalnya, jika alasannya karena praktik
nikah siri dan poligami selama ini banyak merugikan pihak perempuan,
terutama menyangkut hak-haknya di depan hukum/pengadilan (misal: sulit
menuntut hak nafkah jika terjadi masalah dalam rumah tangganya, apalagi
sampai terjadi perceraian; susah mendapat hak waris jika suami
meninggal; sukar mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anaknya; dll),
maka yang perlu dipecahkan adalah bagaimana mengatasi
kesulitan-kesulitan tersebut sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Caranya dengan mengubah UU atau aturan yang ada yang selama ini
mempersulit diperolehnya hak-hak tersebut. Misal: PP No. 45/1990 bagi
PNS seharusnya dicabut. Dengan itu, saat mereka ada keinginan kuat
menikah lagi, mereka bisa melakukannya secara resmi melalui lembaga
Pemerintah (KUA). Dengan itu pula, mereka dengan mudah bisa mendapat
akta nikah, yang selama ini dijadikan syarat untuk mendapatkan akta
kelahiran bagi anak-anaknya.
Keempat: Pemidanaan atas pelaku nikah siri
(maupun poligami) juga tidak proporsional, terutama jika dibandingkan
dengan bencana seks bebas, baik melalui praktik zina secara
terang-terangan maupun "zina siri" (diam-diam). Jelas, segala bentuk
perzinaan ini telah berdampak pada problem-problem sosial pelik lainnya
seperti kehamilan tak diinginkan, aborsi, penyakit menular seksual,
epidemi HIV/AIDS, sampai degradasi moral remaja. Bahkan "zina siri"
telah melanda para remaja. Menurut hasil survei Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), misalnya, yang mengambil sampel di
33 provinsi pada tahun 2008, diperoleh fakta bahwa 63 persen remaja usia
sekolah SMP dan SMU mengaku pernah melakukan hubungan seks, dan 21
persen di antaranya pernah melakukan aborsi. Itu baru yang terungkap.
Bandingkan dengan nikah siri (yang absah menurut
agama tetapi tidak tercatat di KUA), dimana laki-laki dan wanita diikat
dalam sebuah ikatan luhur dan terhormat, demi mengarungi bahtera
keluarga sakinah mawadah wa rahmah. Bandingkanlah, mana yang
semestinya patut mendapat perhatian dan penanganan yang lebih serius?
Mana di antara keduanya yang berbahaya? Mana di antara keduanya yang
menyebarkan penyakit biologis dan penyakit sosiologis di tengah
masyarakat? Jika para pelaku nikah siri (termasuk poligami) diancam
dengan hukuman penjara, mengapa para pelaku zina terang-terangan maupun
"zina siri" malah dibiarkan?
Akar Persoalan
Harus diakui, sistem kehidupan yang diterapkan di
negeri ini telah sukses "memaksa" sebagian orang terjerumus ke dalam
kubangan perzinaan. Sistem tersebut tidak lain berisi sekumpulan aturan
dan undang-undang yang mendukung sekularisme, liberalisme dan
Kapitalisme di berbagai aspek kehidupan. Lihatlah bagaimana sistem yang
bekerja saat ini menghasilkan generasi para pezina, bahkan dalam usia
yang sangat dini, melalui beberapa hal berikut:
1.Pendidikan sekular yang mendepak agama.
Pendidikan sekular ini nyata-nyata menjadikan para remaja kita dibuat
tidak matang secara intelektual, emosional apalagi spiritual. Akhirnya,
mereka mudah terombang-ambing dan terjerumus ke dalam lembah maksiat,
termasuk perzinaan.
2.Kemudahan mengakses sarana pornografi dan pornoaksi. Semua itu disediakan oleh raksasa industri yang menjadikan aurat dan syahwat sebagai core-business
(bisnis inti) mereka dan dilegalkan Pemerintah. Para remaja
terus-menerus dibombardir oleh berbagai sarana pornografi dan pornoaksi
tersebut. Akibatnya, di tengah tidak adanya pegangan hidup yang kuat,
hasrat seksual mereka pun tak terbendung. Saat sebagian dari mereka itu
masih percaya dengan ikatan luhur pernikahan dan berniat untuk segera
menikahi pasangan mereka, ironisnya pintu pernikahan dini pun ditutup
rapat-rapat. Yang melanggar bisa dipidanakan. Akhirnya, mereka pun
mencari jalan pintas dan aman: berzina.
3.Sanksi hukum yang longgar. Hingga hari ini,
dalam KUHP kita tidak ada satu pasal pun yang mengatur pemidanaan atas
pelaku zina, selama dilakukan atas dasar suka sama suka! (Padahal mana
ada orang berzina dipaksa?). Intinya, zina tak lagi dianggap kriminal.
Akibatnya, orang tak akan pernah merasa takut untuk melakukannya.
Sungguh, maraknya kasus "zina siri" maupun zina
terang-terangan yang merusak ini lebih patut mendapatkan perhatian
Pemerintah ketimbang gejala nikah siri ataupun poligami yang hanya secuil itu.
Liberalisasi Keluarga
Saat poligami dihambat, nikah siri pun dipidanakan,
sementara hasrat untuk menikah lagi tak terbendung, yang terjadi adalah
kemungkinan banyaknya para lelaki mencari jalan pintas dan aman. Apalagi
kalau bukan berzina. Sebab, hingga saat ini memang tidak ada sanksi
bagi para pezina!
Belum diberlakukannya UU HMPA yang bisa mempidanakan pelaku nikah siri saja, saat ini perzinaan demikian marak. Bagaimana
jika saat sudah diberlakukan. Apalagi menurut Ustadzah Najmah Saidah
dari DPP MHTI, keluarnya RUU HMPA bukan tanpa sebab. Di dalamnya
terdapat ruh dan nuansa liberalisasi, yaitu CLDKHI. ”Ini merupakan upaya
terselubung liberalisasi keluarga. Ini merupakan bagian dari penjajahan
global oleh musuh-musuh Islam (AS) yang menginginkan hancurnya tatanan
kehidupan keluarga Muslim,” ujar Ibu Najmah (Hizbut-tahrir.or.id, 6/4/09).
Skenario global ini secara sistematis dan struktural
masuk melalui lembaga internasional (PBB) yang menekan negeri-negeri
Muslim jajahan untuk meratifikasi konvensi-konvensi yang sarat agenda
liberal seperti CEDAW dll. Selanjutnya negara menekan masyarakat dengan
berbagai UU liberal.
Wahai kaum Muslim:
Ketahuilah, negeri ini tak pernah berhenti menjadi
sasaran liberalisasi di berbagai bidang; baik liberalilasi agama dan
pemikiran, liberalisasi ekonomi, liberalisasi politik, liberalisasi
hukum Islam maupun liberalisasi sosial dan budaya. Selain itu, kini
upaya liberalisasi keluarga—yang notabene menjadi ‘benteng terakhir’
pertahanan kaum Muslim—juga terus digencarkan. Salah satu pintu masuknya
adalah melalui RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) Bidang
Perkawinan.
Semua upaya liberalisasi ini tidak lain merupakan
bagian dari skenario kafir penjajah Barat melalui agen-agennya di negeri
ini untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslim. Karena itu, hendaklah
kita selalu meyakini firman Allah SWT:
]وَلا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا[Mereka (kaum kafir) tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka dapat mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekafiran) seandainya mereka sanggup (QS al-Baqarah [2]: 217).
Allah SWT juga berfirman:
]وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ[Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu hingga kamu mengikuti agama (jalan hidup) mereka (QS al-Baqarah [2]: 120).
Selain itu, kita pun harus menyadari bahwa arus
liberalisasi masuk secara struktural dan kultural. Karena itu, upaya
membendungnya pun harus dilakukan secara struktural dan kultural. Di
sinilah pentingnya kita untuk terus berupaya menyadarkan umat sekaligus
berjuang menegakkan institusi Khilafah Islamiyah sebagai penjaga Islam
sekaligus pelindung umat Islam. []
Komentar al-islam:
Pemerintah dianggap berlebihan memidanakan pelaku kawin siri (Republika, 16/2/2010).
Jelas, sementara pelaku perzinaan yang makin marak dibiarkan!
Tiada ulasan:
Catat Ulasan