Anda,
terutama yang sudah menjadi orang tua atau memiliki adik remaja,
pastinya menjadi sangat khawatir ketika mendengar berita di berbagai
media massa yang berkaitan dengan aktivitas seks di antara remaja, baik
yang dilakukan secara konsensual maupun dengan paksaan, sudah meningkat
drastis belakangan ini. Kasus terakhir yang ramai diperbincangkan adalah
mengenai seorang siswi SMP berinisial SA yang menjadi korban penculikan
dan pemerkosaan. Akibat peristiwa ini, orang tua SA didampingi Komnas
Perlindungan Anak dan dinas pendidikan setempat mengadakan pertemuan
tertutup dengan pihak sekolah untuk membicarakan nasib SA sebagai
seorang siswi di tempatnya menimba ilmu.
Kasus ini hanyalah sedikit dari banyak kasus yang berkaitan dengan aktivitas seks remaja. Diperkirakan, masih ada lebih banyak kasus pemerkosaan yang dilakukan dan menimpa remaja di luar sana, belum lagi kasus video porno yang diperankan oleh siswa siswi SMP dan SMA yang semakin merebak, hingga aborsi yang beresiko membahayakan nyawa si remaja putri. Lebih tragisnya lagi, tidak sedikit juga ditemukan anak di bawah umur menjadi korban dari pelecehan seksual oleh remaja berumur belasan tahun. Bahkan, dalam beberapa kasus, terungkap bahwa pelaku adalah saudara kandungnya sendiri.
Arif Rahman Hakim, seorang pakar pendidikan, memperkirakan fenomena ini bisa terjadi karena kurangnya pendidikan seks bagi anak. Wiwid Widyastuti selaku Kepala Bidang KB BKKBN Provinsi DIY juga berpendapat serupa dan menghimbau agar pendidikan seks dapat dilakukan sejak usia dini. Beliau bahkan telah mengajukan materi pendidikan seks agar dapat diterapkan di sekolah-sekolah kepada departemen pendidikan, tapi hingga kini usulannya belum juga bisa disetujui dikarenakan muatan mata pelajaran di sekolah sudah terlalu padat.
Padahal, menurut hasil penelitian Briggs dan Hawkins, orang tua justru cenderung mempercayakan guru atau pengasuh untuk bisa melindungi si anak dari semua aktivitas seksual yang tak diinginkan. Hal ini juga disebabkan karena banyak orang tua yang memiliki pengetahuan minim mengenai cara memberikan pendidikan seks kepada anak. Akibatnya jika ini semua dibiarkan, anak-anak yang didorong oleh rasa ingin tahu mereka bisa saja mendapatkan informasi yang salah mengenai seks dari lingkungan sekitarnya dan menjadi korban dari ketidaktahuannya ini.
Orang tua, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas perkembangan kehidupan anak mereka, diharapkan bisa menyikapi hal ini dengan lebih bijaksana. Salah satunya adalah mendesak diadakannya pendidikan seks di sekolah, atau dengan memberikan pengetahuan mengenai seks kepada anak di rumah (tentunya setelah mempelajarinya dengan benar).
Selalu ada kontroversi mengenai layak atau tidaknya pendidikan seks diberikan kepada anak-anak, sehingga orang tua ragu untuk memberikannya. Dalam cara apa pendidikan seks ini menjadi layak untuk diperbincangkan? Stigma yang tersebar di masyarakat adalah bahwa seks itu urusan esek-esek sehingga hanya patut dibicarakan oleh orang dewasa yang sudah bisa berpikir mengenai “benar-salah” dan bukan untuk dibicarakan ke anak-anak yang masih polos.
Bagi Prof. Dr. Sarlito Wirawan, pendidikan seks memiliki mekanisme yang sama dengan pendidikan lainnya (pendidikan Agama dan Moral Pancasila). Pendidik harus bisa mengirimkan nilai-nilai pengetahuannya secara bertahap dan sesuai dengan perkembangan
kognitif subjek didik. Pendidikan seks harus diberikan berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, orang tua selaku pendidik harus menekankan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Toni Ayres juga mendukung pernyataan ini, dia mengatakan bahwa pendidikan seksualitas haruslah berimbang antara membahas tentang kesenangan yang bisa mereka dapatkan di dalam berhubungan seksual dengan konsekuensi yang bisa didapatkan (infeksi menular seksual, kehamilan yang tak diinginkan, aborsi, dan lain-lain). Singkat kata, pendidikan seks bukanlah tentang mendukung anak dan remaja untuk melakukan hubungan seksual, tapi menjelaskan fungsi alami seks sebagai bagian diri mereka serta konsekuensinya jika disalahgunakan.
Kasus ini hanyalah sedikit dari banyak kasus yang berkaitan dengan aktivitas seks remaja. Diperkirakan, masih ada lebih banyak kasus pemerkosaan yang dilakukan dan menimpa remaja di luar sana, belum lagi kasus video porno yang diperankan oleh siswa siswi SMP dan SMA yang semakin merebak, hingga aborsi yang beresiko membahayakan nyawa si remaja putri. Lebih tragisnya lagi, tidak sedikit juga ditemukan anak di bawah umur menjadi korban dari pelecehan seksual oleh remaja berumur belasan tahun. Bahkan, dalam beberapa kasus, terungkap bahwa pelaku adalah saudara kandungnya sendiri.
Arif Rahman Hakim, seorang pakar pendidikan, memperkirakan fenomena ini bisa terjadi karena kurangnya pendidikan seks bagi anak. Wiwid Widyastuti selaku Kepala Bidang KB BKKBN Provinsi DIY juga berpendapat serupa dan menghimbau agar pendidikan seks dapat dilakukan sejak usia dini. Beliau bahkan telah mengajukan materi pendidikan seks agar dapat diterapkan di sekolah-sekolah kepada departemen pendidikan, tapi hingga kini usulannya belum juga bisa disetujui dikarenakan muatan mata pelajaran di sekolah sudah terlalu padat.
Padahal, menurut hasil penelitian Briggs dan Hawkins, orang tua justru cenderung mempercayakan guru atau pengasuh untuk bisa melindungi si anak dari semua aktivitas seksual yang tak diinginkan. Hal ini juga disebabkan karena banyak orang tua yang memiliki pengetahuan minim mengenai cara memberikan pendidikan seks kepada anak. Akibatnya jika ini semua dibiarkan, anak-anak yang didorong oleh rasa ingin tahu mereka bisa saja mendapatkan informasi yang salah mengenai seks dari lingkungan sekitarnya dan menjadi korban dari ketidaktahuannya ini.
Orang tua, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas perkembangan kehidupan anak mereka, diharapkan bisa menyikapi hal ini dengan lebih bijaksana. Salah satunya adalah mendesak diadakannya pendidikan seks di sekolah, atau dengan memberikan pengetahuan mengenai seks kepada anak di rumah (tentunya setelah mempelajarinya dengan benar).
Selalu ada kontroversi mengenai layak atau tidaknya pendidikan seks diberikan kepada anak-anak, sehingga orang tua ragu untuk memberikannya. Dalam cara apa pendidikan seks ini menjadi layak untuk diperbincangkan? Stigma yang tersebar di masyarakat adalah bahwa seks itu urusan esek-esek sehingga hanya patut dibicarakan oleh orang dewasa yang sudah bisa berpikir mengenai “benar-salah” dan bukan untuk dibicarakan ke anak-anak yang masih polos.
Bagi Prof. Dr. Sarlito Wirawan, pendidikan seks memiliki mekanisme yang sama dengan pendidikan lainnya (pendidikan Agama dan Moral Pancasila). Pendidik harus bisa mengirimkan nilai-nilai pengetahuannya secara bertahap dan sesuai dengan perkembangan
kognitif subjek didik. Pendidikan seks harus diberikan berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, orang tua selaku pendidik harus menekankan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Toni Ayres juga mendukung pernyataan ini, dia mengatakan bahwa pendidikan seksualitas haruslah berimbang antara membahas tentang kesenangan yang bisa mereka dapatkan di dalam berhubungan seksual dengan konsekuensi yang bisa didapatkan (infeksi menular seksual, kehamilan yang tak diinginkan, aborsi, dan lain-lain). Singkat kata, pendidikan seks bukanlah tentang mendukung anak dan remaja untuk melakukan hubungan seksual, tapi menjelaskan fungsi alami seks sebagai bagian diri mereka serta konsekuensinya jika disalahgunakan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan