Candi Borobudur, disamping sebagai lambang tertinggi bagi Agama
Buddha Mahayana, stupa Borubudur juga merupakan replika dari kosmologi
atau alam semesta, sesuai filsafat Mahayana. Stupa Borubudur Borubudur
terdiri dari tiga-dhatu (dhatu disini berarti alam atau loka, Tri-loka
berarati Tiga Alam) yaitu : Kama-dhatu, Rupa-dhatu, dan Arupa Dhatu.
Prasasti kedua dari batu alam yang berasal dari Gunung Merapi, beratnya 20,5 ton, tinggi 2 meter dan lebar 2 meter lebih. Pada prasasti ini terukir kalimat yang berbunyi sebagai berikut :
"Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Pemugaran Candi Borobudur diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto".Borobudur 23 Februari 1983. (Rangkuman dari ; Menyingkap Tabir Misteri Borobudur ; Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia, oleh Drs. Soediman; Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Drs. R. Soekmono; Sejarah Asia Tenggara, D.G.E. Hall; Satu Abad Usaha Penyelamatan Candi Borobudur, Drs. R. Soekmono).
Bangunan Borubudur terdiri dari 10 tingkat yang berarti menunjukkan 10 tingkat kemajuan spiritual Bodhisattva atau Dasabhumi.
Dasabhumi merupakan doktrin Mahayana. Pada dinding candi menjelaskan
arti dari teks atau kitab suci Lalitavistara, Gandavyuha, Catakamala,
dan Maha-Karmavibhangga.
Secara keseluruhan candi itu merupakan
refleksi keagamaan dari isi kitab suci, doktrin, dan filsafat serta
tradisi agama Buddha Mahayana yang meyakinkan dan menakjubkan
sebagaimana diajarkan di Universitas Nalanda di India.
Candi Borobudur adalah bangunan suci
Mahayana, Candinya merupakan dunia archais, dunia kuno, namun tetap
hidup; mengungkapkan dunia masa silam tetapi masih hadir ke hadapan kita
dalam format tertentu, mengandung makna spiritual yang begitu dalam.
Bangunan candi Borubudur bila dilihat
dari atas bagaikan bunga teratai. Bunga teratai melambangkan kesucian
dan tumbuhnya sebanyak 7 tangkai bersamaan waktu dengan saat Sidharta
baru lahir kemudian langsung berjalan 7 langkah diatas bunga teratai
yang baru tumbuh itu.
Relief yang menjelaskan kitab suci
dalam candi merupakan bagian dari Sembilan Dharma dalam Agama Buddha
Mahayana; Sembilan Dharma yaitu : (1) Astasahasrika-Prajnaparamita, (2)
Gandavyuha, (3) Dasabhumisvara, (4) Samadhi-raga, (5) Lankavatara, (6)
Saddharma-Pundarika, (7) Tathagata-guhyaka, (8) Lalitavistara, (9)
Suvarna-Prabhasa.
Jatakamala
Dalam teks Jatakamala dan Awadana menjelaskan arti tentang perbuatan-perbuatan bijak yang telah diperbuat oleh Siddharta Gautama (sebelum menjadi Bodhisattva dan Buddha) pada masa kehidupan lampau. Dalam teks ini beliau seringkali menjelma sebagai kelinci, berang-berang, serigala, kera dan kura-kura. Perbuatan-perbuatan baik ini diharapkan dapat menjadi contoh atau suri teladan bagi manusia, jangan berbuat sewenang-wenang (tentang Kota Puruka), tentang kesetiaan (cerita Kinara-Kinari) tentang pengorbanan, tentang persembahan korban.Maha-Karmavibhangga
Penjelasan teks ini berupa
relief-relief pada bagaian kaki candi Borobudur yang tertimbun.
Maha-Karmavibhangga menjelaskan tentang hukum sebab dan akibat dari
perbuatan karma. Pelaku kejahatan akan menerima hukumannya di Neraka dan
pelaku kebaikan akan menerima pahala di Nirwana. Neraka yang disebutkan
di dalam kitab suci ini adalah Sanjiva dan Kalasutra, Sanghata dan Raurawa, Maharaurawa, dan Tapana, Pratapana dan Awici.
Lalita-vistara
Banyak versi tentang cerita dalam Lalita-vistara. Lalita-vistara menceritakan kehidupan masa lampau sekian kalpa yang lalu, tentang kelahiran Sidharta Gautama, menjadi Bodhisattva dan mencapai ke-Buddha-an, Buddha Gautama, memberikan khotbahnya yang pertama di Taman Rusa dekat Benares yang dikenal dengan Pemutaran Roda Dharma (Dharmacakra Pravartana Sutra).Gandavyuha
Gandavyuha menceritakan seorang anak saudagar kaya raya yang bernama Sudhana. Sudhana telah mengembara ke sana ke sini untuk berguru guna mendapatkan pengetahuan tertinggi mengenai arti kehidupan. Sudhana telah bertemu dengan Bodhisattva Manjusri dan Maitreya.Tiga-Dhatu (Triloka) dan Dasabhumi
Tingkat Kamadhatu : J.W. Ijzerman,
tahun 1885, secara kebetulan telah menemukan di bawah tembok batu
bagian ini dari kaki bengunah yang asli Candi Borobudur. Menggambarkan
adegan-adegan dari Maha-Karmavibhangga yang melukiskan tentang
hukum sebab-akibat. Kamadhatu adalah sama dengan 'alam-bawah' tempat
manusia biasa, melambangkan kehidupan yang masih diliputi oleh hawa
nafsu angkara murka yang menguasai diri manusia, dalam arti belum
memperoleh petunjuk keheningan. Dalam Dasabhumi pada tingkatan Pramudita, Vimala, Prabhakari.
Tingkat Rupadhatu : Di Candi
Borobudur pada tingkat bangunan mulai dari tingkat 2 sampai dengan
tingkat 6. Tingkat ini merupakan tingkat antara dari alam Manusia ke
alam Buddha. Di candi Borobudur, pada tingkat ini berisi relief-relief
yang menggambarkan cerita-cerita dari naskah Sansekerta : Gandavyuha,
Lalita-Vistara, Jatakamala, dan Awadana. Rupadhatu melambangkan tingkat
di mana manusia mulai sadar diri, dan berusaha mengendalikan hawa nafsu
durjana untuk menumpas kedurhakaan, dalam Dasabhumi pada tingkatan
Arcismati, Sudurjaya, Abhimukhi, Durangama.
Tingkat Arupadhatu :
merupakan alam non-materi murni, melambangkan manusia yang telah sampai
pada makna hakiki itu, dan telah mawas diri menguasai alam Spiritual,
dalam Dasabhumi pada tingkat Acala, Sadhumati, dan Dharmamegha. Di Candi
Borobudur mulai dari tingkat 7, kita akan merasakan suatu suasana yang
tenang dan tenteram, seakan-akan kita berada di alam samadi. Bodhisattva
berada di tingkat Acala.
Panca Dhyani Buddha dan Mudra
Agama buddha Mahayana memberikan penghormatan dan pemujaan terhadap Buddha Sakyamuni, juga melakukan penghormatan dan pemujaan terhadap para Dhyani Buddha dan Para Bodhisattva.
Dhyani Buddha adalah
para Buddha yang telah mencapai Samyak Sambodhi menurut waktu kosmik
atau disebut juga Kosmik Buddha jauh sebelum Sakyamuni Buddha menurut
sejarah. Mudra adalah suatu gerakan tangan yang mempunyai arti dan lambang.
Menurut Mahayana-Tantrayana ada Panca Dhyani Buddha yaitu :
1
|
Aksobhya Dhyani Buddha
|
:
|
Dengan Bhumisparsa mudra
yaitu telapak tangan kiri ke atas dan diatas pangkuan, telapak tangan
kanan menelungkup di atas lutut kanan, menunjukkan bumi sebagai saksi.
|
2
|
Ratnasambhava Dhyani Buddha
|
:
|
dengan Wara Mudra yaitu
telapak tangan kiri terbuka ke atas pengkuan, telapak tangan kanan
terbuka diatas lutut kanan, memberikan anugerah dan berkah.
|
3
|
Amitabha Dhyani Buddha
|
:
|
dengan Dhyana mudra yaitu telapak tangan kanan diatas telapak tangan kiri di pangkuan bermeditasi
|
4
|
Amoghasidhi Dhyani Buddha
|
:
|
dengan Abhaya Mudra yaitu
telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan telapak tangan kanan diatas
lutut kanan dengan jari-jari terbuka ke atas, ibu jari ke dalam, artinya
jangan takut.
|
5
|
Wairocana Dhyani Buddha
|
:
|
dengan Witarka mudra yaitu
telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan, telapak tangan kanan diatas
lutut kanan, tiga jari : tengah, manis, dan kelingking ke atas, ibu
jari dan jari telunjuk membentuk lingkaran, artinya telah menguasai tiga
loka (triloka)
|
Penampilan berbagai rupang/patung Dhyani Buddha pada candi Borobudur :
Tingkat
|
Patung
|
Mudra
|
Jumlah
|
Arah
|
Keterangan
|
I
|
--
|
--
|
--
|
--
|
--
|
II-V
|
Amoghasiddhi
|
Abhaya
|
92
|
Utara
|
Torana
|
II-V
|
Aksobhya
|
Bhumisparsa
|
92
|
Timur
|
Torana
|
II-V
|
Amitabha
|
Dhyana
|
92
|
Barat
|
Torana
|
II-V
|
Ratnasambhava
|
Dana
|
92
|
Selatan
|
Torana
|
VI
|
Vairocana
|
Witarka
|
64
|
Tengah
|
Torana
|
VII
|
Vairocana
|
Dharmacakra
|
32
|
Tengah
|
Cella
|
VIII
|
Vairocana
|
Dharmacakra
|
24
|
Tengah
|
Cella
|
IX
|
Vairocana
|
Dharmacakra
|
16
|
Tengah
|
Cella
|
X
|
(Adibuddha)?
|
Bhumisparsa
|
(1)
|
Puncak
|
Stupa
|
10
|
Panca (5)
Dhyani Buddha
|
6 Mudra
|
504
+ (1)
|
5 Penjuru
|
Torana
Cella
|
Panca Dhyani Buddha dan Makna
Dhatu Buddha |
Panca Bhuttha |
Warna |
Panca Skandha
|
Panca Indera
|
Vairocana |
Tanah
|
Putih
|
Rupa
|
Bau
|
Akshobhya |
Hawa
|
Biru
|
Vinnana
|
Suara
|
Ratnasambhava |
Air
|
Kuning
|
Vedana
|
Rasa
|
Amitabha |
Api
|
Merah
|
Sanna
|
Bentuk
|
Amoghasiddhi |
Angin
|
Jingga
|
Sankhara
|
Peraba
|
Tingkat, Balustrada, Patung, Cerita Relief dalam candi Borobudur
Ting-kat
|
Dhatu (Alam)
|
Bentuk Balustrasa
|
Jumlah
Arca
|
Naskah
|
Jumlah
relief
|
I
|
Kamadhatu
|
Segi Empat
|
-
|
Karmavibbhanga
|
160
|
II
|
Rupadhatu
|
Segi Empat
|
104
|
A1. Lalitavistara
A2. Jatakamala Awadana
a1. Jatakamala)
a2. Jatakamala)
|
120
120
500
|
III
|
Rupadhatu
|
Segi Empat
|
104
|
B. Gandhavyuha
b. Jataka , Awadana
|
128
100
|
IV
|
Rupadhatu
|
Segi Empat
|
88
|
C. Gandhavyuha
c. Gandhavyuha
|
88
88
|
V
|
Rupadhatu
|
Segi Empat
|
72
|
D. Gandhavyuha
d. Gandhavyuha
|
84
72
|
VI
|
Rupadhatu
|
Segi Empat
|
64
|
--
|
--
|
VII
|
Arupadhatu
|
Lingkaran
|
32
|
--
|
--
|
VIII
|
Arupadhatu
|
Lingkaran
|
24
|
--
|
--
|
IX
|
Arupadhatu
|
Lingkaran
|
16
|
--
|
--
|
X
|
Arupadhatu
|
Stupa Induk
|
(1)
|
--
|
--
|
10
|
10 Dhatu
|
Dua bentuk
|
504 arca
+ (1)
|
6 naskah
|
1460
relief
|
Referensi dari Krom (Dumarcay hal. 39),
Bulletin Sinar Seroja Bhakti, serie 9 tahun 1983.
Candi Borobudur berukuran panjang 123 m, lebar 123m, tinggi 42 m (
termasuk puncat stupa). Tingkat teratas dalam bentuk stupa besar
berdiameter 9,9 m dan tinggi 7 m.
A.J. Bernet Kempers
ahli purbakala Belanda menyebutkan Borobudur 'Buddhisme yang penuh
misteri sebagaimana terlukiskan di batu'. Merupakan perpaduan yang
sempurna antara manusia dan kesucian yang keramat.
Penemuan Kembali dari misteri Candi Borobudur
Tidaklah diketahui secara pasti, kapan candi Borobudur lenyap dari pandangan mata.
Tahun 1814, Sir Thomas Stamford Raffles,
Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811-1815) mendengar berita bahwa
ada sebuah bangunan purbakala yang masih terpendam di dalam tanah di
desa Borobudur, sewaktu beliau berkunjung ke Semarang. Raffles segera
mengirim H.C. Cornelius ke Borobudur untuk mengadakan penyelidikan atas
kebenaran berita tersebut. Pada saat itu, yang kelihatan hanyalah sebuah
bukit yang tertutup oleh semak belukar dan diatas bukit terlihat adanya
susunan-susunan batu candi yang berserakan. Pekerjaan membersihkan
dengan menebang pohon-pohon, membakar semak belukar, menyingkirkan tanah
dari atas bukit, pekerjaan pembersihan itu memakan waktu yang sangat
lama. Baru dalam tahun 1834, atas usaha Residen Kedu, candinya dapat di
tampakkan seluruhnya yang menjulang sampai ke atas puncak bukit.
Tahun 1840, Residen
Kedu, Cl Hartman, memberikan beberapa peti hadiah Cinderamata kepada
Raja Siam Chulalongkorn yang telah sekian lama berada di tanah Jawa mau
kembali ke negaranya. Hadiah cinderamata ini berupa 8 gerobak memuat 30
batu relief, 5 patung Buddha, 2 patung singa, 1 pancuran makara,dan 1
patung raksasa penjaga gerbang-Dwarapala, semuanya ini berasal dari
candi Borobudur, namun semuanya tenggelam hilang di dasar laut.
Tahun 1850, dilakukan
berbagai usaha pemindahan relief-relief candi Borobudur melalui kertas
gambar. Tahun 1873, monografi pertama tentang candi Borobudur
diterbitkan.
Tahun 1885, Ijzerman
di dalam berbagai penyelidikannya mendapatkan di belakang batu kaki
candi masih ada lagi kaki candi lain yang dihiasi dengan relief-relief.
Batu itu dibongkar sebagian demi sebagian dan kemudian dipasang kembali,
J.W. Ijzerman berhasil memotret 200 relief yang selama ini tertutup di
kaki candi Borobudur yang terbawah merupakan penjelasan Maha
Karmavibhangga.
Kapten Godfrey Philips Baker sesuai
dengan catatannya pada bulan Mei 1815, adalah orang Eropa yang pertama
yang melihat dan memperhatikan arca Dwarapala di Candi Borobudur.
Namun perlu dicatat bahwa sampai akhir
1982, arca tersebut masih berada di tangan pemerintahan Muangthai,
disimpan di Museum Bangkok, hasil bawaan Raja Chulalongkorn sebagai
kenang-kenangan dari Residen Kedu, Hartmann, ketika ia mengunjungi
Borobudur pada tahun 1840.
Tahun 1849, Wilsen
mendapat instruksi dari pemerintah Hindia Belanda untuk meneliti secara
resmi dan membuat gambar-gambar relief yang ada di candi Borobudur.
Sekitar tahun 1873, Van Kinsbergen datang membuat foto-foto bergambar
secara terbatas tentang Candi Borobudur.
Tahun 1901 di Hindia
Belanda didirikan Commissie in Nederlandsch Indie voor Oudheidkundig
Onderzoek op Java en Madoera, dibawah pimpinan Dr. JLA Brandes (wafat
tahun 1905) yang bertugas untuk mengurusi keperbukalaan Indonesia, juga
membawahi pemugaran Candi Borobudur, ia dibantu oleh Ir. Theodorus Can
Erp yang juga seorang perwira Zeni berpangkat Letnan Satu.
Tahun 1913, Badan
Keperbukaan darurat tersebut dibubarkan dan dilahirkan Jawatan
Kepurbakalaan (Oudheidkundige Dienst, Kemudian bernama Dinas Purbakala,
diganti lagi menjadi Direktorat Sejarah dan Purbakala, dipecah lagi
menjadi DP3SP dan PUSPAN). Dr. NJ Krom membawahi Dinas Purbakala ini.
Dr. Nj Prom memegang prinsip hasil
seminar keperbukalaan lanjutan pada tahun 1915. Hal yang diperhitungkan
berpatokan pada segi keperbukalaan, keindahan dan sejarah. Dr. FDK Bosch
terdapat silang pendapat yang tidak selesai. Dr. FDK Bosch bertindak
terlalu jauh dan tetap memugar beberapa candi dengan prinsipnya.
Akibatnya dari kekeliruan konsepsi Dr.
FDK Bosch yang tidak patuh pada prinsip butir seminar tahun 1915, candi
Kalasan menjadi korbannya dan tidak bisa dipugar ladi. (Kutipan dari
buku: Menyingkap Tabir Misteri Borobudur, Seri Buku Warisan Budaya,
Penerbit PT Taman Wisata Candi Borobudur & Prambanan, hal. 27)
Tahun 1900,
pemerintah Hindia Belanda menetapkan sebuah panitia pemugaran dan
perawatan candi Borobudur. Tahun 1907-1911, Theodore Van Erp memimpin
pemugaran, candi Borobudur untuk pertama kali dalam sejarahnya dapat
ditegakkan kembali setelah menghilang, namum T. Van Erp berpendapat
bahwa hasil pemugaran ini hanya dapat bertahan 50 tahun, dan ternyata
pendapatnya benar.
Tahun 1926 - 1940
diadakan pemugaran berikutnya, namun tetap tertunda disebabkan ada
malleise, ada perang. Tahun 1929, terbentuk suatu panitia untuk
menyelidiki proses kerusakan dan pelapukan batu-batu candi Borobudur
yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Tahun 1956,
Pemerintah Indonesia meminta kepada UNESCO, Prof.Dr.C. Coremans
(almarhum) datang ke Indonesia dari Belgia untuk mengadakan penelitian
terhadap sebab-sebab kerusakan batu-batu candi Borobudur. Tahun 1960,
pemerintah Indonesia mencanangkan bahwa candi Borobudur dalam keadaan
sangat kritis.
Tahun 1963, pemerintah Indonesia
mengeluarkan Surat Keputusan berikut penyediaan anggaran khusus guna
pemugaran candi Borobudur. Tahun 1965 meletus peristiwa G.30.S,
pemugaran candi tidak berjalan karena inflasi yang tinggi. Tahun 1966,
karena ketiadaan biaya maka pemugaran yang baru dalam tahap penelitian
diberhentikan sama sekali.
Bulan Agustus 1967,
di kota kecil Ann Arbor (Michigan, USA) dilangsungkan International
Congres of Orientalist ke-27. Dari Indonesia hadir Dr. R. Soekmono
dengan mengajukan sebuah kertas kerja berjudul 'New Light on some
Borobudur Problems'.
Kongres kemudian mendesak UNESCO untuk
segera membantu Indonesia dalam menyelamatkan monumen nasional
Borobudur, maka keluarlah Surat Keputusan tahun 1967 oleh UNESCO bahwa
Borobudur segera diselamatkan. Awal tahun 1968 UNESCO menegirimkan 2
orang ahli, B. Groslier dan C. Voute ke Indonesia. Mereka berada di
Indonesia setelah selama sebulan mengadakan penelitian di Borobudur,
berkesimpulan bahwa monumen Borobudur memang dalam keadaan yang gawat
dan perlu segera penanganan yang sungguh-sungguh, untuk segera dipugar
secara besar-besaran. Tahun 1968, salah satu keputusan pada general
Conference ke-15 di Paris, delegasi Pemerintah Republik Indonesia ikut
hadir, UNESCO sangat menaruh minat dan perhatian terhadap masalah yang
dihadapi Indonesia. UNESCO berjanji untuk memberikan bantuan dalam usaha
penyelamatan pusaka umat manusia Candi Borobudur, yang juga merupakan
salah satu dari keajaiban dunia. Tahun 1969, pemugaran Candi Borobudur
dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun, sebagai bagian dari
Proyek Pembangunan Kebudayaan Nasional.
Tahun 1971, Menteri
P&K membentuk 'Badan Pemugaran Candi Borobudur (BPCB) yang diketuai
oleh Prof. Ir. R. Roosseno. Drs. R. Soekmono sebagai Sekretaris,
disamping tugasnya sebagai Pimpro dan Kepala LPPN (Lembaga Purbakala dan
Peninggalan Nasional). Badan ini dibantu oleh suatu tim staf ahli dari
berbagai bidang disiplin ilmu: ahli purbakala dari LPPN, ahli mikro
biologi dan mekanika tanah dari Fakultas Pertanian UGM, ahli teteknik
bangunan dari Fakultas Teknik UGM, ahli Geologi dari ITB, dan ahli beton
dari Universitas Saraswati. BPCB menangani semua masalah Borobudur baik
yang bersifat nasional maupun internasional.
Bulan Januari 1971
atas usaha UNESCO, di Jogjakarta diadakan antara pihak Unesco dan Pihak
Indonesia (Staf BPCB), dihadiri pula oleh para ahli dari negara-negara
Perancis, Belanda, Amerika Serikat, Jepang, Jerman Barat, dan Italia.
Pertemuan ini telah mensepakati bahwa rencana pemugaran yang akan
diterapkan pada Candi Borobudur adalah sesuai yang telah dibuat oleh
Nedeco (the Netherland Engineering Consultants).
Tahun 1972, rencana kerja pemugaran candi Borobudur yang lebih terpadu telah rampung dibuat.
Karena bersifat internasional,
Pemerintah Indonesia telah membentuk, 'internasional Consultative
Committee' dalam bualn Desember 1972, tujuannya untuk menilai kemajuan
pekerjaan dan merencanakan pembiayaan pemugaran untuk setiap tahunnya.
Komite ini mengadakan raptnya setahun sekali di UNESCO, terdiri dari Dr.
D. Chihara (Jepang), Dr.J.N. Jenssen (Amerika Serikat, sejak tahun 1976
digantikan oleh W. Brown MORTON III). Sr.R.M. Lemaire (Belgia),
Dr.K.Siegler (Jerman Barat), Prof.Ir. Roosseno (Indonesia) sebagai Ketua
Komitee tersebut. Selain itu, Januari 1973, UNESCO membentuk sebuah
Badan Internasional ialah Executive Committee, yang tugas pokoknya
membantu Dirjend. UNESCO dalam mengelola dana-dana internasional yang
dikumpulkan dari berbagai negara sebagai sumbangan untuk penyelamatan
Candi Borobudur.
Pemugaran itu diperkirakan akan
memakan waktu 6 tahun dengan biaya sejumlah US$ 7,750,000 (perkiraan
tahun 1971). Dari jumlah ini UNESCO akan menyediakan dana sebesar US$ 5
juta, yang diperoleh dari sumbangan para negara anggota, selebihnya akan
ditanggung Pemerintah Indonesia.
Tanggal 10 Agustus 1973,
Presiden RI., Jenderal Soeharto berkenan meresmikan dimulainya
pekerjaan pemugaran Candi Borobudur. Di Borobudur terdapat 2 buah
prasasti; yaitu akan dimulainya pekerjaan pemugaran candi itu, dan tanda
selesainya pemugaran candi. Prasasti pertama, sekarang terletak di
sebelah Utara Pendopo, berukiran kalimat yang berbunyi sebagai berikut :
"Dengan Megucapkan Syukur kehadapan Tuhan
Yang Maha Esa, kami Pemerintah Republik Indonesia, meresmikan dimulainya
Pemugaran Candi Borobudur sebagai langkah utama dalam meneruskan
warisan Pusaka Budaya Nasional Indonesia, kepada keturunan yang akan
datang demi kebahagiaan umat manusia."Prasasti kedua dari batu alam yang berasal dari Gunung Merapi, beratnya 20,5 ton, tinggi 2 meter dan lebar 2 meter lebih. Pada prasasti ini terukir kalimat yang berbunyi sebagai berikut :
"Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Pemugaran Candi Borobudur diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto".Borobudur 23 Februari 1983. (Rangkuman dari ; Menyingkap Tabir Misteri Borobudur ; Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia, oleh Drs. Soediman; Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, Drs. R. Soekmono; Sejarah Asia Tenggara, D.G.E. Hall; Satu Abad Usaha Penyelamatan Candi Borobudur, Drs. R. Soekmono).
Tiada ulasan:
Catat Ulasan