“Hal-hal apapun yang telah aku
ajarkan dan aku jelaskan pada kalian sebagai doktrin (Dhamma) dan
disiplin (vinaya) agar menjadi gurumu setelah kematianku”
Mahâparinibbâna Sutta.
Sekarang Sang Buddha telah Mahaparinibbâna Sutta, mungkin kita akan berpikir: Dapatkah saya mencapai pencerahan? Dapatkah saya memperoleh manfaat dari belajar Dhamma saat ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas adalah wajar apalagi ajaran Sang Buddha sudah berumur 2500 lebih yang terkadang sering dianggap ajaran kuno.
Keragu-raguan kita akan hilang bila mendengar Sabda Sang Buddha dalam Mahâparinibbâna Sutta yang berbunyi “Hal-hal apapun yang telah aku ajarkan dan aku jelaskan pada kalian sebagai Doktrin (Dhamma) dan disiplin (vinaya) agar menjadi gurumu setelah kematianku”. Jadi, selama kita mau praktek Dhamma maka manfaat atau hasil akan kita peroleh. Sang Buddha juga mengatakan bahwa praktek Dhamma juga merupakan penghormatan tertinggi dibandingkan dengan penghormatan lainnya seperti mempersembahkan amisa-puja.
Meskipun secara prinsip hubungan kita dengan Sang Buddha saat ini hanya melalui ajarannya, tetapi adanya simbol fisik Sang Buddha lebih dapat dirasakan dan membantu meningkatkan keyakinan. Terdapat cerita menarik dalam kitab Jataka (Kalingabodhi Jataka) yang menunjukkan bahwa kebutuhan ritual ini sangat dirasakan pada jaman kehidupan Sang Buddha.
Pada waktu itu banyak simpatisan Buddha yang pergi ke Vihara Jetavana, Savathi untuk mengunjungi Sang Buddha. Mereka sangat kecewa karena pada saat berkunjung tidak dapat bertemu Sang Buddha kemudian mereka meninggalkan persembahan berupa âmisa-pûjâ di luar kuti Sang Buddha. Anathapindika, salah satu penyokong (dâyaka) memperhatikan hal ini dan memohon kepada Bhante Ananda untuk minta penjelasan Sang Buddha mengenai kasus tersebut.
Sang Buddha menjelaskan bahwa sebagai gantinya, jika Tathagata tidak ada, orang-orang dapat melakukan penghormatan pada tiga jenis tempat (cetiya). Ketiga tempat itu adalah sebagai berikut:
Untuk memuja Sang Buddha cara yang tertinggi adalah dengan mempraktekkan Dhamma dan vinaya secara benar, sempurna dan secara menyeluruh (dhammanadhammatipano). Secara menyeluruh artinya bahwa semua aspek Dhamma juga sebaiknya dipraktekkan yaitu praktek moral, meditasi dan pengembangan batin. Praktek Dhamma harus seimbang dan menyeluruh misalnya keyakinan harus diimbangi dengan kebijaksanaan. Jadi sebenarnya jenis cetiya apapun sebagai objek pemujaan akan membantu kita dalam membangkitkan keyakinan yang mana akan menimbulkan dan menjaga hubungan kita dengan Dhamma. Hanya dengan praktek dan merealisasikan Dhamma kita dapat benar-benar melihat dan memandang Sang Buddha. Inilah pemujaan tertinggi terhadap Sang Buddha yang hendaknya dijalankan oleh cara kita semua.
Siapakah yang paling beruntung di dunia
ini? Manusialah yang paling beruntung. Kita lahir menjadi manusia sangat
beruntung karena kita dapat belajar Dhamma dan praktek Dhamma; jika
kita dilahirkan di alam apaya (menderita) atau dilahirkan di alam Deva
dan Brahma, kesempatan untuk belajar Dhamma dan praktek Dhamma sangat
sulit. Lahir sebagai manusia bukanlah hal yang gampang karena kita harus
mempunyai moralitas yang baik.
Memang mendapat rejeki, sehat, umur panjang juga merupakan
keberuntungan tetapi akan lebih beruntung lagi apabila dilahirkan di
jaman Sang Buddha. Kenapa demikian? Karena banyak catatan-catatan
sejarah yang membuktikan banyak kesempatan dari orang-orang yang
mendapatkan manfaat dari hubungannya dengan Sang Buddha.Sekarang Sang Buddha telah Mahaparinibbâna Sutta, mungkin kita akan berpikir: Dapatkah saya mencapai pencerahan? Dapatkah saya memperoleh manfaat dari belajar Dhamma saat ini. Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas adalah wajar apalagi ajaran Sang Buddha sudah berumur 2500 lebih yang terkadang sering dianggap ajaran kuno.
Keragu-raguan kita akan hilang bila mendengar Sabda Sang Buddha dalam Mahâparinibbâna Sutta yang berbunyi “Hal-hal apapun yang telah aku ajarkan dan aku jelaskan pada kalian sebagai Doktrin (Dhamma) dan disiplin (vinaya) agar menjadi gurumu setelah kematianku”. Jadi, selama kita mau praktek Dhamma maka manfaat atau hasil akan kita peroleh. Sang Buddha juga mengatakan bahwa praktek Dhamma juga merupakan penghormatan tertinggi dibandingkan dengan penghormatan lainnya seperti mempersembahkan amisa-puja.
Meskipun secara prinsip hubungan kita dengan Sang Buddha saat ini hanya melalui ajarannya, tetapi adanya simbol fisik Sang Buddha lebih dapat dirasakan dan membantu meningkatkan keyakinan. Terdapat cerita menarik dalam kitab Jataka (Kalingabodhi Jataka) yang menunjukkan bahwa kebutuhan ritual ini sangat dirasakan pada jaman kehidupan Sang Buddha.
Pada waktu itu banyak simpatisan Buddha yang pergi ke Vihara Jetavana, Savathi untuk mengunjungi Sang Buddha. Mereka sangat kecewa karena pada saat berkunjung tidak dapat bertemu Sang Buddha kemudian mereka meninggalkan persembahan berupa âmisa-pûjâ di luar kuti Sang Buddha. Anathapindika, salah satu penyokong (dâyaka) memperhatikan hal ini dan memohon kepada Bhante Ananda untuk minta penjelasan Sang Buddha mengenai kasus tersebut.
Sang Buddha menjelaskan bahwa sebagai gantinya, jika Tathagata tidak ada, orang-orang dapat melakukan penghormatan pada tiga jenis tempat (cetiya). Ketiga tempat itu adalah sebagai berikut:
- Objek penghormatan terhadap sisa jasmani Sang Buddha/Relik (Saririka Dhatu Cetiya)
- Objek penghormatan terhadap penggunaan pribadi Sang Buddha (Paribhogika Cetiya)
- Objek penghormatan yang mengingatkan pada Sang Buddha (Uddesika Cetiya).
Pada perkembangannya ditambahkan satu
objek lain yaitu Dhamma Cetiya objek penghormatan ini berupa kitab Suci
Tipitaka sebagai karya agung, ajaran yang telah ditemukan dan dibabarkan
oleh Sang Buddha pada umat manusia dan sekarang telah dibukukan.
Tentunya ini akan mendidik kita untuk memperlakukan Kitab Suci Tipitaka
dengan hormat kalau kita jarang melihat Tipitaka, mulailah dengan
merawat pada Paritta, Dhammapada dan buku-buku Dhamma lainnya, dengan
meletakkan di tempat yang sesuai, jangan dilangkahi atau
dilempar-lempar.
Umat Buddha dalam mengekspresikan baktinya kepada Sang Buddha
dilakukan melalui pemujaan, termasuk membuat persembahan (pûjâ) pada
cetiya-cetiya yang telah disebutkan di atas. Ritual pemujaan adalah
suatu alat, suatu cara dimana dengan melakukannya pikiran-pikiran dan
emosi yang baik ditimbulkan. Jadi ritual keagamaan bukanlah tujuan
akhir, dari itu semua yakin bahwa dengan upacara-upacara dapat
menghasilkan kesucian (Silabataparamasa) pada kenyataannya adalah suatu
belenggu (Samyojana) yang akan menghalangi kemajuan spiritual seseorang.Untuk memuja Sang Buddha cara yang tertinggi adalah dengan mempraktekkan Dhamma dan vinaya secara benar, sempurna dan secara menyeluruh (dhammanadhammatipano). Secara menyeluruh artinya bahwa semua aspek Dhamma juga sebaiknya dipraktekkan yaitu praktek moral, meditasi dan pengembangan batin. Praktek Dhamma harus seimbang dan menyeluruh misalnya keyakinan harus diimbangi dengan kebijaksanaan. Jadi sebenarnya jenis cetiya apapun sebagai objek pemujaan akan membantu kita dalam membangkitkan keyakinan yang mana akan menimbulkan dan menjaga hubungan kita dengan Dhamma. Hanya dengan praktek dan merealisasikan Dhamma kita dapat benar-benar melihat dan memandang Sang Buddha. Inilah pemujaan tertinggi terhadap Sang Buddha yang hendaknya dijalankan oleh cara kita semua.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan