Ada cerita Iucu yang terjadi di negeri China sebelum terjadi tragedi
Tianamen yang dikutip Newsweek. Suami istri datang ke dokter untuk konsultasi
sehubungan dengan keinginan mereka memiliki anak. Masalahnya, dua tahun
kawin ternyata belum punya anak. Hasil diagnosis tidak menunjukkan adanya
kelainan fisik pada suami istri itu yang menyebabkan terhambatnya proses
kehamilan.
Usut punya usut, dan ini yang mengejutkan dokter, ternyata mereka belum
pernah berhubungan seksual selama dua tahun masa perkawinannya. Mengapa?
Ini yang Iebih mengherankan. Menurut pasangan ini, dengan tidur bersama di
satu tempat tidur, tanpa melakukan hubungan seksuaI, dikiranya bisa hamil.
Cerita diatas menjadi lucu bagi mereka yang tahu tentang proses terjadinya
kehamilan. Dan cerita-cerita semacam itu di Cina konon dijadikan cara untuk
menggolkan usaha penerapan pendidikan seksual disana. Memang saat itu di
Cina masalah keterbukaan seksual berkembang seirama dengan program
keterbukaan dengan tokohnya Zhao Zhiyang. Tak tahulah sekarang yang
berkembang disana setelah program keterbukaan dihabisi bersama peristiwa
Tianamen.
Ada juga cerita lain yang lucu. Dan ini berlawanan dengan cerita diatas.
Sepasang muda-mudi diadili oleh orang tuanya karena telah berbuat yang
menyebabkan si pemudi tadi hamil. Mereka menyangkal bersalah. Mereka
tidak menyangka bahwa dengan hubungan seksual yang telah dilakukan akan
berakibat hamil.
Cerita yang kedua ini barankali juga susah diterima, sebab kalau tidak tahu
hubungan seks bisa menyebabkan kehamilan kenapa mereka tahu dan bisa berhubungan
seks. Inilah barangkali keanehan dunia. Sesuatu yang tidak diduga,
dan sering tidak naIar, terjadi juga.
Kedua kejadian seperti diatas tadi berawal dari hal yang sama.
Ketidaktahuan. Bedanya, yang pertama tahu tentang tujuan yang diinginkan tapi
tidak tahu cara yang mesti ditempuh. Yang kedua tahu tentang perbuatan tapi
tidak tahu akibatnya.
Adanya ketidaktahuan seperti diatas itulah kemudian muncul gagasan
untuk memberikan informasi tentang masalah-masalah seksual pada kalangan
tertentu. Di sekitar kita juga terlihat gejala akhir-akhir ini dengan makin banyaknya
forum dialog, diskusi, atau ceramah yang berkaitan dengan topik seks. Remaja
termasuk sasaran utamanya. Dilihat dari tempatnya juga sangat variatif. Mulai
dari pengajian, masjid, gereja sampai ke hotel berbintang.
Dan forum-forum yang berlangsung singkat seperti itu, biasanya sekitar
setengah hari, apakah cukup efektif? Bahkan dipertanyakan apakah tidak justru
merangsang peserta untuk mencoba dan membuktikan informasi yang
didapatnya itu? Dengan kata lain apakah justru tidak membawa akibat buruk.
Yang menarik adalah munculnya pendapat dari forum-forum tersebut
tentang dirasa perlunya pendidikan seks. Asumsinya, dengan pengetahuan yang
komplit akan dihasilkan sesuatu yang lebih baik. Dua kasus diatas juga
memperkuat alasan perlunya pendidikan seks.
Kasus di Amerika
Masih dipertanyakan pendidikan seks yang banyak didengungkan selama
ini, konsep barat atau konsep kita! Sebagian orang yang berpendapat bahwa
pendidikan seks merupakan konsep barat memang beralasan. Terutama melihat
kenyataan bahwa keterbukaan masalah seksual berkembang disana. Sebaliknya,
yang berpendapat tentang konsep pendidikan seks tidak hanya berkembang di
barat, tetapi juga di timur, mengemukakan bahwa masalah seks adalah masalah
universal. Terjadi dimana saja. Demikian juga pendidikan seks. Barangkali yang
menjadi masalah adaIah keterbukaan secara eksplisit yang lebih menonjol di
barat.
Terlepas dari mana datangnya konsep itu yang jelas pendidikan seks
memang lebih berkembang di negara-negara maju, terutama di barat. Karenanya
untuk melengkapi tulisan ini ada baiknya melihat keadaan pendidikan seks di
salah satu negara tersebut, dalam haI ini diambil Amerika Serikat.
Pada tahun 1986 sekitar 80 persen di tingkat menengah sekolah-sekolah
di AS telah memberi peIajaran yang mengandung topik-topik pembicaraan yang
berkaitan dengan masaIah seksual (Marsiglio dan Mott, 1986). Dilihat dari jumlah
remaja yang terlibat, terdapat 67-85 persen yang pernah mengikuti pembicaraan
topik-topik tersebut.
Tampaknya alasan yang dijadikan dasar untuk menyelenggarakan
pendidikan seksual adaIah banyaknya kasus kehamilan dan melahirkan di usia
muda. Karena hamil dan melahirkan pada usia muda memiliki risiko yang tinggi
(tidak sehat atau mati), maka perlu dicegah. Salah satu cara untuk mencegahnya
adalah dengan jalan memberitahu mereka. Maka dipilihlah pendidikan seks untuk
meningkatkan pengetahuan pada remaja tentang masalah seks dalam rangka
mencegah efek-efek dari hubungan seks tersebut.
Tujuan tersebut ternyata berhasil. Hasil penelitian dua orang ahli yang telah
disebutkan tadi didukung oleh Dawson (1986) dengan penelitiannya yang
menunjukkan bahwa kasus kehamilan remaja menurun setelah ada pendidikan
seks. Pengetahuan remaja tentang masalah-masalah seksual yang meliputi
antara lain siklus menstruasi, proses kehamilan, penyakit-penyakit yang berkaitan
dengan seks, dan metode-metode pencegahan kehamilan, bertambah dengan
mengikuti pendidikan seks. Pengetahuan cara-cara pencegahan kehamilan juga
dipraktekkan. Alhasil tingkat kehamilan remaja menurun.
Bukan berarti tidak ada masalah yang muncul pada pendidikan seks di AS.
Tidak ada keseragaman kurikulum antara negara bagian yang satu dengan
negara bagian yang lain dan keterbatasan materi pengajaran menyulitkan guru
dalam memberi pelajaran.
Tekanan-tekanan terhadap guru pengajar datang dari para orang tua,
masyarakat, bahkan yayasan sekolah dimana mereka mengajar (Forrest dan
Silverman, 1989). Dengan kata lain masih banyak yang menentang pendidikan
seks di sekolah, baik terhadap materi maupun cara mengajar.
Kondisi Kita
Di Amerika Serikat pendidikan seks mempunyai tujuan konkrit dan
mendasarkan pada fakta. Tingginya tingkat kehamilan remaja disana karena
banyak remaja yang aktif melakukan hubungan seks, sedikit diatas 60 persen.
Bahkan menurut Family Planning Perspective edisi bulan Maret/April 1989
pendidikan seks yang sekarang dilakukan makin penting berkaitan dengan
menjalarnya AIDS. Karenanya berkembang sekaligus disana pendidikan seks dan
pendidikan AIDS.
Bagaimana pengaruh pendidikan seks terhadap perilaku seksual? Dari
hasil penelitian Dawson ditemukan bahwa mereka yang pernah mendapatkan
pendidikan seks memiliki sikap yang lebih toleran terhadap perilaku seksual yang
dilakukan orang lain.
Ditinjau dari sudut pandang psikologi sikap yang demikian itu bisa
merupakan potensi untuk berperilaku. Pada kenyataannya memang bisa terjadi
demikian. Hasil penelitian Marsiglio dan Mott menemukan pengaruh pendidikan
seks yang signifikan pada perilaku seksual, terutama pada remaja yang berusia
lebih muda (15-16 tahun).
Dari data-data yang disajikan jelas bahwa pendidikan seks berpengaruh
terhadap penurunan proporsi kehamilan remaja terutama karena mereka
menggunakan cara-cara pencegahan kehamilan. Karena terbukti juga bahwa
pendidikan seks mendorong remaja awal melakukan hubungan seks, maka kita
perlu berhati-hati bila mengusulkan untuk menyelenggarakan pendidikan seks.
Belum Iagi kalau ditinjau secara teknis yang juga banyak mengalami hambatan.
Kekhawatiran bahwa pendidikan seks akan memacu dorongan remaja
melakukan hubungan seks memang beralasan. Meskipun di Amerika peristiwa ini
terjadi sebatas pada remaja awal bukan berarti kita bisa memanfaatkan untuk
remaja usia 15-16 tahun di AS barangkali sebanding dengan tingkat
perkembangan remaja kita hingga usia 20 tahun. Hasil-hasil penelitian memang
menunjukkan remaja kita lebih lambat matang.
Relevansi pendidikan seks bagi kita juga masih perlu dipertanyakan.
Jumlah remaja yang hamil, meskipun tidak ada data konkrit, masih sangat sedikit
bila dibanding AS. Yang lebih penting jangan sampai justru program ini
meningkatkan jumlah remaja yang melakukan hubungan seks sebelum nikah,
yang saat ini masih kecil. Belum lagi kaitannya dengan norma kita yang jauh
berbeda dengan norma di Amerika. Disana masalah seks bisa dibicarakan secara
terbuka. Disini sebaliknya, masih banyak yang menganggap hal itu sebagai tabu.
Pendidikan seks memang bermanfaat dan perlu, tetapi bukan untuk remaja
saat ini. Sepuluh tahun lagi atau lebih barangkali sudah menjadi kebutuhan.
Dengan giatnya program KB barangkali pendidikan seks bisa sesuai untuk mereka
yang sudah berkeluarga muda. Mereka memang masih banyak mengalami
kesulitan dengan masalah yang satu ini, seks.
Tidak setuju bukan berarti ketinggalan jaman. Sebab, salah satu ahli dalam
bidang seks, Warren R. Johnson (1968), justru mengatakan pendidikan seks yang
terbaik adalah tidak ada pendidikan seks sama sekali.
*Faturochman adalah pengajar di Fak. Psikologi dan peneliti di Puslit
Kependudukan UGM.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan